Issues Politics & Society

Kehilangan Pensil Alis dan Pekerjaan: Sama-sama Butuh Kerelaan

Meski harus menafkahi diri sendiri dan orang tua, penulis mundur dari pekerjaan karena lelah dengan beban ganda yang ia tanggung.

Avatar
  • December 19, 2019
  • 6 min read
  • 362 Views
Kehilangan Pensil Alis dan Pekerjaan: Sama-sama Butuh Kerelaan

Minggu lalu, saya memeriksa kotak makeup yang isinya telah lama tidak saya gunakan. Setidaknya setelah saya resmi menjadi pengangguran sekitar enam bulan yang lalu. Sejak pulang dari perantauan, saya memang tidak banyak beraktivitas di luar rumah yang mengharuskan saya tampil cantik tanpa cela seperti yang biasa saya upayakan selama saya bekerja di sebuah yayasan milik seorang crazy rich Kalimantan. Saya pikir saya harus memastikan bahwa saya tidak teledor menggunakan makeup yang sudah kadaluwarsa.

Saat itu juga saya baru menyadari bahwa saya kehilangan sesuatu: pensil alis. Ini lumayan substansial bagi seorang perempuan yang rajin berdandan dan ingin terlihat sempurna. Apalagi alis saya tidak terlahir menawan. Perlu sedikit usaha agar enak dipandang, termasuk menggunakan pensil alis.

 

 

Beruntung saya pernah mempelajari make-up hack mendandani alis dengan maskara. Oh ya, maskara saya perlu digunakan sebelum ia mencapai masa akhir kelayakan. Ok juga. Meski begitu, saya berniat membeli pensil alis baru.

Keesokan harinya, seorang teman mantan rekan kerja membuat janji menonton film. Uang tabungan saya sudah menipis, jika boleh diperhalus dari istilah “saya sudah miskin”. Entah kenapa, ketika mengiyakan, tidak sedikit pun terbersit di pikiran mengenai uang di tabungan sebagai bahan pertimbangan.

“Ya sudah. Biar saja. Saya ingin menikmati hari ini sedikit lebih baik,” pikir saya.

Siang itu, saya keluar rumah mengenakan hijab yang sebelumnya tidak pernah ingin saya pakai sekalipun (karena saya tidak suka bahan kainnya), mengenakan makeup tipis ala kadarnya, serta tidak lupa memakai maskara sebagai gantinya pensil alis.

Baca juga: Berhenti Cari Validasi dari Orang Lain

Kami benar-benar menikmati girls day out singkat itu. Menonton film yang kami suka (karena kebetulan memang satu selera), minum minuman dingin di tengah suhu kota Surabaya yang bisa melelehkanmu, kemudian ngobrol santai. Dia sedang menikmati kariernya sebagai ibu rumah tangga baru dan saya dengan karier rebahan-bermain media sosial-membaca buku-rebahan lagi. Bukan hiburan yang mewah bagi saya. Namun cukup membuat saya menikmati hari tanpa menyesal sedikit pun.

Berhenti bekerja adalah melepaskan sesuatu yang substansial. Tanpa bermaksud menyetarakan pekerjaan dengan pensil alis, pada dasarnya keduanya membutuhkan kerelaan melepaskan dan menemukan pengganti.

Saya berhenti bekerja dengan kesadaran sepenuhnya bahwa saya butuh istirahat setelah bertahun-tabun berlari membangun kapasitas akademik dan karier. Selama 19 tahun masa sekolah dari pendidikan usia dini sampai menyandang gelar master di bidang pendidikan, kemudian langsung bekerja di tempat yang jauh dari perkotaan (sungguh jauh dari impian saya untuk bekerja di kota) dengan lingkungan dan sistem yang sama sekali berbeda. Munafik jika saya enggan mengakui bahwa saya lelah.

Barangkali banyak orang mengajukan pertanyaan pada saya.

“Bukannya itu berarti kamu beruntung karena sudah sekolah setinggi itu? Menjadi lulusan master di usia yang masih muda.”

“Bukannya pekerjaanmu sudah lumayan bagus sesuai ekspektasi-mu yang selalu ingin bekerja di kantor bonafid?”

“Memangnya kamu tidak menikmati semua itu?”

Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan bernada serupa yang dilemparkan pada saya. Pada masanya, pertanyaan-pertanyaan tersebut saya jawab dengan gegabah.

Sepintas berkata, “Aku capek.”

“Aku mau istirahat”

“Apa salahnya istirahat sebulan dua bulan? Toh aku bisa dapat pekerjaan baru kapan pun aku mau.”

Saya lupa merenungkan alasan sebenarnya yang membuat saya memilih mundur.

Pada akhirnya, menjamin kebahagiaan diri sendiri, seberat apa pun hidup ini dijalani, adalah kewajiban yang tak bisa kita tumpukan pada orang lain. Bahkan bagi perempuan dengan setumpuk kewajiban seperti kita ini.

Masalah semakin larut manakala saya menyadari bahwa saya sudah cukup miskin untuk terus menganggur. Saya anak sulung, kedua orang tua saya bercerai dan sejak tiga tahun yang lalu ayah berhenti memberi kami sokongan, baik moral maupun material. Maka seluruh tanggung jawab terlimpah pada ibu dan saya. Bagaimanapun caranya, saya harus menjaga agar kapal keluarga tetap berlayar.

Saya resmi menyandang gelar sandwich generation: generasi yang berkewajiban menanggung nafkah orang tua dan nafkahnya sendiri atau rumah tangganya sendiri (jika sudah menikah). Ada ketakutan tersendiri ketika saya memutuskan berhenti bekerja. Bagaimana tidak, hampir separuh kebutuhan keluarga diambil dari gaji saya. Maka pilihan mundur bukanlah pilihan yang mudah. Hampir enam bulan lamanya menganggur, kecemasan semakin menjadi-jadi yang membuat saya lebih sering menyalahkan diri sendiri dan membandingkan hidup saya dengan orang lain. Rumit.

Sedari dini, fokus saya adalah menjadi kebanggaan orang tua. Hal tersebut membuat saya melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan kebahagiaan diri sendiri, alias toxic positivity atau sifat positif yang beracun. Saya pikir dengan mengikuti kata orang tua, itu akan menempatkan saya sebagai anak baik dan terbebas dari sebutan durhaka. Tertanamlah di otak saya, keyakinan yang sebegitu kuatnya.

Kapabilitas akademik saya kejar demi orang tua. Semakin bangga orang tua atas pencapaian, semakin saya terpacu untuk meraih lebih. Sama halnya dengan pekerjaan. Saya mengambil keputusan ekstra cepat untuk mengiyakan tawaran pekerjaan karena didorong oleh fakta bahwa saya harus mendapatkan banyak uang guna memenuhi kebutuhan keluarga. Saya lupa bahwa ada sosok yang berhak menduduki peringkat pertama dalam setiap pertimbangan, yakni diri saya sendiri. Lupa menyadari “jika keberhasilan membahagiakan orang lain tidak ekuivalen dengan berhasil membahagiakan diri sendiri.”

Baca juga: Mengapa Anak dari Keluarga Miskin Cenderung Tetap Miskin Saat Dewasa: Riset

Hari ini, saya mendefinisikan kembali alasan saya memilih mundur dari pekerjaan sebelumnya. Saya memang butuh istirahat. Saya membutuhkan pekerjaan lain yang masih berkenan mempersilakan saya berkarier dan menikmati hari yang menyenangkan. Saya wajib merumuskan bahwa saya bekerja tidak sekadar menjadi tulang punggung keluarga. Seandainya tidak mungkin bagi saya menghindari kewajiban demikian, paling tidak saya harus menemukan pekerjaan yang bisa saya cintai selama melakukannya.

Enam bulan adalah waktu yang panjang bagi seseorang menemukan alasan atas keputusan yang diambil tempo hari. Sama halnya dengan kehilangan pensil alis, saya tetap harus menemukan penggantinya. Saya harus mendapatkan pekerjaan baru sebab kualitas diri saya baru menawan ketika saya sukses mengaktualisasikan diri. Namun selama pekerjaan tersebut belum saya temukan, ada banyak hal bermakna yang bisa saya lakukan. Ada aktivitas-aktivitas lain yang bisa mengisi celah waktu. Sejak SMP, saya ingin menjadi penulis. Sayangnya saya justru berhenti menulis hal-hal yang saya sukai setelah lulus SMP.

Mungkin ini saatnya saya kembali menulis, mengasah ulang kemampuan yang dianugerahkan pada saya. Seperti menggunakan maskara untuk merias alis sebelum saya membeli pensil alis baru, menulis adalah pengganti pekerjaan saya saat ini selama saya belum mendapatkan jalur karier yang baru. Menjajal hal-hal yang sebelumnya tak terbayangkan oleh saya, seperti berusaha membuat tulisan saya dibaca banyak orang, sama halnya seperti mengenakan jilbab yang tak pernah saya lirik sebelumnya.

Pada akhirnya, menjamin kebahagiaan diri sendiri, seberat apa pun hidup ini dijalani, adalah kewajiban yang tak bisa kita tumpukan pada orang lain. Bahkan bagi perempuan dengan setumpuk kewajiban seperti kita ini.



#waveforequality


Avatar
About Author

adminmag