Mengapa Anak dari Keluarga Miskin Cenderung Tetap Miskin Saat Dewasa: Riset
Riset menjelaskan mengapa anak yang miskin cenderung tetap miskin ketika dewasa
Penelitian terbaru lembaga riset SMERU Institute menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian yang telah dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin.
Menggunakan data yang diambil dari kehidupan rumah tangga di Indonesia atau yang disebut dengan Indonesian Family Life Survey (IFLS), tim peneliti SMERU Institute yang dipimpin oleh Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, dan Asep Suryahadi mengolah data dari 1.522 anak dan membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22-31 tahun.
Menariknya, ketika riset ini dirilis ke publik, beberapa pihak menyangsikan hasil penelitian tersebut. Beberapa menampik hasil riset ini dan memilih percaya bahwa anak yang miskin bisa saja terlepas dari jerat kemiskinan ketika mereka bekerja keras.
Penelitian tersebut memang bersifat kuantitatif dan tidak menjawab mengapa anak yang tumbuh dari keluarga miskin akan cenderung tetap miskin ketika mereka dewasa. Namun, pada 2015, saya terlibat dalam sebuah penelitian kualitatif yang juga dilakukan SMERU Institute yang dapat membantu menjelaskan mengapa ini bisa terjadi.
Penelitian itu menunjukkan bahwa keluar dari jerat kemiskinan tidak semudah yang banyak orang kira karena kemiskinan yang terjadi pada anak-anak berkaitan dengan kondisi kemiskinan keluarganya. Kemiskinan keluarga akan membatasi akses anak-anak mereka terhadap berbagai kesempatan (misalnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan) yang sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka.
Kemiskinan anak, perkara yang kompleks
Penelitian kami tahun 2015 dilakukan di dua kelurahan yang berbeda di Jakarta; Makassar, Sulawesi Selatan; dan Surakarta, Jawa Tengah. Riset ini melibatkan setidaknya 250 anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin yang berusia 6-17 tahun di ketiga kota tersebut.
Dalam penelitian ini, kami ingin mengamati perspektif subjektif anak-anak tentang kemiskinan. Kami mewawancarai anak-anak tersebut tentang kondisi hidup mereka dan menemukan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya.
Baca juga: Kesetaraan Gender dalam Akses Kerja Untuk Akhiri Kemiskinan Perempuan
Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak rupanya sangat mampu menjelaskan kompleksitas kemiskinan yang menjeratnya. Mereka menyadari adanya perbedaan status sosial-ekonomi di lingkungannya melalui hal-hal yang tampak seperti kondisi tempat tinggal, cara berpakaian, serta kepemilikan alat komunikasi dan kendaraan.
Seorang anak bisa mengatakan mereka miskin ketika mereka tinggal di rumah yang kecil, tidak punya banyak kamar, serta lingkungan yang padat dan relatif kumuh seperti banyak sampah. Mereka bisa mendeskripsikan teman-teman yang tidak miskin sebagai anak-anak yang memiliki telepon seluler dan kendaraan bermotor.
Dari wawancara anak-anak yang menceritakan kondisi hidup mereka, penelitian kami menyimpulkan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya. Dengan kata lain, perbedaan kesejahteraan orang tua menyebabkan kondisi ekonomi anak-anak mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar.
Orang tua yang memiliki aset atau sumber daya akan memberikan peluang bagi anaknya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan atau kesuksesan pada masa depan. Bagi anak-anak yang lahir dari keluarga kaya, peluang itu jauh lebih besar untuk memperoleh pendidikan nonformal, baik yang sifatnya mendukung capaian pendidikan formal maupun yang sifatnya mengasah keterampilan serta kemampuan emosional dan spiritual bahkan sejak usia dini. Akses pada pendidikan yang tidak seimbang ini menjelaskan mengapa anak miskin sulit keluar dari jerat kemiskinan.
Contoh lain, anak-anak tidak miskin yang dibekali ponsel dan kendaraan bermotor dianggap memiliki peluang lebih besar untuk melakukan mobilitas, mendapatkan pengalaman baru, termasuk berjejaring dengan orang-orang baru yang akan memberikan peluang ekonomi yang lebih besar.
Belum lagi perbedaan pola asuh di masyarakat miskin yang cenderung otoriter dan reaktif yang berisiko melanggengkan budaya miskin. Anak-anak dari keluarga miskin mengaku bahwa orang tua mereka cenderung mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya menghadapi masalah, ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa masalah itu bisa terjadi dan mendapat jalan keluarnya.
Sebagai contoh, seorang anak mengaku lebih sering menerima pukulan saat orang tuanya tahu bahwa dirinya berkelahi di sekolah. Padahal perkelahian tersebut karena sang anak menerima perundungan dari teman-teman sebayanya. Tanpa kemampuan mendengar dan mencarikan jalan keluarnya, perilaku orang tua seperti itu hanya akan membuat sang anak semakin frustrasi menjalani pendidikan, padahal pendidikan adalah solusi bagi kemiskinan.
Pola pengasuhan tentu sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan orang tua. Kita tahu, bahwa sekitar 63 persen penduduk miskin di Indonesia hanya memperoleh pendidikan setara sekolah dasar atau tidak bersekolah sama sekali.
Baca juga: Ketiadaan Akses Listrik di Daerah Terpencil Beban Ganda Bagi Perempuan
Saling melengkapi
Dalam penelitian tahun 2019, tim peneliti menyimpulkan bagaimana anak miskin akan tetap miskin ketika dewasa setelah menguji tujuh faktor yang mungkin berpengaruh pada peningkatan penghasilan mereka dan menemukan bahwa kondisi anak-anak tersebut tidak berubah setelah 14 tahun.
Ketujuh hal yang dibandingkan adalah status kemiskinan hasil tes kognitif, hasil tes matematika, lama bersekolah, kapasitas paru-paru (untuk menggambarkan kondisi kesehatan), koneksi pekerjaan melalui kerabat, dan hasil tes kecenderungan depresi.
Sebagai ilustrasi, salah satu yang diuji adalah hasil tes matematika. Rupanya, walaupun ada kesamaan nilai matematika yang diperoleh antara anak-anak yang miskin dengan yang tidak, namun ketika mereka beranjak dewasa, pendapatan si anak miskin tetap jauh dari pendapatan si anak tidak miskin saat dewasa.
Artinya, pendidikan (yang digambarkan melalui hasil tes matematika) tidak berdampak signifikan pada penghasilan anak-anak miskin pada masa depan dibandingkan anak-anak kaya.
Lewat penelitian kami tahun 2015 bisa disimpulkan bahwa hal ini bisa terjadi karena anak-anak miskin dan anak-anak tidak miskin memiliki modal yang tidak seimbang dari keluarganya. Hal ini yang mengakibatkan mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar dalam memperoleh kesempatan ekonomi.
Lalu, bagaimana dengan berbagai intervensi pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan atau Kebijakan Kota dan Kabupaten Layak Anak (KLA) yang diciptakan untuk menjamin terpenuhinya hak anak untuk hidup secara layak, tanpa kekerasan dan diskriminasi?
Pemerintah perlu melakukan penelitian yang berkualitas baik untuk dapat mengevaluasi efektivitasnya dan memastikan bahwa program mereka dapat meningkatkan kesejahteraan anak-anak miskin!
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.