Issues Politics & Society

Hilangnya Akun Nenengisme hingga Upaya Militerisasi Kampus: Hal-hal yang Terjadi Selama Libur Lebaran

Dari petani yang didatangi rumahnya, jurnalis yang diancam, sampai mahasiswa yang disabotase, kami rangkumin hal-hal yang mungkin kamu skip selama libur lebaran kemarin.

Avatar
  • April 11, 2025
  • 6 min read
  • 2485 Views
Hilangnya Akun Nenengisme hingga Upaya Militerisasi Kampus: Hal-hal yang Terjadi Selama Libur Lebaran

“Kalo ada abusive, ya kita harus investigasi dan proses secara hukum. Tapi, Mbak Uni harus tahu, coba perhatikan secara objektif dan jujur ya. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar?”, ujar Presiden Prabowo Subianto dalam Program Presiden Prabowo Menjawab bersama enam pemimpin redaksi media (6/4).

Padahal, dari 20–27 Maret, Narasi mencatat setidaknya ada 67 titik aksi penolakan UU TNI di seluruh Indonesia. Di X, #CabutUUTNI dan #TolakRUUPolri tembus trending nomor 1 dan 2 dengan lebih dari 3 juta unggahan. Hingga H-2 Idulfitri, aksi di beberapa kota seperti Jombang, Yogyakarta, dan Jakarta tetap lantang di jalanan.

 

Setelah lebaran, muncul seruan “Habis Lebaran Ya Melawan” dan tagar #Civilphobia, bentuk respons warga sipil akan berbagai intimidasi digital dan represi aksi massa yang dilakukan aparat negara. 

Untuk itu, kami merangkum hal-hal yang mungkin kamu lewatkan selama libur lebaran.

Baca juga: Tentara Pelaku Femisida dan Peradilan Militer yang Tak Transparan

Hilangnya Akun Nenengisme

Unggahan terakhir Neneng, 27 Maret 2025

Civilphobia bukan cuma soal represi di jalan, tapi juga pembungkaman ruang-ruang digital dan media. Akun Facebook Neneng Rosdiyana, sosok di balik gerakan Nenengisme atau Marxisme Indonesia, tiba-tiba hilang pada 27 Maret. Akun Neneng ramai jadi perbincangan karena aktif membela perempuan petani dan menyuarakan ketidakadilan struktural di sektor agraria. Sampai saat ini akunnya belum diketahui kabarnya. 

Host Metro TV, Valentino Resa, juga gak luput dari tekanan. Usai komentar satirenya soal pidato Presiden tentang harga cabai viral, ormas Perisai Kebenaran Nasional melayangkan somasi. Lewat video di akun TikToknya 5 April lalu, PKN menuding Resa “mendoktrin generasi muda” dan mendesak tayangannya dihentikan sekaligus dilaporkan ke polisi.

Foto: Tiktok/perisaikebenarannasional

Baca juga: Rakyat Rawat Kemarahan, Aparat Rawat Kekerasan: Rangkuman Brutalitas di Demo Tolak UU TNI

Iklim Jurnalisme Yang Makin Dipersempit

Kebebasan pers pun makin suram. Lewat Perpol No. 3 Tahun 2025 yang disahkan diam-diam 10 Maret lalu, jurnalis asing kini wajib kantongi Surat Keterangan Kepolisian (SKK) sebelum meliput di Indonesia. Masalahnya, aturan ini disusun tanpa melibatkan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, organisasi jurnalis, dan perusahaan pers dan baru terendus publik awal April.

Dewan Pers dan LBH Pers menilai aturan ini bertentangan dengan UU Pers dan UU Penyiaran. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, dalam keterangannya di Tempo bilang, kepolisian nggak berwenang ngasih izin atau pengaturan lainnya bagi jurnalis, termasuk jurnalis asing. Seharusnya wewenang ini ada di tangan Dewan Pers dan Komdigi.

Pada 4 April, Situr Wijaya (33), jurnalis Insulteng.id asal Palu, ditemukan tewas di kamar hotel di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kuasa hukum pihak keluarga, Rogate Oktoberius Halawa, telah melaporkan dugaan pembunuhan karena jenazah ditemukan dengan tanda-tanda penganiayaan.

Kasus kematian Situr Wijaya menambah daftar kekerasan yang dialami jurnalis belakangan ini. Dilansir dari Tempo, hasil autopsi sementara mengarah ke infeksi paru-paru akibat TBC, sesuai riwayat penyakit Alm Situr. Namun, sampai sekarang penyebab kematian resmi belum ditetapkan oleh Polres Metro Jakarta Barat. 

Hanya sehari berselang, pada 5 April, insiden kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi di ruang publik. Saat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan kunjungan ke Stasiun Tawang, Semarang, protokoler Kapolri, Ipda Endry Purwa Sefa, secara kasar mendorong sejumlah jurnalis yang sedang meliput dan melontarkan ancaman, “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu.” 

Jurnalis Antara, Makna Zaesar, bahkan kepalanya ditoyor Ipda Endry. Meski sudah minta maaf secara langsung, Zaesar tetap meminta Ipda Endry ditindaklanjuti secara profesional. Komisioner Komnas HAM, pada Suara, bilang ini bukan cuma pelanggaran etik, tapi juga pelanggaran HAM dan kebebasan pers.

Baca juga: Benarkah Tak Ada Masa Depan buat Jurnalis di Tengah Dwi Fungsi TNI?

Tanah Rakyat Kecil Jadi Ladang Militerisasi dan Intimidasi Polisi

Jelang Idulfitri, petani di Pundenrejo, Kabupaten Pati yang tengah bersengketa lahan dengan PT Laju Perdana Indah, mengalami intimidasi dari anggota TNI. Menurut keterangan LBH Semarang, 4 orang anggota Koramil Tayu mendatangi rumah-rumah petani 3 hari berturut-turut dan memintai data KTP warga. Para petani diancam akan digusur jika tetap bertahan di lahan garapan seluas 7,3 hektar itu.

Sebelumnya, Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti ini wajib lewat persetujuan Presiden dan DPR. Tapi kini, lewat revisi UU TNI, keterlibatan TNI cukup dengan Peraturan Pemerintah. Hasilnya, ruang gerak militer di ranah sipil jadi makin longgar.

Saat orang-orang lain masih berlebaran di kampung halaman, warga Kelurahan Sukahaji, Kota Bandung, menggelar aksi #SukahajiMelawan di Polsek Babakan Ciparay (3/4). Buntut dari aksi ini dipicu oleh upaya pengosongan lahan seluas 7 hektar yang telah dihuni sekitar 2.000 kepala keluarga sejak 1985. Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar, yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut, sudah digugat perdata oleh warga Sukahaji.

Aksi ini menuntut permintaan maaf anggota Polsek Babakan Ciparay yang mengintimidasi warga Sukahaji dan mahasiswa Ismahi Jawa Barat, juga pembakaran gudang 31 Maret lalu yang diduga tindak sabotase aparat. Kejadian ini makin mempertegas pola kekerasan aparat terhadap warga dalam konflik agraria.

#UdayanaBukanBarak: Mahasiswa Bergerak Jaga Otonomi Kampus

Nggak cuma di ranah agraria, aroma militerisasi juga merembet ke kampus. Pada 31 Maret, Universitas Udayana resmi menggandeng TNI AD lewat kerja sama pelatihan bela negara, kuliah umum untuk mahasiswa baru, hingga pertukaran data antar institusi. 

Merasa akan mengancam kebebasan berpikir dan otonomi kampus, BEM Unud segera menuntut pembatalan MoU tersebut sekaligus nota kesepahaman Kemendikbudristek dengan TNI soal sinergi militer di dunia pendidikan. Lewat sidang akbar antara pihak rektorat dan BEM Unud pada 8 April, Rektor Unud sepakat untuk mengusulkan pembatalan kesepakatan kerja sama tersebut.

Sebelum itu, serangkaian insiden udah nunjukin makin meningkatnya intervensi militer di lingkungan akademik. 

25 Maret di Bali: Forum diskusi FISIP Unud soal revisi UU TNI tiba-tiba didatangi anggota TNI tanpa undangan. Nggak cuma duduk manis di baris depan sejajar dengan pembicara, mereka ngerekam seluruh isi diskusi, lalu nge-press panitia buat kasih kontak mereka.

24 Maret di Banyumas: Pasca aksi mahasiswa tolak revisi UU TNI di Banyumas, Kodim 0701/Banyumas menyambangi Universitas Jenderal Soedirman. Berdalih ‘sosialisasi’, mereka malah nuntut klarifikasi sekaligus permintaan maaf atas aksi mahasiswa.

25 Maret di Merauke: Kodim 1707/Merauke ngeluarin surat permintaan data mahasiswa Papua dan orda Papua setelah aksi damai HMI cabang Merauke.

Dari kekerasan terhadap jurnalis sampai upaya militerisasi kampus, semuanya berakar pada ketakutan berlebihan negarai terhadap warga sipil yang bersuara. Warga yang nuntut hak atas tanahnya, jurnalis yang jalanin tugasnya, atau mahasiswa yang nyuarain solidaritas—semuanya dilihat sebagai ancaman. Makanya tak berlebihan kalau muncul dugaan #Civilphobia yang ramai di media sosial. 



#waveforequality
Avatar
About Author

Allaam Faadhilah

Allaam Faadhilah adalah penggemar transportasi umum dan kerap menyusuri belukar perkotaan ke pemutaran film, pameran, atau sekadar bengong di bangku taman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *