Kekerasan Berlapis Perempuan Pengguna Narkoba: Kami Distigma dan Dianggap Layak Diperkosa
Kebijakan narkotika yang punitif merugikan perempuan korban kekerasan.
*Peringatan pemicu: Gambaran kasus kekerasan pada perempuan.
“Gue cuma ada duit 15 ribu. Waktu itu paketan (narkoba) masih 25 ribu. Tahu-tahu ada satu bandar yang gue pikir baik hati, dia bilang, ‘Ya udah pakainya di sini saja.’ Pas gue lagi mau makai, dia langsung buka celananya.”
“Tiba-tiba dia ngajakin gue ke Ancol. Ada hotel yang ada tempat parkir di bawahnya itu. Kok kayak begini? Padahal dia tuh sponsor (pecandu yang telah menjalani program pemulihan dan bersedia membimbing pecandu lain yang ingin menjalankan program bersama-sama. Red) gue sendiri yang harusnya ngedukung gue.“
Beberapa cerita di atas dirangkum oleh Rumah Cemara, program pelayanan pengguna narkoba dalam survei bertajuk “Perempuan-perempuan di Lingkar Napza” (2007).
Cerita-cerita macam itu sudah sangat akrab di telinga Rosma Karlina. Sebab, ia mendampingi perempuan pengguna narkoba yang jadi korban kekerasan. Ia juga pernah bernasib sama.
“Dulu saya juga pengguna narkotika yang mengalami kekerasan dari keluarga dan mantan pasangan, termasuk kekerasan dari aparat. Saat itu saya enggak tahu mau minta tolong sama siapa,” kata Rosma, yang juga adalah Direktur Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (YSPINN), saat ditemui Magdalene di kantornya di Bogor.
Sejak bebas dari penjara pada 2006, Rosma aktif di berbagai organisasi yang mendampingi pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum. Ketika bekerja di Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), ia kerap mendapati perempuan korban kekerasan dengan riwayat penggunaan narkoba yang diancam kriminalisasi atau bahkan dipenjarakan.
Pada 2019, Rosma mendampingi perempuan pengguna narkoba yang mendapatkan kekerasan dari pacarnya. Kendati perempuan ini melaporkan pacarnya, polisi malah mempermasalahkan penggunaan narkobanya.
“Pacarnya bilang (ke polisi) bahwa ia (perempuan ini) menggunakan narkotika. Lalu polisi datang ke rumahnya (untuk) cari barang bukti,” katanya.
Baca juga: Perempuan Pecandu Narkoba Hadapi Stigma Ganda
Angka ini bukan isapan jempol. Survei Persaudaraan Korban Napza (PKNI) dan Universitas Oxford pada 2016, terhadap 730 perempuan pengguna narkoba di Jakarta dan Jawa Barat menyimpulkan hal serupa. Dalam penelitian yang juga dikutip ulang Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Women and Harm Reduction International Network (WHRIN) pada 2022 disebutkan, 76 persen perempuan pengguna narkoba pernah menjadi korban kekerasan oleh pasangan.
Sebanyak 50 persen responden mendapat kekerasan fisik dan 33 persen di antaranya berujung cedera. Lalu 38 persen responden mengalami pelecehan seksual, di mana 5 persen jadi korban kekerasan seksual dengan melibatkan penggunaan kekuatan seperti penggunaan senjata atau memukul untuk memaksa mereka berhubungan seks.
Persoalan itulah yang mendorong Rosma membangun kolektif perempuan bernama Womxn’s Voice ketika masih bekerja di AKSI. Komunitas ini berfungsi sebagai ruang aman bagi para perempuan (termasuk transpuan) pengguna narkoba untuk berkumpul, belajar, dan berbagi.
Pada Agustus 2022, komunitas tersebut telah diresmikan menjadi YSPINN. Selain memberikan pendampingan hukum, pada Desember 2022, yayasan ini telah membuka rumah singgah sementara (shelter) untuk perempuan korban kekerasan.
Kebijakan Narkoba Rugikan Perempuan Korban Kekerasan
Menurut data World Drug Report 2018 yang dirilis Badan PBB untuk Urusan Narkotika dan Kejahatan (UNDOC), 1 dari 3 pengguna narkoba di dunia adalah perempuan. Perempuan pengguna narkoba sangat rentan dengan kekerasan berbasis gender (KBG). Beberapa penelitian menunjukkan, prevalensi kekerasan berbasis gender di antara perempuan pengguna narkoba 2-5 kali lebih tinggi daripada perempuan yang tidak memakainya.
Indonesia masih mempertahankan kebijakan narkoba yang punitif–hukuman pidana–yang juga menyasar pengguna. Kendati UU Narkotika memberikan diskresi kepada hakim untuk tidak menghukum pengguna, pada kenyataannya pemenjaraan masih terus terjadi.
Menurut “Yang Terabaikan : Potret Situasi Perempuan yang Dipenjara Akibat Tindak Pidana Narkotika” (2019) oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), pengguna narkoba masih dijerat pidana melalui pasal-pasal lain, misalnya kepemilikan dan penguasaan narkotika.
Berdasarkan pengalaman Rosma selama pendampingan, mayoritas perempuan pengguna narkoba enggan melaporkan kekerasan yang dialami.
“Mereka takut penggunaan narkotikanya menjadi masalah. Takut kasusnya melebar ke mana-mana. Yang paling utama karena enggak punya uang,” ujarnya.
Baca juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika
Dekan dan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Jakarta Asmin Fransiska mengatakan, dampak kriminalisasi pengguna narkoba adalah stigma yang pada akhirnya menyebabkan mereka enggan berurusan dengan sistem peradilan pidana ketika menjadi korban kekerasan.
“Stigma bahwa pengguna narkotika adalah kriminal, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak akan bisa produktif sehingga harus direhabilitasi dan dihukum supaya jera dan enggak memakai lagi, itulah yang membuat label tertentu, yang membuat semua pengguna narkotika enggak akan mau akses apapun itu yang sifatnya administratif keadilan,” katanya.
Ketentuan Undang-Undang Narkotika yang menjerat siapa pun menjadi kriminal jika ada aktivitas yang berhubungan dengan narkoba, menjadikan posisi perempuan korban kekerasan makin sulit.
“Hal itu membuat sejak awal hukum menempatkan dan aparat melakukan implementasi bahwa perempuan pengguna narkotika (seolah) enggak ada presumption of innocent,” kata Asmin
Apa yang dikatakan Asmin senada dengan hasil penelitian ICJR dan WHRIN yang dikutip sebelumnya. Di situ diungkapkan, apabila pengada layanan korban menemukan perempuan menggunakan narkoba, mereka akan memulai koordinasi dengan penegak hukum.
Pentingnya Cari Solusi Selain Pemidanaan
Asmin dari FH Unika Atma Jaya Jakarta bilang, salah satu solusi yang perlu dilakukan adalah dekriminalisasi, yakni menghilangkan respons hukum pidana terhadap pengguna narkoba.
“Caranya adalah, pastikan mereka (pengguna narkoba) sejak awal tidak masuk ke dalam sistem hukum,” tutur Asmin.
Rosma menilai pemenjaraan pengguna narkoba bukanlah solusi, tetapi memunculkan masalah lainnya.
“Dengan memasukkan pengguna narkoba ke penjara, yang rugi juga negara. Ada berapa miliar uang yang dikeluarkan untuk pembiayaan makan (narapidana), (tagihan) air, listrik, (menggaji) penjaga?” tuturnya.
Dekriminalisasi memungkinkan pengguna narkoba untuk mengakses layanan penting tanpa dicap sebagai pelaku kejahatan, termasuk akses kesehatan, layanan penanganan kekerasan berbasis gender, maupun konseling.
Walau demikian, dekriminalisasi tak bisa berdiri sendiri karena harus didukung dengan perubahan pola pikir masyarakat, terutama penghapusan stigma yang dilekatkan kepada pengguna narkoba.
“Di undang-undang harus ada dua unsur itu. Secara struktur pengguna narkoba tidak dihukum, tetapi dimasukkan ke dalam intervensi lain. Secara budaya, stigma, baik itu di penegak hukum, pembuat hukum, dan juga di pengguna narkoba mulai (perlu) dikurangi juga,” ujar Asmin.
Baca juga: Narkoba Artis, Pencitraan Polisi, dan Salah Kaprah Hukum Kita
Di tengah tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PERMA 3/2017). Dengan Perma ini, harapannya para hakim lebih sensitif gender, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Asmin menilai, untuk korban dan saksi perempuan, penerapan peraturan tersebut sudah cukup baik. Namun, sebaliknya, ketika mengadili terdakwa perempuan pengguna narkoba, umumnya stigma tersebut masih melekat.
Manajer program YSPINN Baby Aya mengatakan, stigma menghambat pengguna narkoba yang juga korban kekerasan dalam mendapatkan layanan. Ia mencontohkan dampak perbedaan perlakuan yang dilakukan pemberi layanan terhadap, misalnya ibu rumah tangga dan ibu rumah tangga yang menggunakan narkoba.
“Akhirnya hal itu ber-impact dengan sikap dan layanan yang diberikan. Seharusnya pemberi layanan itu objektif siapa pun kliennya dan dari latar belakang apa pun,” ujarnya.
Rosma mencontohkan kasus lain yang menunjukkan dampak dari adanya stigma terhadap korban kekerasan.
“Seorang transpuan yang kami tangani dipukuli. Dia lapor ke polisi (tapi) yang ditanya adalah cara berpakaiannya. Orang yang jadi korban kekerasan (yang sedang) panik, punya kesadaran untuk melapor, seharusnya perspektifnya (polisi) berpihak ke korban, bukan melihat (dia) adalah pengguna napza dan transpuan,” katanya.
Meski tak mudah, usaha mengikis stigma terhadap pengguna narkoba terus dilakukan oleh YSPINN.
“Kami berjejaring dengan dinas-dinas setempat sambil edukasi terkait napza, situasi pengguna napza, bahwa mereka bagian dari WNI, manusia yang hidup sama dengan kita, dan bahwa mereka berhak mendapatkan perlakuan yang setara dan terlindungi oleh HAM,” kata Rosma.