Lempar Batu Sembunyi Nama: Kekerasan Politisi Perempuan dari Akun Alter
‘Gendertrolling’ atau menyerang (politisi) perempuan secara anonim jadi pemandangan lazim di musim Pemilu. Apa yang perlu kita tahu tentang itu?
Sepertinya sudah jadi rahasia umum bahwa kita kerap menemukan hal-hal ajaib di kolom komentar postingan media sosial. Ini pula yang saya temukan saat tak sengaja melihat salah satu postingan di TikTok.
Sebenarnya postingan tersebut biasa saja, menampilkan cuplikan video politisi perempuan yang berdebat dengan dua politisi lelaki di TV. Ketiganya adalah perwakilan tim sukses dari masing-masing pasangan calon (paslon) di Pemilu 2024. Alih-alih bicara substansi, kolom komentar postingan itu justru disesaki kata-kata bernada pelecehan dan dibalas ramai-ramai oleh akun-akun alter.
Harus diakui, perempuan dan laki-laki dalam politik distempel publik dengan standar yang berbeda. Selama ini kita selalu disosialisasikan bahwa laki-laki lebih layak untuk jadi pemimpin, sehingga enggak lazim jika ada perempuan yang vokal di bidang ini. Konstruksi sosial tersebut terlihat dari proporsi perempuan yang masih kurang terwakili di semua tingkat pengambilan keputusan.
Namun, berkat kebijakan afirmasi politik, ada kenaikan partisipasi perempuan di bidang itu. Meski belum optimal, United Nation (UN) Women mencatat kenaikan, sebanyak 26 persen perempuan menjadi anggota parlemen nasional di seluruh dunia pada 2022, jauh ketimbang angka 11 persen pada 1995.
Sejumlah politisi perempuan telah menembus langit-langit kaca dan mencapai posisi strategis. Pemimpin perempuan juga merekam prestasi yang gemilang, misalnya Jacinda Ardern yang berhasil memimpin New Zealand di tengah krisis pandemi dan menjadi teladan di banyak negara. Akan tetapi bukan berarti para pemimpin perempuan berprestasi ini bebas dari kekerasan dan stereotip diskriminatif.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Kandang Kiai: Lima Alternatif Solusi
Kekerasan Politik Berbasis Gender terhadap Perempuan
Kekerasan Politik Berbasis Gender terhadap Perempuan atau Gender Based Political Violence Against Women (GBPVAW) jadi isu yang terpinggirkan di tengah gempita Pemilu. Memang ada juga calon yang menyinggung kekerasan perempuan tapi cuma sepintas lalu. Padahal bicara kekerasan perempuan di bidang politik tak melulu bicara kekerasan seksual, fisik, ancaman, dan sejenisnya. Menghina perempuan, menggunakan perempuan sebagai analogi yang melecehkan, menyalahkan perempuan (blame the women), semua adalah bentuk kekerasan.
Para feminis mendefinisikan kekerasan di bidang politik secara lebih komprehensif. Semua berawal dari kekerasan kultural dan struktural yang terjadi sehari-hari. Rebecca Kuperberg dalam tulisannya yang berjudul Intersectional Violence against Women in Politics berpendapat, perlu ada pembedaan dalam mendefinisikan kekerasan dalam politik dengan cara pandang interseksionalitas. Kata dia, kekerasan di sini menekankan pada arena politik dan target tertentu. Singkatnya, perempuan menjadi target kekerasan karena mereka adalah perempuan dan karena mereka berpolitik.
Dalam konteks GBPVAW, pelaku menciptakan ketakutan terhadap korban (perempuan), alih-alih memandangnya sebagai subjek yang sama-sama rasional. Cara membikin ketakutan itu, termasuk dengan melakukan objektifikasi seksual, mereduksi kompetensi dan kapasitas, atau hanya melihat perempuan melalui atribut fisiknya semata.
Kekerasan simbolik adalah hasil yang diinginkan dari situ. Dalam bukunya yang berjudul Masculine Domination (1998), Bourdieu melihat kekerasan simbolik adalah bentuk dari dominasi maskulin klasik. Mereka berusaha menempatkan perempuan yang menyimpang dari norma-norma agar kembali pada tempatnya di ranah domestik. Sebagai contoh, menjadi pemimpin atau politisi dianggap sebagai perilaku yang menyimpang bagi perempuan, dan kekerasan simbolik berupaya untuk “menertibkan” perempuan.
Beberapa penelitian terdahulu menyepakati, politisi perempuan lebih mungkin menerima pesan yang merendahkan, menghina, dan mengandung kekerasan di media sosial. Kekerasan politik berbasis gender tidak hanya bertujuan untuk menganggu atau membuat kesal lawan, penulis sekaligus feminis Karla Mantilla menilai perilaku pelecehan daring berbasis gender atau gendertrolling sering kali menggunakan penghinaan berbasis gender untuk membangkitkan rasa takut dan membuat perempuan menarik diri dari diskursus daring.
Gendertrolling yang merujuk pada seksualitas telah menjadi strategi yang digunakan untuk mendiskreditkan ide-ide dan menghambat partisipasi perempuan di ruang-ruang yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Argumen-argumen ini mengafirmasi komentar bernada pelecehan yang penulis temukan di kolom komentar tiktok. Ya, tujuan mereka ini agar perempuan tidak banyak berkomentar di ruang publik soal politik.
Tash Taylor menjadi sasaran kampanye gendertrolling sejak munculnya rumor bahwa ia akan mencalonkan diri dalam Pemilu Dewan Kota di Kanada pada 2015. Pelecehan itu terus berlanjut, hingga membuat ia menutup akun Twitternya, bahkan setelah dia kalah dalam Pemilu. Pada akhirnya, pelecehan online yang ia alami membuat Taylor mempertimbangkan kembali keterlibatannya dalam politik.
Frances Perraudin dalam artikelnya Alarm over Number of Female MPs Stepping down after Abuse (2019) menyimpulkan, perempuan yang tertarik secara politik mungkin memilih untuk tidak berkarier di bidang itu untuk menghindari jadi target berikutnya. Jika memilih untuk ikut serta, karier mereka dapat tergelincir atau direndahkan karena adanya genderrolling. Beberapa politisi perempuan sangat mungkin untuk meninggalkan dunia politik karena ketakutan akan hal serupa.
Baca juga: Selamat Datang di ‘Alterland’: Tempat Cinta dan Perang Jadi Satu
Gendertrolling dalam Anonimitas
Fenomena ini diperparah dengan fakta bahwa gendertrolling terjadi di medium yang bebas sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak enggak bertanggung jawab. Salah satunya dengan perilaku anonimitas alias akun-akun alter.
Meskipun perilaku anonimitas dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong kebebasan berbicara dan jadi ruang aman dalam sistem demokrasi, tapi itu berpotensi disalahgunakan untuk menyerang kelompok-kelompok tertentu. Anonimitas sangat memungkinkan membuat para pelaku berpikir, perilaku mereka bebas dari konsekuensi.
Perempuan dilecehkan secara daring karena mereka adalah perempuan dan bukan karena apa pun yang mereka katakan atau lakukan. Di dalam alam patriarki, ketika yang dikatakan politisi perempuan bersifat rasional atau merupakan prestasi, maka publik ramai-ramai menghukum dengan menyerang seksualitasnya. Tujuannya tak lain untuk meneguhkan dominasi laki-laki yang sudah dianggap benar sebelumnya. Jika tidak menyerang seksualitasnya, maka paling minimal adalah menyerang fisiknya yang tidak cukup cantik menurut standar kecantikan umum saat ini.
Pemilu adalah momentum yang baik bagi para perempuan untuk mengisi panggung politik yang maskulin menjadi lebih inklusif. Politisi perempuan saat ini memiliki peran penting dalam memerangi gendertrolling dan menciptakan lingkungan politik yang lebih aman bagi generasi perempuan di masa depan. Capaian 20,5 persen dari target kuota afirmasi 30 persen adalah angin segar dibanding Pemilu sebelumnya di Indonesia. Akan tetapi, mendorong reformasi kekuasaan yang inklusif tidak hanya dengan mendorong representasi perempuan secara kuantitatif. Negara dan kita semua juga menciptakan iklim demokrasi yang setara, memberdayakan, dan berkeadilan.
Baca juga: Serangan Digital Marak: Kebebasan Berpendapat di Ujung Tanduk
*Laila Hanifah memiliki minat terhadap dunia aktivisme dan riset, terutama soal gender dan ilmu hubungan internasional, studi perdamaian, dan iklim. Laila dapat dihubungi melalui [email protected]
*Tulisan Laila sebelumnya di Magdalene dapat diakses melalui https://magdalene.co/story/ibu-palestina-diserang-israel/
Ilustrasi oleh: Karina Tungari