Kekerasan Seksual di Kandang Kiai: Lima Alternatif Solusi
Bagaimana caranya agar kasus kekerasan seksual di pesantren tak terjadi berulang-ulang?
Hari-hari ini, nama besar pondok pesantren tercoreng. Bagaimana tidak, lembaga pendidikan Islam yang seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi anak-anak itu ternyata “ditumpangi” oleh pemerkosa.
Adalah Herry Wirawan, 36, pengasuh rumah tahfidz (rumah untuk menghapal Alquran. Red) Al-Ikhlas & sekolah Madani Boarding School di Cibiru Bandung, Jawa Barat. Dilansir dari Vice, pemerkosaan Herry dilakukan kepada 13 orang anak di bawah umur, dengan rentang usia 13-16 tahun. Sebanyak 8 di antaranya telah melahirkan, 2 anak melahirkan dua kali, dan 2 anak masih dalam masa kehamilan.
Pelecehan dan kekerasan seksual di kalangan pesantren yang mana pelakunya adalah kyai atau ustaz bukanlah kali pertama terjadi. Fakta tersebut menambah catatan hitam dalam dunia pesantren. Anehnya, kasus-kasus ini kerap ditutup-tutupi dengan berbagai macam alasan. Misalnya, kasihan kepada santri, melindungi nama baik pesantren, menjaga martabat keluarga, dan lainnya. Lucunya, fokus kita didistraksi paksa dengan sekelompok umat Islam yang “membela” pesantren dengan menyebut mereka menganut Syiah dan aliran Wahabi.
Baca juga: Atas Nama Baik Pesantren, Kekerasan Seksual Dipinggirkan
Semua pembelaan dan upaya menutup-nutupi informasi kasus kekerasan terhadap anak di pondok pesantren, memberi kesan institusi agama itu tak serius merespons ini. Semestinya, pemangku pondok pesantren, yaitu kyai dan ustaz mulai melakukan pembenahan baik eksternal maupun internal. Apalagi kasus semacam ini ibarat bara api dalam sekam, yang merongrong marwah (citra) pesantren atas nama agama.
Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pesantren untuk melakukan pembenahan, antara lain:
1. Sanad Keilmuan
Pesatnya lembaga pondok pesantren pada saat yang bersamaan tidak diiringi oleh sanad keilmuan yang jelas dari sang pimpinan pesantren. Dengan kata lain, jika seseorang sudah menggunakan jubah, berkopiah, mampu berkhotbah di mimbar masjid dengan mengutip satu ayat Alquran, syukur-syukur memiliki kemampuan menghafal meski satu surat, maka ia akan mendeklarasikan dirinya sebagai ustaz.
Ketika sudah memiliki pengikut, ia dengan mudah mendirikan lembaga pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren. Banyak umat Islam yang terkecoh dengan kemasan seperti ini. Padahal sanad keilmuan menjadi penting untuk menelusuri jejak atau silsilah keilmuan dari kyai dan pesantren mana mereka mengacu. Kalau ustaz tersebut menjadi pimpinan rumah tahfidz, maka harus diketahui, ia belajar qira’ah sab’ah dimana dan dari sanad siapa.
Penelusuran silsilah sanad keilmuan ustaz atau kyai adalah untuk memastikan mereka bukan kaleng-kaleng. Bahkan, dalam administrasi pemerintah, kategori sanad keilmuan sang pimpinan pesantren menjadi salah satu syarat wajib dalam mengajukan legalitas pondok pesantren ke Kementerian Agama.
Baca juga: Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam
2. Menambahkan Pasal “Perlindungan Kekerasan Seksual” dalam UU Pesantren
Pemerintah melalui Kementerian Agama mengeluarkan Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019. Umumnya, substansi pasal-pasal lebih kepada kelembagaan, dan tidak secara khusus memberikan jaminan perlindungan kepada santri. Dengan adanya kasus pencabulan dalam dunia pesantren, maka menjadi tugas bagi pemerintah untuk mengaji kembali Undang-Undang Pesantren agar pro-santri dan mampu memberikan jaminan perlindungan dan keadilan kepada santri perempuan.
Pasal perlindungan kekerasan seksual menjadi penting agar pesantren tidak hanya memberi aturan kepada kelembagaan secara struktural. Namun, juga memberi aturan kepada kyai, ustaz, para pengajar dan tenaga pendidik yang lain untuk menghormati santri perempuan, dan menahan diri untuk tidak melecehkan.
Baca juga: RUU PKS Tidak Menyalahi Ajaran Islam
3. Pendidikan Seksual sebagai Kurikulum Pesantren
Jika pasal perlindungan dari kekerasan seksual kepada santri sudah dimasukkan, saatnya pesantren memperbaiki kurikulumnya. Caranya adalah menjadikan pendidikan kesehatan seksualitas (kespro) dan atau pendidikan seks sebagai mata pelajaran wajib di pesantren.
Pendidikan itu penting agar santri memiliki pengetahuan tentang tubuhnya, bagian mana yang tidak boleh disentuh tubuhnya, siapa yang hanya boleh menyentuh tubuhnya, bagaimana risiko berhubungan seksual di bawah umur, apa risiko kehamilan tak diinginkan, dan pengetahuan tentang haid.
Jika selama ini pendidikan itu tabu untuk diajarkan, maka saatnya pesantren mulai memperkenalkannya. Tujuannya, agar santri memiliki pengetahuan dan berdaulat atas tubuhnya sendiri.
4. Menyusun SOP Kekerasan Seksual di Pesantren
Sependek pengetahuan saya mengenyam pendidikan di pondok pesantren, pesantren belum memiliki protokol atau panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Penyusunan panduan ini menjadi penting untuk mempersiapkan diri sedari awal ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misal kehamilan tidak diinginkan oleh santri.
Penyusunan panduan ini pesantren bisa melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsen pada isu perlindungan perempuan dan anak, pemerintah di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, aktivis perempuan, akademisi, dan tenaga kesehatan.
5. Pesantren Mendukung RUU-PKS
Jalan memperjuangkan perlindungan kepada perempuan dan anak melalui Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kurang begitu mulus. Salah satu kendalanya adalah kurangnya dukungan dari kalangan tokoh agama, pondok pesantren, lembaga pendidikan Islam dan organisasi Islam. Bahkan ada yang menuduh RUU PKS melegalkan zina.
Dengan adanya kasus zina yang dilakukan secara massal oleh tokoh agama yang bersangkutan, maka saatnya pondok pesantren membuka mata tentang ketidakadilan yang terjadi dalam lingkungannya sendiri. Jangan sampai pesantren berkoar-koar anti-zina tetapi faktanya melindungi pelaku zina dengan bungkusan agama.
RUU PKS salah satu substansinya adalah memberikan perlindungan kepada korban untuk berani bersuara, pun jaminan hukum. Sebab pada kasus pemerkosaan oleh Herry Wirawan, ia mengintimidasi para korban dengan dogma “Harus taat pada guru”.
Padahal tindakan pemerkosaan adalah perbuatan buruk dan tidak manusiawi. Sebab, itu telah merenggut masa depan dan kebahagian hidup belasan anak. Trauma psikologis yang dialami korban adalah dosa jariyah (abadi dan terus menerus) bagi pelaku.
Sebagai perempuan alumni pondok pesantren, saya mengutuk perbuatan tokoh agama tersebut. Dia telah mencederai nama pondok pesantren, melukai hati para masyaikh (para kyai sesepuh pesantren), dan membuat orang tidak percaya, bahkan meragukan sistem pendidikan pondok pesantren. Lain kata, Herry Wirawan adalah penjahat kelamin dengan bungkusan ayat suci Alquran.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.