Issues

Kekerasan Seksual di Rumah Sendiri, Mengerikan Tapi Didiamkan

Kekerasan seksual terjadi di rumah sendiri, tapi sering kali didiamkan demi menjaga nama baik.

Avatar
  • April 30, 2020
  • 5 min read
  • 525 Views
Kekerasan Seksual di Rumah Sendiri, Mengerikan Tapi Didiamkan

Saya baru saja menuntaskan film pendek karya Ari Aster berjudul The Strange Thing about the Johnsons. Film yang juga merupakan karya sutradara film Hereditary dan Midsommar ini bercerita tentang kekerasan seksual di rumah.

Pelakunya bukan orang dewasa, melainkan anak kepada orang tua. Lebih tepatnya anak laki-laki kepada ayahnya. Walaupun dari segi antagonis dan protagonis agak sedikit berbeda dari umumnya, latar belakang dan musabab kekerasan seks ini dilanggengkan masih tetap sama, yaitu menjaga citra alias nama baik.

 

 

Sebenarnya, sang ibu sudah tahu kalau anak laki-laki mereka punya kecenderungan memiliki perasaan lebih kepada si ayah. Sang ibu bahkan tahu kalau anak laki-lakinya mencium dan melakukan seks oral dengan si ayah pada hari pernikahan si anak.

Ia juga sengaja membesarkan volume televisi saat tahu suaminya berteriak  kesakitan dari kamar mandi ketika anak laki-laki mereka memperkosanya. Tapi, lagi-lagi demi menjaga nama baik, peristiwa memalukan ini dibiarkan begitu saja untuk sekian lama hingga akhirnya meledaklah konflik dalam keluarga tersebut.  

Film yang dirilis tahun 2011 ini sekali lagi menjadi pengingat bagaimana kekerasan seksual dalam rumah tangga kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang harus diredam dan ditutupi hingga akhirnya menjadi bom waktu di kemudian hari.

***

Pertengahan Januari 2020, saya menerbitkan buku Akibat Menabukan Seks yang merupakan kumpulan esai mengenai seksualitas, pendidikan seks, dan kehidupan orang-orang urban. Ada banyak pengalaman unik yang saya dapat sejak buku tersebut dirilis. Selain dianggap cabul dan senang ngeseks, saya kerap mendapat cerita langsung dari mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual di rumah. Dari beberapa cerita yang disampaikan langsung ke saya, benang merah yang bisa saya tarik adalah menjaga citra.

Sebagai contoh, ada cerita “X”, seorang perempuan Batak yang sejak remaja dilecehkan oleh pariban-nya. Dalam adat Batak, pariban adalah seseorang yang dianggap sebagai jodohmu. Relasi pariban ini sebenarnya sepupu dekat, tetapi adat memperbolehkan keduanya menikah.

Baca juga: Dengar dan Percayai Suara Penyintas Pemerkosaan

Kendati X sudah sering kali dilecehkan oleh si pariban dan keluarga besarnya mengetahui hal tersebut, tidak ada tindakan tegas yang keluarga lakukan.  Mereka malah menenangkan X dengan alasan hubungan darah antara dirinya dan X, terlebih karena sepupu X tersebut adalah pariban-nya. Tidak hanya itu, pihak keluarga bahkan menyarankan keduanya dinikahkan saja.

Bagaimana bisa seorang korban pelecehan seksual dinikahkan dengan pelakunya? Tidakkah itu malah membuat si korban semakin trauma? Bagaimana hubungan rumah tangga dibangun dengan latar kekerasan?

Skenario macam cerita Karmila—salah satu tokoh dalam novel karya Marga T. yang diperkosa kemudian menikah dengan pemerkosanya—tidak sepatutnya terjadi di realitas. Namun sayangnya, hal tersebut masih ditemukan di mana-mana karena demi nama baik, pihak keluarga korban dan pelaku memilih mendiamkan hal yang salah.

Cerita mengenai kekerasan seksual di rumah sendiri juga saya dapatkan dari “Y”. Peristiwa ini tidak dialami langsung oleh Y, melainkan abangnya, ketika mereka berdua duduk di bangku sekolah menengah.

Pada malam ketika tragedi itu terjadi, om mereka menginap di rumah. Sementara si om tidur dengan abang Y di lantai dua, Y tidur di lantai satu dan kamarnya bersisian dengan kamar. Tiba-tiba pada tengah malam, abang Y berteriak dan mengetuk keras kamarnya, lalu bersikeras minta tidur di kamar Y.

Kontan orang tua mereka terbangun dan menanyakan ada apa. Si om pun turun dari kamar abang Y. Tak seperti biasa, Y merasa ada sesuatu yang salah saat abangnya menghampiri, terlebih ketika ia menangkap omnya sedikit gelagapan ketika hendak menenangkan sang abang.

“Enggak papa, dia cuma mimpi kok,” Y mengulang pernyataan si om kala itu yang lantas mengajak abang Y kembali ke kamar atas.

Orang tua Y hanya berdiri termangu, bingung, dan merasa serba salah, antara mau mencari tahu apa yang terjadi (atau sudah tahu?), tapi juga tidak mau sampai hubungan kekerabatan rusak dengan menaruh kecurigaan pada keluarganya itu. Apalagi om Y merupakan seorang pendeta. Mosok sih, pendeta berani macem-macem?

Baca juga: Komnas Perempuan: Angka Kekerasan terhadap Anak Perempuan Naik Tajam

Hingga sekarang, peristiwa tersebut dianggap angin lalu oleh orang tua Y.

“Aku juga sampai heran kenapa papa mamaku enggak pernah membahas ini,” ujar Y.

Saya pun bertanya, “Memangnya abang kamu diapain?”

Y lanjut bercerita, pagi hari setelah kejadian, dia bertanya ke abangnya tentang peristiwa semalam. Barulah saat itu abangnya mengaku kalau si om mengajaknya berbaring di sebelahnya. Ketika ia menolaknya, si om malah mengelus paha bagian dalam abang Y.

Ketidakpercayaan orang sekitar bahwa pelaku telah melakukan kekerasan seksual kepada korban, terlebih bila profesinya rohaniwan, tak pelak membuat korban enggan menceritakan pengalamannya. Ada kekhawatiran dalam dirinya bahwa mereka akan mendiamkan saja atau bahkan menyarankan hal yang tidak diinginkan seperti dalam kasus X: Menikah dengan pelaku.

Kekerasan seksual oleh keluarga dapat pula berefek jangka panjang seperti trauma mendalam dan rusaknya kepercayaan kepada keluarga. Adalah Z, korban kekerasan seksual lainnya yang juga menceritakan pengalamannya semasa SD kepada saya. Ketika itu, ia berulang kali dipenetrasi paksa oleh salah satu paman jauhnya.

Tidak ada konsep kekerasan seksual di benak Z kecil, ia tak paham bahwa tindakan paman jauhnya itu tidak sepatutnya dilakukan. Baru ketika ia duduk di bangku SMP dan mempelajari Biologi, ia menyadari bahwa yang dilakukan sang paman jauh adalah sebuah perkosaan.

Pengalaman tersebut membuat Z setengah kacau dan tidak mempercayai keluarga. Sampai sekarang, ia terus berusaha untuk pulih di tengah ketidaktahuan orang tuanya tentang perkosaan oleh paman jauhnya tersebut.

***

“Saya tidak mau punya anak, dunia ini sudah terlampau kacau,” saya sempat bilang seperti itu kepada teman-teman dekat dan saudara saya. Dari ragam pengalaman yang saya dengar, rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan seorang anak malah bisa menjadi sumber malapetaka karena perilaku orang dewasa yang tidak bertanggung jawab.

Kalau anak hanya sebagai pelengkap status suami istrimu, untuk menjagamu ketika tua nanti, atau supaya ada jawaban ketika ditanya kenalan sudah punya anak atau belum, mending engkau buang jauh-jauh rencana memiliki anak.

Akan lebih baik bila keinginan menghadirkan manusia baru dibarengi dengan persiapan matang-matang fondasi awal dan usaha untuk membuat rumah sebagai tempat tinggal anak yang semestinya, bukannya malah jadi sarang predator!


Avatar
About Author

Ester Pandiangan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *