Kaukus Perempuan Parlemen: Kekerasan Seksual Urusan Negara
Anggapan bahwa kekerasan seksual adalah masalah privat membuat penegakan hukum dan perlindungan untuk korban sering tidak terpenuhi.
Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) Diah Pitaloka mengatakan, masalah kekerasan seksual adalah tanggung jawab negara sehingga perlu ada payung hukum yang melindungi korban dan masyarakat secara keseluruhan dari tindak kejahatan tersebut.
“Kita harus masuk ke dalam proses di mana selain membangun kesadaran, kita mendorong negara mencari upaya untuk bisa mencegah [kekerasan seksual]. Ini perlu diangkat di ruang kerja DPR sehingga ada fungsi negara di sini,” kata Diah, yang juga merupakan ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi isu agama, sosial, dan kebencanaan.
Ia berbicara dalam diskusi untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bersama perwakilan The Body Shop Indonesia, Magdalene, Yayasan Pulih, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) (5/2).
Diah mengatakan, sejauh ini kekerasan seksual dianggap sebagai urusan personal oleh masyarakat sehingga korban bertanggung jawab atas masalahnya sendiri. Padahal, masalah tersebut juga melibatkan orang sekitar korban seperti keluarganya sehingga penanganannya tidak bisa diselesaikan antarpribadi saja, ujarnya.
“Ini merupakan pemikiran yang salah. Kita mau mengubah paradigma menjadi lebih sensitif terhadap korban dan mendorong negara mengangkat soal kekerasan dalam hukum. Masalah ini tidak dialami satu dua orang saja, ini sudah banyak, sehingga solusinya tidak cukup hanya dalam ranah privat,” ujar Diah.
Wawan Suwandi dari Yayasan Pulih, yang memberikan layanan psikososial bagi korban kekerasan seksual, mengatakan bahwa kekerasan seksual adalah luka batin yang dibawa seumur hidup oleh korban.
“Jika tidak ditangani dengan baik, korban akan merasa depresi dan merasa masalahnya adalah aib. Hal ini membuat banyak korban yang tidak mau melaporkan,” kata Wawan.
Baca juga: Pembaruan Draf RUU PKS: Jangan Ada Lagi Alasan Pembahasan ‘Sulit’
Ajaran Agama Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual
Selain dianggap soal privat, sejumlah pihak menentang pengesahan RUU PKS atas dasar isu moralitas dan agama, menganggap aturan ini akan mendorong hubungan seks di luar pernikahan serta homoseksualitas. Sekretaris Jenderal KPP-RI Luluk Nur Hamidah mengatakan, agama mana pun pasti melindungi korban kekerasan, dan Islam sangat ingin menguatkan yang lemah.
“Interpretasi agama yang tepat justru akan membuat seseorang mendukung ditegakkannya hukum yang berpihak pada korban,” ujarnya.
Berangkat dari pemahaman bahwa agama berpihak pada yang lemah, Luluk berharap agar pembicaraan mengenai RUU PKS dilandaskan pada empati kepada korban.
Luluk mengatakan pendekatan pada kelompok-kelompok agama penting untuk membuat narasi keagamaan seputar RUU tersebut.
“Kita bisa kolaborasi, hadir di NU, ke pesantren, pilih siapa yang bicara, pesantren mana. Itu menjadi bagian yang menguatkan strategi yang kita bangun. Selama ini belum banyak yang berbicara dari kalangan agama, tapi itu tidak berarti mereka tidak mendukung kita,” ujar Luluk.
Dalam kerangka nilai agama, salah satu hal penting yang diusung adalah tentang kemanusiaan dan siapa saja yang berhak untuk bebas dari kekerasan seksual.
“Sempat ada obrolan tentang pekerja seksual, apa perlu dilindungi saat mengalami kekerasan seksual? Apakah pekerjaan seseorang mengabaikan hak dia sebagai individu untuk dilindungi negara? Saya jawab ya, mereka tetap butuh dilindungi,” kata Luluk.
“Bicara tentang manusia, tidak ada ruang untuk kekerasan seksual meski dia pekerja seksual sekalipun,” ujarnya.
Pentingnya Luruskan Persepsi soal RUU PKS
Kendala besar lain yang menghambat pengesahan RUU PKS adalah masih jamaknya kesalahan persepsi tentang RUU PKS. Karenanya, diperlukan strategi tepat, baik untuk menyosialisasikan RUU ini maupun mematangkan isinya, ujar Wawan.
Baca juga: 5 Hal yang Harus Kamu Ketahui tentang RUU PKS
“Setelah melihat rapat dengar pendapat di Badan Legislatif (Baleg) beberapa waktu lalu, saya memandang bahwa bahasan RUU PKS ini masih di permukaan dan belum sama sekali sampai ke substansinya. Justru ditemui adanya upaya untuk membangun narasi dan opini sendiri dan melihat RUU melegalkan perzinaan, padahal ini adalah perlindungan untuk korban,” ujar Wawan.
Diah mengatakan ada banyak bias informasi sehingga dalam pembahasan RUU PKS, sering kali yang digunakan adalah asumsi yang jauh sekali dari substansi legislasi tersebut.
Ia mencontohkan, pasal mengenai pemaksaan perkawinan perlu diluruskan definisinya sehingga eksekusinya nanti bisa dilaksanakan dengan tepat.
“Kita tahu pemaksaan perkawinan itu ada bagi yang dipaksa. Tapi bagi yang memaksa, ukuran dipaksa itu seperti apa? Bagaimana orang dinilai memaksa perkawinan?” tambah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Selain itu, Diah menekankan pada pentingnya merancang dengan baik operasionalisasi bagi para penegak hukum, seperti di ranah hukum pidana, perdata, dan lain sebagainya.
Ia memandang, diskusi seperti yang diadakan kali ini perlu terus dilakukan untuk membicarakan strategi yang hendak dilakukan ke depannya. Dengan demikian, para pendukung RUU PKS bisa membangun narasi yang tidak jauh dari makna substantifnya.
“Kita juga bisa klarifikasi tentang kisah-kisah korban melalui ruang ini dan bertukar pikiran melalui dialog seperti ini,” ujar Diah.
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dengan menandatangani petisi di sini.