‘Keluarga Cemara’ dan Hilangnya Peluang Tampilkan Peran Setara Suami Istri
Seorang bapak rumah tangga mengeluhkan penggambaran keluarga yang masih bernuansa patriarkal dalam film-film Indonesia.
Satu sore yang mendung, saya membawa putri saya yang baru berusia sembilan bulan jalan-jalan keliling kompleks rumah. Ada satu sudut jalan yang menjadi tempat favorit para ibu yang membawa anak mereka bermain di sore hari. Berbaur dengan para pengasuh dan Oma yang membawa cucunya, mereka tidak canggung mengobrol sambil mengawasi anak bermain sepeda atau menyuapi bayi makan. Ketika saya menjadi satu-satunya pria di sana, justru membuat mereka canggung.
“Ibunya mana?” tanya salah satu Ibu.
“Kerja,” jawab saya.
“Oh, kalau kerja, siapa yang jaga dedek?” disambut oleh salah satu Oma yang menjaga cucunya.
Saya tersinggung. Namun, saya segera memaklumi mereka. Keraguan mereka terhadap seorang ayah yang mampu menjaga anaknya sendiri sepertinya mengakar dari pengalaman pribadi mereka.
Saya memilih bekerja di rumah saat anak pertama saya lahir karena saya ingin mengikuti perkembangan anak pertama saya hari demi hari. Beruntung, penghasilan istri saya cukup untuk menghidupi keluarga kami. Sebelumnya, saya terikat kontrak besar dengan salah satu klien industri makanan di Jakarta. Semenjak kerja dari rumah, waktu saya lebih banyak habis menggendong bayi, memberi air susu ibu perah (ASIP) tiap dua jam, memandikan bayi, dan “meninabobokan” bayi yang membuat saya pun ikut tertidur. Produktivitas saya dalam bekerja menurun drastis, namun saya tetap menikmati bekerja dari rumah. Saat istri saya pulang kerja, ia tetap menjadi ibu yang baik bagi anak kami. Ia bangun lebih pagi untuk membuat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sebelum ia berangkat kerja, dan memerah ASI disela-sela istirahat tempat ia bekerja.
Saya berpikir, di zaman sekarang ini, stay-at-home dad atau bapak rumah tangga sudah diterima dengan baik. Ternyata, saya salah. Saya sering mendapatkan tatapan aneh dari sopir transportasi daring yang menjemput istri saya bekerja tiap pagi, karena saya menggendong anak dengan masih mengenakan baju tidur dan melambaikan tangan ke istri saya. Saya juga sering menolak tawaran mertua untuk menjaga cucunya agar saya dapat bekerja di luar rumah. Bukan saya tidak dapat bekerja, tapi saya memilih untuk menjadi ayah di rumah bersama anak saya. Dan rupanya hal ini membingungkan banyak orang, termasuk para tetangga di kompleks rumah.
Batin saya diuji kembali awal tahun ini, setelah menonton film Keluarga Cemara. Semua membicarakan kisah Abah yang mengharukan di film ini, yang kemudian mendapat penghargaan Piala Maya sebagai Film Terpilih (Film Terbaik). Saya tidak akan mengomentari kualitas filmnya. Saya hanya melihat bahwa tema keluarga di Indonesia masih belum mampu memberikan terobosan nilai baru yang lebih realistis. Film Indonesia yang bertemakan keluarga masih didominasi oleh nilai-nilai patriarkal dan memaksa seorang laki-laki harus tampil sebagai pahlawan.
Padahal film Keluarga Cemara yang katanya dikemas lebih Milenial ini justru memiliki kesempatan terbaiknya untuk memberikan nilai-nilai baru dalam peran seorang ayah dan ibu yang lebih setara. Namun, rupanya sutradara Yandy Laurens dan kawan-kawan memilih tetap menonjolkan kuatnya peran bapak. Abah banting tulang di jalan menjadi sopir ojek daring. Ia berusaha tegar di depan Emak dan anak-anaknya. Sistem patriarki masih perlu dipertahankan seperti itulah kurang lebih keinginan Abah. Padahal Emak bisa membuat opak untuk membantu keuangan keluarga, tetapi yang menjualnya Euis, anak pertama. Emak harus tetap di rumah menjaga Ara, anak kedua.
Keluarga Cemara dikemas sangat baik sekali, namun tidak berbeda dengan film-film bertemakan bapak yang sudah ada, misalnya Tampan Tailor produksi Maxima Picture (2013). Meskipun ada cerita tentang ayah yang merawat anaknya, namun dikisahkan bahwa ibu sudah meninggal dunia. Film lain yang bertema sama, tentang ayah yang harus merawat anaknya karena sang ibu sudah tiada , adalah Ayah Menyayangi Tanpa Akhir (MD Picture, 2015) yang dibintangi Fedi Nuril. Jika pun ada kisah ibu yang menjadi pahlawan keluarga, sering kali kalau tidak suaminya meninggal, pasti suaminya berselingkuh.
Di tengah gempuran film drama yang masih memuja patriarki, Ernest Prakasa, sutradara yang sedang naik daun, membawa angin segar lewat Milly dan Mamet. Film ini nyaris membawa nilai feminis yang menyenangkan. Namun, demi sebuah skenario yang “membumi”, sosok Mamet pun tetap digambarkan sebagai karakter yang harus kuat sebagai kepala keluarga dan kebingungan mengurusi anaknya sendiri ketika menangis. Meskipun demikian, Milly dan Mamet diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi pembuat film keluarga untuk tidak terjebak pada kisah-kisah patriarkal.
Tentu sangat menarik jika film keluarga atau drama mengambil tema seperti Erin Brokovich yang diperankan Julia Roberts. Film tersebut menampilkan sosok perempuan yang berperan ganda, bekerja menyelidiki kasus lingkungan hidup sambil merawat anak-anaknya. Sosok perempuan dalam film ini tidak merasa tersinggung ketika Erin lebih hebat darinya. Atau dengan sudut pandang yang lebih beragam namun tetap membumi seperti film The Help atau Hidden Figures yang dengan leluasanya menampilkan kisah-kisah perempuan yang hebat tanpa harus merendahkan pria. Film-film tersebut tetap menarik ditonton padahal tidak ada suami yang berselingkuh atau meninggal.
Seandainya film-film keluarga Indonesia dapat menghadirkan kisah yang menarik tanpa selalu membawa nilai-nilai patriarki, maka tentu dapat memberi inspirasi yang baru dalam kehidupan keluarga di Indonesia. Sebab, keluarga tidak mencari siapa yang harus kuat dan siapa yang harus lembut. Keluarga seperti merawat taman, dibutuhkan pupuk yang seimbang bagi akar tanaman dan tanahnya. Ini bukan soal tanah lebih penting atau pupuk diutamakan. Keluarga seharusnya bicara keseimbangan yang dapat disesuaikan, siapa yang mau jadi tanah dan siapa yang mau jadi pupuknya. Sebagai suami dan ayah, saya tidak ingin menjadi yang paling tinggi di keluarga, biarlah cemara saja yang paling tinggi.