December 5, 2025
Culture Opini

Kenapa ‘E-Reader’ Lokal Bisa Jadi ‘Game Changer’ di Indonesia

‘E-reader’ lokal bisa mengubah peta permainan: lebih ramah lingkungan, mendukung penulis, dan membuka akses membaca untuk semua.

  • August 6, 2025
  • 4 min read
  • 1012 Views
Kenapa ‘E-Reader’ Lokal Bisa Jadi ‘Game Changer’ di Indonesia

Bagi saya, seorang pembaca neurodivergen yang kesulitan membaca buku fisik, e-reader adalah penyelamat. Dengan bantuan bionic font di perangkat, target membaca 50 buku setahun terasa mungkin—angka yang setara separuh total buku yang pernah saya baca seumur hidup.

Namun, saya merasa resah karena semakin sedikit buku berbahasa Indonesia dan terjemahan yang masuk ke toko buku besar. Buku yang tidak best seller global atau tidak viral jarang dilirik untuk diterjemahkan. Padahal banyak karya penting, termasuk buku feminisme, tidak populer secara komersial.

Sering kali saya menemukan buku berbahasa Inggris di rak toko buku tanpa versi terjemahan. Andai saja The Communion: The Female Search for Love karya bell hooks tersedia dalam bahasa Indonesia dan bisa saya simpan di satu perangkat, pasti luar biasa. Begitu pula dengan karya penulis lokal seperti Hijrah Jangan Jauh-Jauh (Kalis Mardiasih), The ‘O’ Project (Firliana Purwanti), atau Dua Sisi Bintang (Dian Purnomo), yang sering sulit didapat dalam bentuk digital.

Dari wawancara dengan tujuh pengguna e-reader seperti Kindle, Kobo, dan Nook, semua sepakat bahwa perangkat ini nyaman dan praktis. “Baca buku fisik menyenangkan, tapi repot kalau raknya penuh,” ujar salah satu narasumber.

Ponsel dinilai tidak nyaman untuk membaca lama, sementara e-reader unggul karena layar e-ink bisa digunakan di gelap dan bebas pantulan matahari. Fitur notes dan highlight juga rapi tersimpan.

Kelebihan lain adalah mampu menyimpan ribuan buku dalam satu perangkat. Namun, kendala terbesar adalah sulitnya mendapatkan buku digital Indonesia yang kompatibel. Banyak buku hanya tersedia dalam format PDF, yang kaku dan tidak mendukung penyesuaian ukuran font.

“Kadang saya terpaksa mencari cara ilegal untuk dapat format yang cocok. Sayang sekali, ini membuat karya lokal makin sulit diakses,” kata seorang pengguna.

Format PDF masih mendominasi buku digital Indonesia. Di e-reader, format ini membuat pembacaan tidak nyaman karena tidak responsif. Sebaliknya, format EPUB atau MOBI memungkinkan penyesuaian huruf dan tata letak.

Masalah ini bukan sekadar teknis, tetapi juga soal aksesibilitas. Bagi pembaca dengan kebutuhan khusus atau keterbatasan penglihatan, format fleksibel sangat penting.

Baca juga: Buku Asli Tak Terbeli Bajakan Diminati, Apa Solusinya?

Keuntungan e-Ink dan keterbatasan perangkat Lain

Layar e-ink menjadi alasan utama pengguna beralih ke e-reader. Teknologi ini menyerupai kertas, nyaman di mata, bebas distraksi, dan hemat baterai—ideal untuk pembaca yang sering bepergian.

Namun, harga e-reader impor masih menjadi hambatan. “Kalau ada e-reader lokal yang lebih terjangkau, pasti lebih banyak orang bisa mengakses,” ujar seorang narasumber.

E-reader buatan luar masih dianggap barang mewah karena harga yang tinggi. Tapi siapa tau ada e-reader local ya nanti yang bisa lebih terjangkau, itu akan membuka akses lebih luas bagi masyarakat,” ujar salah satu narasumber.

Pengguna berharap e-reader lokal mampu menyediakan katalog buku digital Indonesia, termasuk dalam bahasa daerah seperti Sunda, Jawa, Minang, atau Bali.

“Buku pengetahuan lokal juga penting didigitalisasi, dan ada kamus untuk membantu memahami bahasa daerah,” kata salah satu responden.

Selain itu, e-reader lokal harus mendukung pembelian langsung dari platform buku digital Indonesia, menyediakan sinkronisasi catatan, dan fitur terjemahan kata.

Baca juga: Membacakan Buku untuk Lansia: Literasi yang Menghangatkan dan Menghubungkan Generasi

Peluang besar di pasar Indonesia

Bayangkan jika platform buku digital besar di Indonesia membuat e-reader sendiri yang terhubung langsung ke akun pengguna. Pembaca bisa mengunduh, memberi catatan, menandai halaman, hingga mencari definisi kata tanpa hambatan format.

Sayangnya, toko buku besar di Indonesia saat ini lebih fokus menjual alat tulis dan perlengkapan sekolah daripada berinvestasi di perangkat baca. Padahal e-reader lokal bisa meningkatkan literasi masyarakat, mengurangi penggunaan kertas dan penebangan hutan, serta ramah untuk pembaca dengan kebutuhan khusus. Bagi penulis independen, e-reader lokal juga membuka peluang untuk menerbitkan karya tanpa biaya cetak besar.

Keterjangkauan adalah faktor penentu. E-reader lokal dengan harga masuk akal dan layanan purna jual di dalam negeri akan memperluas akses literasi digital secara signifikan.

“Kalau ada e-reader lokal terintegrasi dengan platform buku Indonesia, saya akan langsung beli,” kata seorang narasumber.

Baca juga: Sastra Dinikmati Banyak Orang, Tapi Penulisnya Kerap Dilupakan

Wawancara dengan para pengguna menunjukkan kebutuhan nyata akan e-reader yang terintegrasi dengan ekosistem buku digital Indonesia. Keinginan untuk membaca buku lokal dalam format nyaman dan fleksibel semakin besar.

Jika pengembang lokal mampu menciptakan perangkat kompatibel dengan format EPUB atau MOBI, serta menyediakan katalog buku nasional yang luas, akses literasi akan meningkat drastis.

E-reader lokal yang terjangkau, kompatibel, dan ramah bahasa akan menjadi langkah besar bagi literasi digital Indonesia—memperkaya pengalaman membaca, mendukung penulis lokal, dan membuat buku berkualitas dapat diakses siapa saja.

Riska Carolina adalah pegiat literasi dan kindle girlie yang mencari cara agar membaca lebih terjangkau, ramah lingkungan, dan mudah diakses, sambil mendorong keberagaman dalam dunia buku.

About Author

Riska Carolina

Riska Carolina, feminis, pembela HAM, dan advokat untuk studi seksualitas, bercita-cita jadi ahli hukum seksualitas—memang belum profesor, hanya provokator yang ingin menjembatani hukum dan seksualitas.