June 23, 2025
Culture

Sastra Dinikmati Banyak Orang, Tapi Penulisnya Kerap Dilupakan

Buku-buku sastra sering dipuji sebagai cermin kebijaksanaan dan hiburan berkualitas. Tapi penulisnya berjuang tanpa jaminan hidup layak. Sampai kapan apresiasi kita sebatas pujian?

  • June 2, 2025
  • 4 min read
  • 521 Views
Sastra Dinikmati Banyak Orang, Tapi Penulisnya Kerap Dilupakan

Banyak yang bilang bahwa bangsa ini adalah bangsa berbudaya, bangsa yang mengimani sastra sebagai cermin kearifan lokal penuh makna. Namun, yang kerap terjadi, sastra diperlakukan seperti hidangan gratis di meja prasmanan. Dinikmati ramai-ramai, dipuji, “wah, enak sekali,” tapi begitu pesta usai, kita lupa siapa yang memasak hidangan tersebut.

Begitu pula nasib para penulis fiksi di negeri ini. Mereka dicintai karyanya, namun kerap diabaikan kesejahteraannya. Saya menulis ini karena mengalami sendiri bagaimana pergulatan batin para penulis fiksi sebenarnya.

Sebagai penulis, saya sering menerima komentar seperti, “Bagus sekali ceritanya, Mbak. Bikin baper, sangat menginspirasi.” Namun ketika saya bertanya, “Sudah beli bukunya?” jawabannya sering, “Belum sih, saya pinjam dari teman.”

Lucu, bukan? Kita gemar membaca sastra, tetapi sering enggan membayar hak cipta penulisnya. Padahal, proses menciptakan cerita tidaklah mudah. Ada riset mendalam, malam-malam tanpa tidur, kelas menulis yang tidak murah, perjalanan ke luar kota demi akurasi latar cerita.

Tak jarang penulis juga menghadapi tantangan emosional: mewawancarai narasumber yang meremehkan, menghadapi penolakan naskah, atau harus mengulang riset demi akurasi cerita. Semua itu dilakukan dengan harapan agar karya yang dihasilkan dapat menghibur, menginspirasi, dan menggugah pemikiran.

Baca juga: Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam

Sastra dinikmati, tapi tidak dihargai secara ekonomi

Data GoodStats menunjukkan, buku sastra menempati peringkat kedua sebagai kategori buku yang paling sering dipinjam di perpustakaan umum Indonesia. Ironisnya, minat baca di Indonesia masih rendah, yakni peringkat ke-60 dari 61 negara menurut Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB, UNESCO.

Sastra memang dinikmati. Namun penghargaan terhadap penulisnya masih minim. Banyak yang merasa cukup membaca buku pinjaman, atau bahkan meminta file PDF secara cuma-cuma. Seolah-olah gagasan bisa diakses gratis, tanpa menghargai sumber ide dan kerja keras di baliknya.

Dalam dunia produksi budaya, seperti yang dikemukakan sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, seharusnya ada nilai simbolis dan nilai ekonomi yang diterima penulis. Namun yang sering terjadi, pujian “wah, ini karya yang mendalam” tidak sebanding dengan honor Rp500 ribu untuk cerpen ribuan kata. Atau lebih parah lagi, hanya sertifikat digital dari lomba.

Baru-baru ini, saya membaca artikel di Harian Kompas berjudul “Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra”. Banyak sastrawan yang di masa tuanya hidup dalam kesulitan ekonomi. Mereka yang dulu menginspirasi, kini terlupakan.

Sering perhatian baru datang saat mereka berpulang. Media sosial ramai dengan unggahan kenangan, influencer berlomba membuat tribute. Tapi saat mereka masih hidup dan berkarya, sedikit sekali yang benar-benar peduli.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Naskah fiksi saya dibahas di klub buku, dikutip di media sosial, bahkan dibacakan dalam acara beberapa komunitas. Namun yang membeli bukunya? Bisa dihitung dengan jari. “Karyamu keren banget, Mbak,” katanya. “Tapi bisa diskon nggak?” Ada juga yang lebih polos: “Bisa minta PDF-nya? Aku pengen baca, tapi belum ada duit.”

Ini bukan soal pelit. Ini soal penghargaan. Seperti kata penulis feminis, bell hooks, “There is no such thing as love without justice.” Jika kita mengaku cinta sastra, keadilan bagi penulis harus menjadi bagian dari cinta itu.

Baca juga: Menelusuri Geliat Kritik Sastra Anak Indonesia: Minim dan Diabaikan?

Penulis berhak hidup layak

Sastra sering dianggap sekadar hiburan. Tapi di balik setiap karya ada penulis yang rela begadang, riset berlembar-lembar, dan mengorbankan waktu, tenaga, serta biaya. Ironisnya, bangsa ini merayakan Hari Buku Nasional, tapi belum ada Hari Penulis Nasional yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan penulis.

Profesi penulis sering dipuji sebagai pekerjaan intelektual, namun minim penghargaan ekonomi. Sampai kapan kondisi ini dibiarkan? Berapa banyak lagi berita duka tentang penulis yang wafat dalam kesulitan ekonomi yang harus kita baca, baru kita tersadar?

Sudah waktunya kita berhenti memperlakukan penulis seperti koki pesta: diminta memasak hidangan lezat, tetapi pulang dengan perut kosong. Mari bertanya pada diri sendiri: jika saya menyukai sebuah buku, sudahkah saya membelinya? Sudahkah saya mendukung penulisnya agar bisa terus berkarya?

Baca juga: Dilema Perempuan Penulis: Kejujuran, Industri, dan Keberpihakan

Karena sastra bukan sekadar hiburan. Ia adalah suara zaman. Dan para penulis adalah saksi, pengingat, dan penenun sejarah yang layak dihargai sebagaimana mestinya. Mereka berhak hidup layak, seperti pekerja seni lainnya. Tidak semua penulis berkarya hanya karena hobi. Bagi banyak dari mereka, ini adalah jalan hidup yang penuh cinta dan pengorbanan.

Foggy FF adalah seorang novelis dan esais, memiliki kepedulian terhadap isu perempuan dan kesehatan mental.



#waveforequality
About Author

Foggy FF