Culture Screen Raves

Dapat Banyak Nominasi Oscars, Kenapa Emilia Pérez Dianggap Kontroversial?

Emilia Pérez dapat 13 nominasi, mengungguli film lainnya. Sejarah yang dicetaknya ternyata bikin geram banyak warganet. Nggak cuma eksploitatif terhadap identitas transpuan, penggambaran budayanya pun nggak tepat.

Avatar
  • January 31, 2025
  • 5 min read
  • 1175 Views
Dapat Banyak Nominasi Oscars, Kenapa Emilia Pérez Dianggap Kontroversial?

It’s Oscar season and Emilia Pérez is already making history. Film yang disebut GLAAD sebagai “a step backward for trans representation” ini mendapat 13 nominasi Oscars dan menjadi film tidak dalam bahasa Inggris pertama dengan nominasi sebanyak ini. 

Yes, film berbahasa Spanyol yang ditulis, disutradarai oleh filmmaker asal Prancis, diambil gambarnya di Paris, dan jadi perwakilan Prancis di kategori Best International Feature ini, se-dirayakan itu. 

 

 

Why do the Academy voters love it so much and the critics hate it so much?

Ditulis dan disutradarai Jacques Audiard, film ini mengisahkan mantan pemimpin kartel Meksiko yang memalsukan kematiannya dan melewati operasi gender affirmation menjadi perempuan. Setelah transisi, Emilia berusaha menebus kejahatan-kejahatannya di masa lalu. 

Di Cannes Film Festival 2024, Cannes memberikan penghargaan best actress, tak hanya satu, melainkan langsung kepada keempat ensemble film Emilia Pérez, termasuk pemeran Emilia, Karla Sofia Gascón, yang adalah seorang transpuan.

Atas pencapaian ini, media-media AS dan Eropa banyak mengapresiasi film ini, bahkan di-framing sebagai “sejarah baru”. Di sisi lain, film ini juga tak lepas dari kritik dan dianggap performative progress oleh komunitas transgender dan orang Meksiko. 

Dalam artikel GLAAD, beberapa transpuan jurnalis menilai film ini lebih mencerminkan imajinasi cisgender ketimbang pengalaman nyata transgender. 

Sarah-Tai Black pada The Globe and Mail menulis film ini gagal menyampaikan konteks sosial dan politik yang melatarbelakangi pengalaman komunitas transgender.

Transisi Emilia dikritik jurnalis PinkNews, Amelia Hansford, bukan sebagai perjalanan pribadi, tapi hanya sebagai plot device untuk memperkuat narasi kriminal dan penebusan dosa masa lalunya sebagai bos kartel. 

Setelah Emilia menjalani transisi, ia tetap memanipulasi keluarga dan menggunakan kontak kartel, yang memperburuk representasi transgender dengan stereotip yang problematik dan kerap meninggalkan keluarga.

Black menilai “percakapan” yang dihasilkan dari film ini tak sebanding dengan fakta bahwa ia juga mengorbankan komunitas transgender dan Meksiko yang seharusnya diangkat dan diberdayakan. 

Baca juga: ‘Emilia Pérez’: Musikal Unik dengan Sentuhan Kriminal, Telenovela, dan Komedi

Sikap Ignorant dan Gagasan Eurosentris Audiard 

Selain soal representasi kelompok transgender, Artemisa Belmonte, seorang aktivis di Meksiko, menentang keras penayangan film Emilia Pérez di Meksiko karena sangat menyinggung korban drug war yang telah terjadi sejak 2006. Data PBB mencatat sudah lebih dari 431.000 pembunuhan terjadi di Meksiko sejak pemerintah mengumumkan perang terhadap kartel narkoba

Belmonte menegaskan bahwa film ini terlalu eurosentris dan tidak melakukan penelitian yang memadai. Sang sutradara, Audiard, mengakui kritik tersebut dan meminta maaf jika filmnya dianggap terlalu ringan dalam menangani tema yang sensitif.

Héctor Guillén, penulis asal Meksiko, juga menentang campaign atas film ini di awards season. Lewat unggahannya mengatakan, “(Penghargaan untuk film) ini hanya menunjukkan bagaimana industri film bekerja, yang sangat jauh dari apa yang terjadi di Amerika Latin dan Meksiko.” 

Tak heran, film seperti Emilia Pérez dicintai oleh white Hollywood. Ini khas politik Oscars: merayakan cerita pinggiran yang eksotis dan terasa “progresif” di permukaan, tapi sebenarnya hanya mengukuhkan stereotip lama.

Baca juga: Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’

Mengagungkan Kekerasan dalam “Pilihan Artistik”

The Guardian pernah menyebut, “Audiard’s film is ultimately irresponsible and politically dangerous.”

Dalam film sebelumnya, Dheepan, Audiard menyoroti perjuangan mantan anggota separatis Macan Tamil di Prancis, tetapi justru disederhanakan lewat perspektif Barat. Ada pola dalam karya Audiard: sosok sentralnya yang keras mencoba melindungi wilayah dan orang-orang terkasihnya dalam sebuah “pertarungan terakhir”.

Bagaimana kekerasan dalam film bisa dianggap sebagai seni, sementara dalam kenyataannya kelompok terpinggirkan yang terlibat justru diberi stigma negatif?

Baca juga: Review Film ‘Barbie’: Saat Barbie Keluar Kotaknya dan Melihat Dunia Nyata

Akulturasi dalam Casting Emilia Pérez: Prestasi atau Komodifikasi?

Masalah authorship Audiard atas film ini tak berhenti di narasi yang eksploitatif. Hal yang menjadi cultural debate di antara penonton adalah penggunaan aktor yang tidak sepenuhnya fasih berbahasa Spanyol. 

Dalam wawancaranya dengan THR, Selena Gomez menyebut bahwa karakter Jessi sengaja ditulis ulang menjadi orang Meksiko-Amerika agar lebih relevan dengan latar belakangnya. “Kami menemukan titik tengah yang bagus, di mana karakterku memiliki keluarga di Amerika sehingga lebih sering berbicara dalam bahasa Inggris,” ungkapnya.

Alih-alih berusaha menggambarkan identitas Meksiko secara akurat, Emilia Pérez justru memilih jalan pintas dengan dalih “memilih yang terbaik”.

Dalam wawancara dengan SAG-AFTRA, casting director Carla Hool mengklaim bahwa mereka telah mencari aktor di seluruh Meksiko, Spanyol, dan Amerika Latin untuk mempertahankan otentisitas. Namun, pernyataannya terdengar kosong: “Pada akhirnya, aktor terbaik yang bisa menghidupkan karakter-karakter ini adalah mereka yang ada di sini.”

Pernyataan Hool di-counter oleh aktor Meksiko Eugenio Derbez. Ia melihat ada ketidakselarasan yang mencolok antara dialog dan ekspresi karakter.

“Tubuhnya, suaranya, nada bicaranya mengatakan sesuatu, tetapi dialognya tidak selaras. Dan itu bukan salah Selena (..) Sutradaranya orang Prancis, Selena dari Amerika Serikat, tetapi mereka berkomunikasi dalam bahasa Spanyol,” ujar Derbez.

Emilia Pérez adalah contoh nyata bagaimana representasi dalam film tidak pernah netral dan selalu bersifat politis. Keterlibatan Zoe Saldaña, Edgar Ramírez, dan Mark Ivanir—aktor yang secara aktif mendukung kebijakan pro-Israel—menunjukkan kontradiksi etis yang mendalam dalam proyek ini. 

Ketika kolaborator di depan maupun balik layar melibatkan individu yang aktif melanggengkan ketidakadilan struktural lainnya, film ini kehilangan legitimasi moralnya dan berubah menjadi alat reproduksi ideologi penindasan yang bertentangan dengan nilai-nilai inklusi yang diklaimnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Allaam Faadhilah

Allaam Faadhilah adalah penggemar transportasi umum dan kerap menyusuri belukar perkotaan ke pemutaran film, pameran, atau sekadar bengong di bangku taman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *