December 6, 2025
Issues

Buku Asli Tak Terbeli Bajakan Diminati, Apa Solusinya? 

Harga buku mahal bukan semata ulah penerbit. Minimnya peran negara bikin ekosistem perbukuan makin timpang, penerbit independen pun terjepit.

  • June 27, 2025
  • 5 min read
  • 4414 Views
Buku Asli Tak Terbeli Bajakan Diminati, Apa Solusinya? 

Sebagai mahasiswa Pendidikan Biologi di Universitas Negeri Jakarta, Nur Is Farida terbiasa menghadapi harga buku kuliah yang tinggi. Menurut Nur, mahalnya buku semacam Campbell, yang disebutnya sebagai “kitab suci mahasiswa Biologi,” masih bisa dimaklumi karena proses penulisannya yang panjang dan berbasis riset. 

“Dosen selalu menyarankan buku penunjang yang wajib, seperti buku Campbell. Namun harga satu bukunya bisa sangat mahal, Campbell saja berkisar Rp800 ribu. Itu hanya untuk satu mata kuliah, sementara satu semester bisa ada sekitar 12 mata kuliah,” terang Nur pada Magdalene, (20/6). 

Namun, ia juga menyadari tak semua mahasiswa sanggup membeli buku dengan kisaran harga tersebut. Karena itu, beberapa dosen menyarankan alternatif seperti meminjam buku, membeli bekas, hingga—secara terbuka—membaca versi bajakan. 

Baca juga: Lima Rekomendasi Buku yang Wajib Kamu Baca soal Tragedi 1998

“Ada dosen yang bilang, ‘enggak apa-apa baca buku bajakan kalau untuk ilmu, bukan buat cari untung’. Namun sejauh ini saya menolak beli buku bajakan,” jelasnya. 

Dilema pun muncul. Di satu sisi Nur ingin menghargai kerja penulis dan menolak pembajakan. Di sisi lain, ia mengakui banyak buku penting hanya tersedia dalam versi bajakan atau PDF tak resmi. 

“Saya sadar membaca versi PDF itu juga bentuk pembajakan. Akan tetapi setidaknya tidak ada uang yang masuk ke pelaku pembajakan. Namun tetap saja, itu bukan sesuatu yang boleh dibenarkan,” lanjutnya. 

Di luar buku kuliah, Nur juga senang membaca buku sejarah dan politik. Ia menyebut harga di bawah Rp100 ribu masih bisa dijangkau, mengingat uang jajannya sebesar Rp250 ribu per minggu. Namun ketika harga melebihi batas itu, ia harus memilih. 

“Sebenarnya saya sangat ingin beli tetralogi Pulau Buru, tapi harganya mahal. Banyak yang bilang kualitas cetaknya kurang bagus. Jadi saya tunda, dan sampai sekarang belum terbeli,” ujarnya. 

Meski memahami produksi buku memang mahal, Nur melihat penerbit besar kerap menetapkan harga lebih tinggi dibanding penerbit indie

“Mungkin memang ada permainan marjin keuntungan yang lebih besar di penerbit besar. Makanya harga buku bisa lebih mahal di sana,” katanya. 

Lebih jauh, Nur menyoroti absennya negara dalam menjamin keterjangkauan buku. “Pemerintah idealnya melakukan subsidi silang ke penerbit supaya harga buku bisa lebih terjangkau. Atau minimal, koleksi buku di perpustakaan diperbanyak biar masyarakat tetap bisa akses ilmu,” tandasnya. 

Baca juga: Klub Buku Menjamur, Benarkah Minat Baca Masyarakat Indonesia Meningkat?

Keterbatasan Akses yang Tak Bisa Diatasi Sendiri 

Hal serupa disampaikan Lalu Adam Farhan Alwi, 23. Ia adalah pegiat literasi dan pendiri komunitas baca Atap Bercerita, yang menyediakan buku untuk anak-anak jalanan di sekitar Waduk Cincin, Jakarta Utara. 

Ia menyebut mahalnya buku sebagai penghalang besar dalam upaya mendorong minat baca. 

“Setiap Minggu kita membuka ruang dengan menyediakan buku bacaan untuk anak-anak di sekitar Waduk Cincin,” jelasnya. 

Namun, semangat anak-anak kerap terhalang oleh kenyataan: Buku berkualitas untuk anak-anak harganya tidak terjangkau. 

“Ketika kami ingin menyediakan buku yang isinya bagus, terbentur harga mahal. Namun kalau kami beli buku yang asal terjangkau, ternyata isinya kurang bagus dan anak-anak jadi cepat bosan,” tuturnya. 

Adam juga menyoroti meski buku telah dibebaskan dari pajak lewat UU Nomor 7 Tahun 2021, masih ada banyak komponen biaya yang tidak disentuh oleh kebijakan tersebut. 

“Tanpa campur tangan yang serius dari pemerintah, harga buku akan tetap mahal dan tidak bisa terjangkau oleh seluruh kalangan,” ujarnya, Senin (23/6). 

Ia percaya pembajakan buku bukan semata bentuk kriminalitas, tapi juga gejala sistemik dari ketimpangan akses. 

“Pembajakan buku adalah bukti minat baca masyarakat tinggi, namun tidak didukung dengan kemudahan akses. Saya sangat mengecam pembajakan karena hanya menguntungkan pencuri dan merugikan penulis serta pihak penerbitan,” tegasnya. 

Baca juga: Puti Karina Puar, Ajak Ibu Berdaya lewat ‘Buibu Baca Buku’

Buku Mahal Bukan Salah Penerbit tapi Absennya Negara 

Windy Ariestanty, pendiri kolektif Pacar Merah yang menaungi tiga penerbit independen, memaparkan kompleksitas harga buku dari sisi industri. Ia menjelaskan harga akhir buku ditentukan dari setidaknya lima komponen utama: Biaya produksi (kertas, mesin cetak, desain), operasional (gaji pekerja), distribusi, promosi, dan royalti penulis. 

“Masyarakat itu sering kali menempatkan penerbit buku sebagai tokoh antagonis ketika membahas harga buku yang dianggap belum terjangkau. Memang benar, penerbitan punya dua wajah, yakni sosial dan bisnis. Namun yang dibicarakan publik selalu sisi sosial tentang mencerdaskan bangsa, tentang budaya literasi tanpa membahas bagaimana bisnisnya berjalan,” jelasnya, (24/6). 

Menurut Windy, penerbit hanya memperoleh marjin keuntungan sekitar 7–8 persen, sementara penulis pun hanya menerima royalti sebesar 10 persen dari harga jual. 

“Penerbit sering dianggap jahat, padahal mereka cuma dapat untung 7–8 persen. Sementara penulis pun hanya memperoleh royalti sekitar 10 persen dari harga jual,” ujarnya. 

Masalah kian rumit karena kenaikan harga bahan baku seperti kertas, serta fluktuasi kurs dolar, langsung menaikkan ongkos cetak. Hal ini makin diperparah oleh dominasi penjualan daring (marketplace) yang tak diatur negara. 

“Misalnya penerbit ngasih diskon langsung 20 persen ke pembeli, padahal reseller cuma dapat margin 30 persen. Mereka jadi tinggal punya sisa 10 persen. Itu tidak cukup untuk bertahan,” lanjut Windy. 

Praktik diskon besar-besaran ini membuat ekosistem distribusi buku runtuh perlahan. Toko buku, reseller, hingga distributor makin tak mampu bersaing. 

Windy menyebut kondisi ini sebagai bentuk “hukum rimba” dalam industri perbukuan. Tanpa perlindungan kebijakan, penerbit kecil maupun mitra penjualnya rentan tersingkir. 

Ia mencontohkan Jepang, yang punya mekanisme harga tetap selama masa book fair, demi menjaga kestabilan harga dan kelangsungan ekosistem industri. 

“Negara bisa ikut campur lewat regulasi harga, atau program pembelian buku dari penerbit untuk disalurkan ke sekolah-sekolah dan rumah baca. Cukup beli 100 eksemplar dari tiap judul saja, dampaknya bisa besar. Penerbit bisa bertahan dan harga buku bisa kita tekan agar masyarakat bisa mudah buat akses,” pungkasnya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.