Jika ditanya siapa yang kini relatif jadi musuh bersama? Bisa jadi jawaban mayoritas orang adalah Israel. Negeri itu belakangan panen kecaman internasional setelah berhari-hari menyerang jantung Kota Gaza, termasuk mengarahkan roket ke beberapa rumah sakit yang di dalamnya terdapat ratusan warga sipil. Akibat tindakan Israel, korban jiwa dari pihak Palestina sudah mencapai 5 ribu orang, dan diperkirakan masih terus bertambah.
Hamas, organisasi paramiliter di Gaza, dan tentara pemerintah Israel saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab atas kejadian tersebut.
Dukungan dunia pun terpecah. Pemerintah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan mayoritas negara Eropa berpihak penuh pada Israel. Sementara itu, negara-negara Timur Tengah seperti Iran dan Arab Saudi, ditambah Rusia dan Cina, cenderung mendukung langkah Hamas sebagai perjuangan kemerdekaan Palestina.
Di Indonesia, tidak sulit untuk melihat arah dukungan publik. Banyak masyarakat Indonesia, mayoritasnya Muslim, mengekspresikan kemarahan kepada Israel, dalam bentuk mulai dari demonstrasi massa, ajakan untuk memboikot produk Israel, penggalangan dana untuk korban Palestina dan aksi kemanusiaan lainnya, hingga narasi-narasi kecaman di media sosial.
Fenomena kemarahan dan kebencian publik terhadap Israel bisa dijelaskan melalui kajian ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial. Utamanya, ini merupakan fenomena emosi di level kelompok.
Tidak ada yang salah dengan ekspresi emosi tersebut. Namun, jika terlalu berlebihan akan berdampak buruk dan mengakibatkan diskriminasi kelompok.
Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
Emosi dan Kebencian terhadap Israel
Alasan utama munculnya emosi dan rasa benci publik terhadap Israel dapat dijelaskan melalui Intergroup Emotions Theory, yaitu tentang adanya emosi level kelompok yang juga dipengaruhi faktor tingkat identifikasi kita terhadap suatu kelompok.
Sementara itu John M. Levine, profesor emeritus psikologi dari University of Pittsburgh di AS dalam bukunya, Group Processes, menyatakan bahwa emosi berdampak besar terhadap memori, kognisi, dan juga perilaku individu.
Sementara menurut Teori Kategorisasi Diri, hal ini dapat memicu perasaan kebencian terhadap ‘outgroup’, yaitu pihak yang dianggap menzalimi ‘ingroup’. Ingroup adalah kelompok sendiri, sementara outgroup adalah kelompok berbeda/bukan kelompoknya.
Terlebih, dalam kelompok yang berbasis agama–karena Indonesia dan Palestina sama-sama mayoritas Muslim–individu menunjukkan lebih banyak emosi negatif terhadap outgroup-nya.
Dalam konteks konflik antara Israel dan Hamas, Israel merupakan outgroup bagi masyarakat Indonesia karena representasi kelompok mereka adalah Yahudi. Sementara itu, Hamas atau kelompok-kelompok yang dianggap mewakili Palestina, adalah ingroup karena representasi penduduk mereka adalah Muslim, sama dengan Indonesia.
Kategorisasi keyakinan (identitas agama) ini biasanya menjadi landasan paling kuat munculnya “emosi” untuk membela suatu kelompok, termasuk ketika ada peristiwa yang mengancam ingroup tersebut.
Misalnya, jika anggota kelompok merasa bahwa ingroup mereka diperlakukan tidak adil atau dihina oleh kelompok lain, mereka mungkin mengalami emosi negatif terhadap anggota outgroup serta membentuk sikap negatif tentang mereka.
Ini juga menjelaskan mengapa kebencian masyarakat terhadap Israel seringkali merembet, tidak hanya pada Israel, tetapi juga pengikut Yahudi dari negara-negara lain.
Terlepas dari kondisi geopolitik yang ada, publik di Indonesia mayoritas merasa Palestina adalah saudara sesama Muslim yang mendapatkan perlakuan tidak adil dan dijajah.
Kekuatan identifikasi ingroup ini dapat berkontribusi pada intensitas emosi antarkelompok. Individu dengan tingkat identifikasi yang tinggi terhadap kelompoknya cenderung menunjukkan pengalaman emosional yang lebih kuat.
Baca juga: Standar Ganda Feminis Barat Kala Bicara Kasus Palestina
Apa Dampaknya?
Kebencian dan emosi negatif pastinya dapat merugikan, karena dapat memicu konflik antarkelompok bahkan penggunaan kekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa kebencian yang intens dapat memicu tindakan kekerasan dan konflik fisik antara kelompok yang berkonflik.
Dampak buruknya, kebencian dapat mendorong diskriminasi terhadap kelompok yang menjadi sasaran kebencian. Individu berprasangka buruk terhadap kelompok tertentu cenderung mendiskriminasi anggota kelompok tersebut dalam berbagai aspek kehidupan.
Contohnya, beragam penolakan kedatangan Tim Nasional Israel ke Indonesia untuk mengikuti gelaran Piala Dunia Sepak Bola U-20. Tanpa disadari, rasa kebencian publik sudah merembet ke pihak yang seharusnya tidak menjadi target. Padahal, Timnas Israel kemungkinan tidak terkait dengan perang di Gaza dan mereka belum tentu mendukung serangan pemerintahnya ke Gaza.
Konsekuensinya, Indonesia batal menjadi tuan rumah turnamen internasional tersebut, padahal sudah menggelontorkan dana sebanyak Rp4,1 triliun untuk menggelarnya.
Baca juga: 5 Buku tentang Palestina yang Harus Kamu Baca
Bagaimana Meredamnya?
Kebencian merupakan emosi negatif ekstrem dan terus-menerus, melibatkan perasaan permusuhan dan penghinaan anggota outgroup, dan kesediaan untuk menyakiti atau bahkan menghancurkan outgroup itu.
Siapapun objek dari bentuk emosi ini berdampak terhadap keinginan atau perilaku untuk melukai outgroup. Kebencian sebagai emosi negatif ekstrem akan lebih mudah untuk mendorong perilaku yang kelewat batas.
Contohnya, kebencian ekstrem bisa saja membangkitkan sel-sel tidur kelompok terorisme di Indonesia yang siap berjihad di Palestina atau bahkan menargetkan simbol-simbol Israel di Indonesia. Tindakan mereka tersebut bisa saja mengancam keselamatan warga sipil di Indonesia.
Oleh karena itu kebencian ekstrem harus diredam agar, siapapun objek kebenciannya, tidak berdampak negatif bagi individu atau bahkan masyarakat yang lebih luas.
Kita dapat meredam kebencian dengan merujuk pada konsep Superordinat Identity, yaitu dengan menemukan identitas bersama yang lebih besar daripada perbedaan kita, sehingga dapat menyatukan orang-orang dari kelompok berbeda.
Jadi, dalam konteks kebencian terhadap Israel, teori ini akan menekankan persamaan lebih besar di antara semua manusia, di luar persamaan identitas agama semata.
Misalnya, ketika kita berbicara tentang hak asasi manusia (HAM), perdamaian, dan kemanusiaan, ini adalah nilai-nilai yang bersifat universal dan berlaku untuk semua orang, terlepas dari latar belakang atau identitas mereka.
Kita tidak akan cenderung membenci Israel karena agama yang dianut populasinya, tapi lebih kepada pelanggaran HAM yang dilakukannya, sehingga kita juga bisa lebih objektif dalam mendukung atau tidak mendukung tindakan Hamas yang notabene menyerang masyarakat sipil.
Dengan menekankan identitas manusia secara general, konsep identitas superordinat mencoba meminimalkan perbedaan yang bisa memicu kebencian.
Vici Sofianna Putera, Dosen Universitas Islam Bandung.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.