Election 2024 Politics & Society

Kenapa Masyarakat Indonesia Tetap Pilih Prabowo Meski Sudah Nonton ‘Dirty Vote’?

Meskipun Dirty Vote ditonton lebih 9,1 juta kali, data menunjukkan film ini tidak memengaruhi suara Prabowo-Gibran. Mengapa?

Avatar
  • March 1, 2024
  • 5 min read
  • 2764 Views
Kenapa Masyarakat Indonesia Tetap Pilih Prabowo Meski Sudah Nonton ‘Dirty Vote’?

Film Dirty Vote, yang bertepatan dengan masa tenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam film tersebut, para ahli Hukum Tata Negara, di antaranya Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari menyajikan bukti yang meyakinkan tentang pola kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang diduga dilakuka oknum negara pada Pemilu 2024.

Film Dirty Vote mengeksplorasi taktik propaganda yang digunakan oleh para pejabat publik untuk menggunakan kekuasaannya dalam memainkan situasi politik 2024. Pengaruh kepala daerah dan pejabat publik terhadap hasil Pemilu 2024 rupanya menjadi aspek penting bagi pasangan calon presiden (capres) tertentu. Ini membuat netralitas pejabat negara diragukan.

 

 

Baca juga: 7 Fakta Penting Film ‘Dirty Vote’ yang Bikin Pemainnya Dipolisikan

Setiap kandidat presiden dalam film ini diduga terlibat dalam taktik manipulatif menggunakan otoritas mereka masing-masing. Namun, pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapat lebih banyak sorotan.

Film ini sempat diprediksi akan menjatuhkan perolehan suara Prabowo-Gibran.

Fakta di Lapangan

Menurut hasil hitung cepat KPU pada 19 Februari 2024, pukul 20:00:15, 589.624 suara dari 823.236 lokasi pemungutan suara telah dihitung, atau sama dengan 71,62 persen dari total suara yang masuk. Prabowo-Gibran memperoleh 56.424.389 suara atau Tujuh Isu Krusial yang Membayangi Kemenangan Prabowo-Gibran

Masyarakat, terutama di tingkat akar rumput, kemungkinan besar tidak menunjukkan minat pada isu demokrasi yang disajikan dalam makan siang dan susu gratis bisa jadi lebih relevan untuk masyarakat menengah ke bawah. Dari segi pendidikan, misalnya, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun 2021-2022 menunjukkan bahwa persentase pemilih yang berpendidikan SMP ke bawah sebesar 53,2 persen dan 36 persen di antaranya memilih Prabowo.

Peta pemilih Prabowo-Gibran

Harold Dwight Lasswell, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), mengembangkan formula analisis politik yang dikenal sebagai “Who gets What?, When, and How” untuk memeriksa model politik, yang digunakan juga pada negara-negara mayoritas Muslim seperti di Indonesia.

Saya menggunakan formula ini untuk melihat siapa yang sebenarnya mendapatkan keuntungan dari film Dirty Vote.

Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD memang mendapat manfaat dari narasi yang dibangun di dalam film. Namun, Prabowo-Gibran justru makin tenar dan mendapatkan panggung.

Berdasarkan wawancara pribadi dengan tim kampanye Prabowo-Gibran, film tersebut tidak berdampak signifikan terhadap hasil Pemilu. Dia menyatakan bahwa suara mereka telah terdistribusi di lima kelompok sumber suara.

Baca juga: Ragukan Guru Besar hingga Ahli di ‘Dirty Vote’, Warga +62 Harus Berhenti Menyangkal Pakar

1. Pemilih pemula fokus pada isu-isu anak muda

Kelompok pertama terdiri dari pemilih pemula yang didominasi oleh Gen Z, anak muda yang lahir di antara tahun 1997 dan 2012 atau saat ini mereka berusia 12 hingga 27 tahun. Terlepas dari apakah mereka menonton film itu atau tidak, ada beberapa penyebab banyaknya suara di kelompok pertama untuk Prabowo-Gibran. Di antaranya, Ganjar Pranowo dianggap bertanggung jawab atas kegagalan terselenggaranya Piala Dunia U20 di Indonesia. Selain itu, promosi narasi “gemoy” telah menarik banyak pemilih muda . Begitu juga dengan posisi Gibran yang dianggap sangat mewakili generasi muda.

2. ‘Jiwa Korsa’ mematuhi komando

Kategori kedua terdiri dari kelompok yang memiliki “Jiwa Korsa” (semangat daya juang atas dasar persamaan rasa persaudaraan, persahabatan, dan kekompakan) yang kuat, yakni kelompok militer. Logika korps membuat kelompok ini tidak akan terpengaruh oleh film Dirty Vote, dan justru bersatu di bawah komando untuk kemenangan Prabowo, seorang mantan pejabat militer dan masih sangat dihormati.

3. Percaya bahwa Prabowo adalah penerus Jokowi

Kelompok ketiga terdiri dari simpatisan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Keberpihakan Jokowi terhadap kubu Prabowo-Gibran FOKSI (Forum Komunikasi Santri Indonesia) yang melaporkan tiga akademisi dalam film tersebut.

5. Simpatisan kegigihan Prabowo

Kelompok kelima adalah masyarakat umum. Baik yang tinggal di pedesaan ataupun di perkotaan. Mirip dengan Generasi Z, kelompok ini menunjukkan rasa tidak peduli terhadap film Dirty Vote. Mereka percaya bahwa Prabowo adalah capres dengan tingkat ambisi tertinggi untuk menang dan beberapa faktor alasan pembenaran lainnya.

Upaya Prabowo yang gagal sebagai cawapres pada Pilpres 2009 dan sebagai capres pada Pilpres 2014 dan 2019 mendapat rasa simpatik dari rakyat Indonesia. Prabowo memenangkan hati dan rasa iba dari banyak orang karena tekadnya yang tidak tergoyahkan untuk menjadi presiden Indonesia . Dengan narasi tersebut, Prabowo telah berhasil membangun citra sebagai orang yang tidak mudah menyerah.

Dalam kacamata teori Lasswell, hasil politik muncul karena adanya interaksi antara aturan, realitas, dan pilihan. Pilihan yang diambil para pemilih dalam menghadapi peraturan dan kenyataan menentukan hasil politik.

Aturan menunjukkan bahwa ada indikasi kecurangan pemilu dan penyalahgunaan kekuasaan pada Pemilu 2024 sebagaimana ditampilkan dalam film Dirty Vote. Namun, pemilih memiliki realitas mereka terkait citra dan karakter yang dibangun Prabowo, dukungan presiden, maupun fanatisme. Ketika dihadapkan pada dua hal ini, pemilih memilih untuk tetap memberikan suaranya pada Prabowo-Gibran meskipun sudah menonton film itu.

Dengan kata lain, film yang awalnya dianggap akan mereduksi jumlah pemilih Prabowo justru menguntungkan Prabowo-Gibran.The Conversation

Rifqi Nurdiansyah, Mahasiswa Doktoral Fakultas Studi Islam di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Rifqi Nurdiansyah

, Mahasiswa Doktoral Fakultas Studi Islam di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *