Trilogi ‘Fear Street’: Amarah Perempuan dari Alam Kubur
Trilogi Fear Street dengan genre slasher bercerita tentang kutukan penyihir perempuan yang mencari keadilan.
Film slasher atau genre karya sinema yang fokus pada cerita pembunuhan berdarah sangat berjaya di 1980-an. Ada dua kombo fenomenal, waralaba Nightmare on Elm Street dan Friday The 13th. Di 2000-an, dilakukan percobaan untuk membangitkan kembali euforia Elm Street dan Friday The 13th, dan disambut dengan ulasan yang beragam.
Karya sinema slasher selalu jatuh pada dua kategori, sangat bagus, sehingga memiliki cult following atau penggemar setia bak sekte atau dihujat habis-habisan oleh kritikus film karena terlalu stereotipikal, mudah ditebak, dan efek yang digunakan dinilai murahan.
Trilogi Fear Street Part One: 1994, Fear Street Part Two: 1978, dan Fear Street Part Three: 1666 yang baru rilis Juli ini mencoba mengembalikan masa jaya untuk film-film slasher. Tiga karya garapan Netflix tersebut berhasil menunjukkan tidak semua film dengan genre itu adalah film jelek dengan menerima sertifikasi ‘segar’ dari Rotten Tomatoes. Sebelumnya, Netflix juga sempat merilis The Babysitter (2017) dan sekuelnya The Babysitter: Killer Queen (2020) yang berhasil menggaet penggemar setia, tetapi penilaian yang kurang memuaskan dari kritikus film.
Disutradarai oleh Leigh Janiak, Fear Street bercerita tentang Deena (Kiana Madeira), adik laki-lakinya Henry (Benjamin Flores Jr.), dan pacarnya Sam (Olivia Scott Welch) yang tinggal di Shadyside, kota yang setiap tahunnya menghasilkan seorang pembunuh berantai. Sebuah peristiwa yang berakar dari ‘kenakalan’ remaja membuat mereka menjadi target terbaru pembunuh Shadyside. Konon katanya, kota itu terus sial karena dikutuk oleh Sarah Fier, seorang penyihir perempuan yang tidak akan membiarkan warga Shadyside hidup bahagia karena telah membunuhnya.
Baca juga: Film Horor Feminis ‘RONG’ Ingin Hantu Perempuan Menang
Deena bersama dua orang terdekatnya harus mencari cara untuk tidak menjadi korban selanjutnya dan menghentikan kutukan itu selamanya. Namun, upaya mencari kebenaran selalu tidak mudah dan mereka harus mengungkap sejarah kelam tentang komunitas mereka. Oleh sebab itu, alur dari film tersebut semakin bergerak mundur untuk mengetahui kronologi terciptanya kutukan penyihir jahat.
Fear Street juga tidak tidak takut menunjukkan identitasnya sebagai film queer dengan sentuhan cerita yang menegangkan. Deena dan Sam, dua tokoh heroik utama, adalah pasangan lesbian yang hubungan dan afeksinya sedang diuji. Belum lagi mereka harus melewati rintangan hidup atau mati melawan kekuatan mistis.
Kehadiran keduanya juga menambah daftar karya sinema horor dengan karakter lesbian, seperti The Haunting of Bly Manor (2020). Selain itu, mematahkan tren film tentang pasangan lesbian yang harus terus diobjektifikasi untuk membuktikan rasa cinta mereka.
Perempuan Non-Konformis Selalu Jadi Korban
Film yang diadaptasi dari buku karya penulis horor R.L Stine tersebut menjadikan dua bintang serial Stranger Things (2016-), Saddie Sink dan Maya Hawk sebagai perwajahan perilisannya.
Fear Street tidak hanya sekadar pembunuh ‘liar’ atau laki-laki yang ingin melakukan pembalasan, seperti Scream (1996) dan I Know What You Did Last Summer (1997) atau si ‘iblis’ dalam mimpi Freddy Krueger. Perempuan yang dihakimi karena ‘menolak’ norma mengekang. Trilogi itu memusatkan perhatiannya pada pengalaman perempuan lesbian yang menolak ditundukkan.
Baca juga: 5 Film Horor Rekomendasi Joko Anwar
Film terakhir dari trilogi mengungkapkan si penyihir jahat Sarah Fier bukan sosok antagonis, tetapi perempuan yang dihukum secara tidak adil ketika ia menemukan jati dirinya sebagai seorang lesbian. Sayangnya, hukuman selalu menanti perempuan yang dianggap melanggar norma karena membawa bencana bagi semua orang. Sarah Fier pun harus dibunuh untuk menghentikan kutukan dan mengembalikan ‘kemurnian’ komunitas mereka.
Cerita tentang penghakiman perempuan dan sejarah munculnya ‘penyihir’ di AS juga memiliki pola yang sama. Peristiwa Salem Witch Trials di Massachusetts pada 1692 merupakan bentuk kebencian pada perempuan yang tidak tunduk pada standar sosial masyarakat puritan. Bridget Bishop, korban pertama yang disebut sebagai penyihir, dihukum hanya karena menolak konformitas dan menjadi diri sendiri.
Kemiripan antara Sarah Fier dan Bishop itu juga ditemukan pada Thomasin (Anya-Taylor Joy) dalam The Witch (2015). Thomasin dituduh penyihir karena tidak ‘becus’ menjadi kakak perempuan dan menggoda laki-laki dengan tubuhnya. Maka dari itu, dia harus dihukum karena bukan gadis puritan yang baik. Namun, cerita lain terjadi pada Thomasin karena dia balik melawan dan menjadi penyihir karena ‘muak’.
Meskipun tidak seutuhnya mirip dengan Thomasin, Sarah Fier juga melakukan perlawanan dengan memberi ‘kutukan’ untuk mengungkap kebenaran. Tema tentang perempuan yang melawan, juga menjadi angin segar karena mereka mengungkap fakta perempuan adalah korban masyarakat patriarki.
Warga Shadyside juga salah kaprah tentang siapa musuh sebenarnya, Sarah Fier hanya seorang ‘tumbal’ proses pesugihannya orang AS. Kesalahpahaman tentang penyihir perempuan sama seperti Medusa, monster Gorgon berambut ular yang mampu mengutuk orang menjadi batu, dari mitologi Yunani kuno. Mitos tentang Medusa dalam versi penyair Romawi, Ovid menyebutkan Medusa adalah perempuan yang diperkosa Dewa Poseidon lalu dikutuk oleh Dewi Athena. Kutukan membuat orang jadi batu adalah cara melindungi diri dari manusia jahat. Medusa dan Sarah Fier tidak pernah salah, tetapi korban kejahatan laki-laki.
Dari masa ke masa perempuan harus selalu tunduk dan menerima jika dikekang dan didikte ini dan itu. Karenanya, tidak heran jika hantu atau makhluk mistis perempuan melakukan pembalasan dari kubur.
Maskulinitas Toksik Sumber Malapetaka
Fear Street bisa dibilang sebagai film dengan nilai feminis. Tidak hanya karena kekuatan mistis perempuan yang menuntut keadilan, tetapi menyentil betapa bahayanya laki-laki dengan maskulinitas rapuh.
Malapetaka yang menimpa Sarah Fier dimulai ketika Caleb, seorang lelaki puritan yang suka memaksa dan melecehkan perempuan, ditolak oleh Hannah, pasangan Sarah Fier. Ia lalu menyimpan dendam pada Sarah dan Hannah karena saat ditolak sempat dipermalukan di hadapan teman-temannya akibat berperilaku kurang ajar.
Dendam dan maskulinitas rapuh adalah dua kombo yang berbahaya. Ketika tragedi menimpa komunitas mereka, Caleb melihatnya sebagai kesempatan menghukum Hannah dan Sarah. Belum lagi ada si pemabuk Mad Thomas yang menjadi ‘kompor’ untuk menyalahkan mereka.
Bagi masyarakat patriarkal yang takut pada hal-hal mistis, memang pilihan sangat mudah untuk menyalahkan perempuan sebagai penyebab kemalangan tanpa harus berpikir logis.
Baca juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan
Jika Caleb bukan laki-laki dengan maskulinitas toksik yang suka melecehkan perempuan, Sarah Fier tidak akan dijadikan tumbal dan komunitas mereka bisa langsung menemukan biang kerok yang melakukan pesugihan. Namun, jika melihat dalam skema yang lebih besar, Janiak menunjukkan laki-laki berbahaya seperti Caleb yang membahayakan perempuan banyak jumlahnya di dunia nyata.
Dari segi sinematografi, adegan awal Fear Street dengan pembunuh yang mengenakan topeng tengkorak putih dan jubah hitam sedikit mengingatkan pada Scream. Belum lagi teror yang dialami Heather, diperankan Maya Hawke, sebagai korban pertama mengikuti polanya Scream ketika Drew Barrymore juga menjadi orang pertama yang diancam dan dibunuh. Tidak hanya itu, Hawke dan Berrymore juga sama-sama artis sedang naik daun yang menjadi salah satu strategi pemasaran film.
Walaupun ada kemiripan atau menjadi cara penghormatan pada salah satu film di masa jaya genre slasher itu, Fear Street menemukan warnanya sendiri. Film tentang para ‘kambing hitam’ yang balik melawan kekuatan status quo yang merundung mereka lewat jalur mistis.