‘Ginger Snaps’ dan ‘Jennifer’s Body’, Monster Perempuan yang Feminis
Ginger Snaps dan Jennifer’s Body jadi film horor feminis karena mengangkat narasi perempuan dan menggunakan kengerian untuk balas dendam.
“I can’t have a hairy chest, B, that’s f*cked!”
Ungkapan dari Ginger Fitzgerald dalam film Ginger Snaps (2000) itu cukup merangkum ketidaknyamanan masa pubertas. Rasa frustrasi akibat rambut tumbuh di bagian tertentu, hormon yang naik turun, dan sakitnya menstruasi memang membuat risi dengan badan sendiri. Karenanya, tidak heran jika karakter yang dimainkan Katharine Isabelle itu sering misuh-misuh ketika keram perut disederhanakan sebagai sakit biasa.
“Just so you know, the words ‘just’ and ‘cramps,’ they don’t go together,” ujarnya.
Namun bagi Ginger, pubertas hanya puncak dari masalah yang dialaminya. Saat siklus menstruasi pertamanya dimulai, ia digigit werewolf atau manusia serigala jadi-jadian. Pubertas dan lycanthropy, proses transformasi menjadi werewolf, yang saling bercampur membuat remaja 16 tahun itu mengalami perubahan sikap dan fisik sangat drastis. Ginger yang mulanya tertutup tiba-tiba meledak dan haus darah.
Alih-alih menggambarkan masa pubertas perempuan sebagai sesuatu yang indah, film besutan Karen Walton dan John Fawcett itu menggambarkannya sebagai proses mengerikan. Hal tersebut tidak salah karena pubertas dengan banyak perubahannya memang membuat tidak nyaman. Ginger sendiri juga membenci pubertas. Rasanya tepat sekaligus memberi kekuatan ketika masa itu dianalogikan dengan lycanthropy.
Isabelle bahkan mengatakan, kemarahan Ginger berakar dari kekesalan akibat perempuan semakin mudah diseksualisasi setelah pubertas.
“Pengalaman perempuan adalah cerita horor yang sempurna. Pubertas, misalnya, tubuhmu memaksa semua perubahan yang tidak pernah kamu setujui. Lalu kamu tiba-tiba diseksualisasi oleh dunia, yang juga tidak kamu berikan consent. Ginger Snaps menggambarkan amarah tertahan akibat segala hal itu,” ujarnya kepada The Guardian.
Baca juga: Trilogi ‘Fear Street’: Amarah Perempuan dari Alam Kubur
Walaupun bukan box office seperti karya Wes Craven atau James Wan, Ginger Snaps memiliki cult following-nya sendiri. Dengan cerita tentang perempuan, ia membawa kebaruan untuk tema werewolf, bahkan masuk dalam daftar film horor ‘klasik’ yang patut ditonton. Bisa dibilang menjadi salah satu film berpengaruh dalam genre body horror perempuan dewasa ini. Selain itu, Ginger Snaps juga salah satu pelopor kisah horor feminis yang datang setelahnya.
‘Sisterhood’ dan Monster Perempuan Balas Dendam
Sembilan tahun setelah Ginger Snaps, muncul Jennifer’s Body yang juga memiliki cult following, sebagian besar adalah perempuan dan komunitas queer. Alhasil kalimat “Ginger walk, so Jennifer could run” lahir. Ginger dan Jennifer adalah ancaman menakutkan untuk masyarakat, apalagi laki-laki. Sebagai bonus, banyak penggemar yang ingin menjadi maupun mengencani mereka.
Namun, Ginger Snaps dan Jennifer’s Body tidak sekadar menampilkan monster perempuan yang meneror kota kecil tempat mereka tinggal. Sebagai film horor feminis, ada cerita pengalaman dan kritik atas cara masyarakat memperlakukan perempuan. Layaknya buku Apple and Knife oleh Intan Paramaditha, cerita horor feminis berangkat dari narasi kehidupan perempuan.
Ginger Snaps fokus pada sisterhood antara Ginger dan adiknya Brigitte (Emily Perkins). Dua saudara yang terobsesi dengan kematian itu berjanji untuk selalu bersama sampai akhir hayatnya. Mereka mulai menjauh ketika Ginger bertransformasi jadi serigala dan Brigitte harus menghentikan itu. Tema persaudaraan pun terus menjadi fokus bahkan ketika Ginger telah berubah total menjadi werewolf. Sequel Ginger Snaps: Unleashed (2004) dan prequel-nya Ginger Snaps Back: The Beginning (2004) juga tidak lepas dari topik tersebut.
Sementara, Jennifer’s Body adalah kisah perempuan balas dendam. Jennifer, diperankan Megan Fox, pemandu sorak cantik nan populer yang memiliki segalanya. Laki-laki juga mengkotakkannya sebagai perempuan nakal yang sangat stereotipikal. Namun, Jennifer sebenarnya remaja biseksual yang hanya ingin mencintai dan dicintai.
Kemalangan yang dialaminya juga disebabkan oleh sekelompok laki-laki yang percaya mengorbankan perempuan perawan akan mengantar mereka pada ketenaran. Kemarahan dan transformasinya menjadi setan kanibal pun jadi konsekuensi atas hal itu.
Oleh karena kengerian pengalaman perempuan, cerita tentang monster yang membuat kekacauan menjadi tema horor feminis yang semakin diminati. Sama halnya dengan film The Witch (2015) atau Suzzanna dengan kisah sundel bolong, hantu perempuan melakukan balas dendam atas ketidakadilan.
Baca juga: ‘The Haunting of Bly Manor’: Teror Rumah Hantu dan Pacar ‘Toxic’
Transformasi dan Seksualisasi Monster Perempuan
Jennifer dan sahabatnya Needy (Amanda Seyfried) bersama Ginger dan Brigitte memang tidak akur. Kadang pertengkaran mereka menggambarkan stereotip ‘drama’ persaingan perempuan. Namun ujungnya, Needy tetap membalas dendam kepada pembunuh Jennifer sementara Ginger terus mengasihi dan merindukan kakak perempuannya.
Perkara Needy dan Ginger ini juga mengingatkan pada pengisahan final girls, atau perempuan cupu yang melawan hantu maupun monster di menit-menit terakhir. Kriterianya pun bukan hanya perempuan ‘cupu’ sebagai penyelamat, tapi final girls harus perawan.
Menurut media The Mary Sue, final girls juga seksis karena sang survivor harus perempuan akibat penilaian secara inheren kalau perempuan lemah. Karenanya, efek yang diinginkan dari final girls adalah simpati dan dukungan penonton. Kiasan itu berkuasa cukup lama, tapi akhirnya dijadikan semacam parodi dalam film Final Girls (2015) tentang perawan suci yang mampu mengalahkan pembunuh berantai.
Ginger dan Jennifer semacam mematahkan sekaligus menggunakannya trope tersebut. Needy bukan perawan, sedangkan Brigitte tidak peduli dengan cinta-cintaan. Selain itu, mereka bukan perempuan lemah dan penakut karena berjuang sendiri dari awal hingga akhir. Musuh mereka juga bukan laki-laki, tapi perempuan terdekat di kehidupannya. Needy dan Brigitte tetap final girls, tetapi dengan definisi yang berbeda.
Baca juga: ‘Midnight Mass’, Ketik Keajaiban Agama Jadi Mimpi Buruk
Selain itu, Jennifer dan Ginger mendadak jadi sangat sensual dan percaya diri saat bertransformasi memang tidak lepas dari film horor yang suka monster perempuan seksi. Secara stereotipikal hantu perempuan hanya bisa memilih dua, jadi super menarik atau jelek dan tua. Ketika dihadapkan dengan pilihan itu, sulit membayangkan Fox menjadi buruk rupa. Sementara untuk monster laki-laki, juga susah mengobjektifikasi Freddy Krueger, Nightmare on Elm Street atau Michael Myers, Halloween, sebagai seksi.
Namun, dalam melihat isu sensualitas ini perlu digunakan lensa female gaze. Tidak bisa dimungkiri Ginger dan Jennifer menggunakan seksualitas mereka untuk menarik laki-laki. Namun, alih-alih menggambarkan interaksi mereka sebagai seksi dan mengundang libido, Ginger dan Jennifer memanfaatkannya untuk melakukan hal mengerikan. Jennifer dengan aksi kanibalisme dan Ginger yang menularkan ‘virus’ werewolf menyakitkan kepada laki-laki brengsek. Ia bahkan menyerang pria tua yang menatap adiknya dengan tatapan tidak senonoh.
Karenanya tidak heran ketika penonton laki-laki menghujat habis-habisan Jennifer’s Body akibat ditonton dengan male gaze. Lupakan monster seksi pemuas hasrat, mereka malah memakanmu sebagai santapan malam. Mengutip perkataan Ginger, ‘A girl can only be a slut, a bitch, a tease, or the virgin next door,’ Ginger Snaps dan Jennifer’s Body mengatakan persetan dengan itu lalu menggunakan kengerian sebagai senjata melawan balik ‘keperempuanan’ yang dikotakkan.