Issues

Dorong Kebijakan Inklusif, Kita Butuh Pemimpin Perempuan dengan Disabilitas

Perlu pendanaan dan kebijakan progresif agar lebih banyak pemimpin perempuan dengan disabilitas.

Avatar
  • November 20, 2024
  • 5 min read
  • 324 Views
Dorong Kebijakan Inklusif, Kita Butuh Pemimpin Perempuan dengan Disabilitas

Kebijakan terkait hak-hak orang dengan disabilitas masih belum menjawab kebutuhan perempuan dan beragam kerentanannya. Karena itu, mendorong kepemimpinan perempuan dengan disabilitas menjadi penting untuk mengatasi ini.  

“Perempuan dengan disabilitas masih belum tereprentasi dalam pembuatan kebijakan,” ujar Ipul Powaseu, advokat pemberdayaan perempuan dengan disabilitas di Papua Nugini. 

 

 

“Banyak data yang dikumpulkan tidak mendisagregasi informasi dari disabilitas dan gender, dan ini menghasilkan kebijakan yang tidak inklusif serta tidak responsif terhadap kebutuhan mereka.” 

Baca juga: Apa itu COP29: Pendanaan Iklim dan Dampaknya buat Perempuan 

Ia berbicara dalam diskusi yang membahas hak-hak dan kepemimpinan perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas. Diskusi ini adalah bagian dari Konferensi Tingkat Menteri Beijing +30 di Bangkok, Thailand, untuk meninjau capaian tiga dekade penandatanganan Deklarasi dan Platform Beijing untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

Dalam advokasinya, Powase mendorong Papua Nugini untuk meratifikasi Konvensi PBB Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Ia juga berperan penting dalam pembentukan jaringan dan organisasi disabilitas termasuk jaringan perempuan dengan disabilitas di negaranya.  

Mulanya, ia tidak pernah terpikir untuk menjadi penggerak isu disabilitas karena diskriminasi dan stigma yang dialaminya sendiri sebagai orang dengan disabilitas. Saat kecil, orang tua tidak ingin menyekolahkan karena khawatir ia akan mengalami diskriminasi. Namun dengan dukungan sang paman, ia dapat meneruskan sekolah hingga pendidikan tinggi dan membangun karier dalam bidang riset tentang pertanian. 

“Ketika itu saya sering mengunjungi komunitas petani, namun tidak pernah melihat perempuan dengan disabilitas. Mereka seperti tersembunyi. Namun, karena saya pernah mengalami stigma dan diskriminasi, saya tidak mau diasosiasikan dengan orang dengan disabilitas.”  

Sampai suatu hari ia bertemu dengan sekelompok perempuan muda dengan disabilitas yang menceritakan tentang kesulitan mereka mengakses berbagai layanan. Saat itu ia sadar kelompok disabilitas butuh disuarakan. Lantas ia memulai perjalanannya yang panjang hingga menjadi penggerak isu hak disabilitas.  

“Sikap, norma dan hambatan kultural masih dialami oleh orang dengan disabilitas. Karena itu saya memutuskan untuk mendirikan organisasi untuk orang dengan disabilitas, dan mengembangkan kapasitas mereka untuk menjadi pemimpin.”  

Baca Juga: Perempuan di Garis Terdepan Isu Masa Depan: Konferensi Beijing +30 

“Saya juga sadar suara perempuan dengan disabilitas belum terdengar. Karena itu saya juga mendirikan jaringan perempuan dengan disabilitas di seluruh Papua Nugini,” tambahnya.   

Sementara itu, pengacara dan penasihat pemerintah Chia Yong Long bilang pentingnya mengumpulkan data terkait keterwakilan perempuan dengan disabilitas dalam pembuatan keputusan.  

Di Singapura sudah banyak kemajuan dalam hal kepemimpinan perempuan di sektor publik dan pemerintah, katanya. Namun perempuan dengan disabilitas belum terlihat keterwakilannya. 

“Kita belum memiliki data yang rinci. Saya tidak tahu berapa perempuan dengan disabilitas ada dalam posisi kepemimpinan. Kita perlu lebih banyak advokasi untuk keterwakilan yang lebih tinggi dalam politik, pemerintahan dan korporasi,” ujarnya.  

Perlu pendanaan untuk program pemberdayaan yang dapat memupuk pemimpin perempuan dengan disabilitas. Pendanaan juga penting untuk mendukung kesehatan, kewirausahaan, dan tentunya tidak melupakan perempuan dari kelompok marjinal.  

“Pendekatan yang interseksional dalam pembuatan kerangka kebijakan sangat penting, “ Pratima Gurung, Sekertaris Jenderal untuk Jaringan Global Masyarakat Adat dengan Disabilitas dan Presiden untuk Asosiasi Perempuan Adat dengan Disabilitas Nepal. 

“Kolaborasi lintas gerakan adalah rekomendasi yang konkrit, dan dalam konteks Nepal, kami perlu menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif untuk mendorong perempuan dengan disabilitas mencapai pendidikan tinggi.”  

Tantangan interseksionalitas ini juga disorot oleh Beatrice Leong, pendiri Autism Inclusivenss Direct Action Group, dan sutradara film dokumenter independen.  

“Industri film adalah industri yang sangat keras. Dan saat ini yang memegang uang dan memiliki kekuasaan film apa yang kita akan tonton adalah laki-laki,” ujarnya. “Sebagai perempuan dengan autisme, tantangannya yang saya hadapi semakin berlipat ganda.”  

Membahas isu kekerasan, Anna Cody, Komisioner Diskriminasi Seks di Komisi Hak Asasi Manusia Australia mengatakan, kekerasan seksual adalah isu yang memiliki kompleksitas berlapis dalam kelompok perempuan dengan disabilitas. 

Baca Juga: COP 28 Sepakati Dana ‘Loss and Damage’ atau Ganti Rugi Krisis Iklim, Apa itu? 

Survei nasional yang dilakukan menunjukan perempuan dengan disabilitas sering kali tidak bisa melaporkan kekerasan yang mereka alami karena khawatir  disabilitas mereka yang akan akan disalahkan sebagai penyebab. 

“Kerap kali mereka juga harus membuat keputusan yang berat antara mendapatkan keadilan atau menjaga diri mereka.”  

Dalam diskusi yang sama, Eva Rachmi Kasim, Kepala Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Regional III Yogyakarta menuturkan, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 2011. Upaya ini telah mengubah pendekatan negara dalam kebijakan tentang disabilitas.  

Pemerintah juga menerbitkan regulasi memastikan inklusi orang dengan disabilitas, termasuk Rencana Aksi Nasional untuk orang dengan disabilitas sebagai bagian dari kelompok rentan.  

“Kami juga telah menerapkan anggaran yang inklusif disabilitas — ini mungkin mirip dengan mencapai paritas gender — dari tingkat nasional hingga lokal.” 

Laxmi Nepal, Direktur Eksekutif Access Planet and Youth Advocate mengekspresikan kegundahannya: “Saya sedikit marah bahwa hari ini pun kita masih harus berjuang untuk mendapatkan hak kita. Tapi kami, orang muda dengan disabilitas, terus menghidupkan visi di mana kami dinilai dari identitas dan kemampuan kami, bukan apa yang tidak bisa kami lakukan.” 



#waveforequality


Avatar
About Author

Devi Asmarani

Devi Asmarani is the co-founder and Editor-in-Chief of Magdalene. She has enjoyed resisting every effort to tame her and ignoring every expectation tied to her gender.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *