Keperawanan Perempuan, Sebuah Percakapan di Malam Pertama
“Senakal-nakalnya lelaki, akhirnya tetap akan memilih perempuan baik-baik. Maka dari itu, Mas tidak menyentuhmu sebelum kita resmi menikah, Dik.”
Aku adalah perempuan yang bahagia—Hidup di kontrakan sederhana dan memiliki pekerjaan tetap dengan gaji di atas UMR—sampai tiba hari ini.
“Nduk, apalagi yang lebih pantas disebut keberuntungan bagi perempuan selain didatangi oleh laki-laki pemberani dengan maksud meminangnya. “
Begitu kira-kira kata Ibu setelah kutanyai apakah beliau benar-benar yakin akan menikahkanku dengan putra tengah Pak Harjo, salah satu orang terpandang di kampung kami.
“Di usiamu yang sudah kelewat matang ini, Ibu dan Bapak khawatir, Nduk, apalagi kamu kan anak perempuan satu-satunya. Apa kata orang kalau kamu sampai ndak menikah. Ibu perhatikan, hampir seluruh teman sekolahmu dari yang SD sampai SMA sudah menikah.”
Ibu mengambil tanganku, mengusap-usapnya dengan lembut, “Kamu akan menjadi istri orang. Ibu bahagia sekali, kamu ndak menolak seperti tahun-tahun kemarin, setiap Bapak menawarkan pernikahan.”
Kata-kata Ibu melemparkan ingatanku pada tahun-tahun menyebalkan setelah lulus kuliah. Bapak dan Ibu bergantian menelpon tiap kali ada teman kampungku yang menikah.
Mas Aldo, anak tengah Pak Harjo. Ia lebih tua dua tahun dariku. Aku mengenalnya sejak kecil karena kami tinggal satu kampung di Klaten. Keadaan berubah ketika aku mulai jarang pulang dan lebih senang berdiam di Yogyakarta.
Baca juga: Bukan Perawan Maria – Sebuah Cerita Pendek
Konon, Mas Aldo terkenal sebagai anak baik, ramah, dan berbakti kepada orang tua. Buktinya, ia memilih tinggal dengan orang tuanya di kampung, dibanding kakak atau adiknya yang memilih merantau dan tinggal di kota lain.
Singkat cerita, aku dan Mas Aldo menikah. Kata Mas Aldo ia adalah pria paling berbahagia di kampung kami karena bisa memiliki aku—si Bunga, putri Kepala Desa. Itulah yang ia katakan tiga detik sebelum ciuman pertama di malam pengantin kami. Sebuah ciuman yang terasa seperti sengatan kumbang.
Aku sedang semangat-semangatnya ketika ia malah sekonyong-konyong berhenti—menarik diri. Entah apa yang mengusik Mas Aldo, ia memandangku dengan tatapan mengintrogasi.
“Dik, Mas hanya ingin memastikan, yang barusan kiranya adalah ciuman pertama bagimu kan?” tanyanya.
“Tentu saja ini adalah yang pertama bagiku, Mas Sayang. Kamu kan tahu betul, aku adalah gadis rumahan yang hanya keluar bersama teman-teman perempuanku.”
Aku membual—menjawab sekenanya.
“Lagi pula para laki-laki yang ngapel oleh Bapak cuma bisa duduk di teras rumah atau ruang tamu, alih-alih kelayapan. Di Yogyakarta, aku hanya sibuk kerja dan langsung pulang ke kontrakan. Aku hanya sesekali keluar jika diajak teman perempuanku.”
“Mas mengerti kamu gadis baik. Mas semakin yakin akan kesucianmu.”
Kata-katanya sontak bikin aku geli. Suamiku yang polos itu dibutakan oleh maskulinitas rapuhnya, sehingga ia menelan omonganku mentah-mentah. Umurku sudah tiga puluh tahun—yang benar saja aku tidak pernah berciuman. Aku bahkan sudah mengalaminya sejak awal 20. Aku dan teman-teman perempuanku saling menceritakan pengalaman romansa kami, berciuman, berpegangan tangan, dan berpacaran dengan orang-orang tersayang.
Baca juga: Tes Keperawanan Berangkat dari Kesalahpahaman, Mengapa Masih Diteruskan?
Namun, begitu satu persatu dari kami menikah, tidak ada lagi yang membahasnya terang-terangan. Bukan karena kami menyesalinya, tapi kenyataan bahwa keberhargaan perempuan tersegel di dalam etalase, bikin kamu menutup diri.
Aku balik bertanya pada Mas Aldo. “Mas sendiri, apakah ini ciuman pertama Mas?”
“Dik ini seperti tidak tahu saja laki-laki itu seperti apa. Laki-laki itu petualang sejati, kalau tidak berpetualang di masa muda itu namanya cupu. Justru laki-laki itu harus nakal pas masih muda, dipuas-puasin nakalnya supaya setelah menikah sudah tobat, enggak bandel lagi,” jawabnya.
“Jadi intinya Mas sudah pernah berciuman dengan mantan-mantan kekasih sebelumnya apa belum?” tanyaku mulai tak sabar.
“Tentu saja, tapi itu kan dulu.”
“Jadi, aku tidak boleh pernah punya pengalaman romantis, sedang Mas boleh begitu?”
“Wajarlah, Dik. Kamu tahu kan pepatah senakal-nakalnya lelaki, pada akhirnya tetap akan memilih perempuan baik-baik. Maka dari itu Mas tidak menyentuhmu sebelum kita resmi menikah. Mas langsung memilihmu sebagai istri. Apa kamu tidak merasa istimewa, Sayangku?”
Baca juga: Menertawakan Kesucian
Mas Aldo mengakhiri kalimatnya dengan raut muka penuh kebanggan. Aku kesal setengah mati. Kalau saja Bapak tidak sedang sekarat dan memaksa menjodohkanku dengannya, aku tidak perlu melewati malam dengan laki-laki standar ganda ini.
“Bukankah perempuan baik-baik mestinya dengan laki-laki baik-baik, Mas?”
“Tentu saja, Sayang. Mas, kan telah bertobat. Mas telah meninggalkan perempuan-perempuan tidak baik. Karenanya, Tuhan menghadiahiku seorang perempuan baik seperti kamu,” tandasnya, membuatku merasa sial.
“Menurut, Mas, adakah laki-laki baik yang mau meminang perempuan tidak baik seperti mantan-mantan Mas?”
“Mana ada laki-laki yang sudi membeli barang yang telah disentuh apalagi dibuka bungkusnya. Ibarat makanan, siapa yang mau makan bekas orang lain, kalaupun ada mereka pasti telah tertipu.”
Bangsat! Aku makin muak karena ia menggunakan analogi perempuan dan barang. Aku beranjak karena sudah tidak tahan lagi, ia menatapku, memelas.
“Oh iya, Mas, malam ini aku sudah janji pada Ibu untuk tidur dengannya. Maklumi ya! Aku kan anak bungsu jadi Ibu dan Bapak masih perlu beradaptasi.”
Aku ngeloyor keluar menuju kamar Ibu tanpa menunggu jawabannya.
“Loh, Nak, Kamu ngapain di sini, suamimu kok kamu tinggal sendiri?”
Ibu terheran-heran melihat putrinya yang harusnya sedang menikmati malam pertama malah berdiri cengengesan di depan pintu kamarnya.
“Aku kangen Ibu, aku tidur di sini ya malam ini? Mas Aldo sudah tahu kok,” aku merengek.
“Biarkan saja dia, tapi cuma malam ini ya, Nduk!” kata Bapak mengizinkan.
“Iya Pak, Oya besok kita jadi ke kantor notaris kan, Pak?”
Aku mengingatkan Bapak soal pengalihan hak milik beberapa propertinya yang dijanjikan untukku.
“Bapakmu itu sudah memindahkan aset-aset yang dia janjikan waktu itu, atas namamu, langsung setelah kamu setuju untuk menikah,” ucap Ibu.
Bapak manggut-manggut mengiyakan. Hatiku yang kecut kembali sumringah. setidaknya aku bisa cepat meninggalkan Mas Aldo.