Health Issues

Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Alasan Perempuan Karier Lebih Rentan Alami Gangguan Mental

Meski penelitian mencatat perempuan pekerja lebih berisiko alami gangguan kesehatan mental, nyatanya bantuan untuk mereka belum memadai.

Avatar
  • October 18, 2024
  • 6 min read
  • 37 Views
Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Alasan Perempuan Karier Lebih Rentan Alami Gangguan Mental

Dua tahun terakhir, “Alika” harus bergulat dengan kecemasan dan burnout (kelelahan mental). Penyebabnya karena beban kerja berat di perusahaannya. Terkadang saat gangguan mental melanda, ia bisa tak tidur semalaman atau tak makan sama sekali. Alika sendiri telah mencari bantuan konseling ke profesional, tapi kecemasan itu terkadang masih sering kambuh-kambuhan. 

“Binar” juga punya pengalaman senada. Pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu tak cuma mengalami gangguan kecemasan dan depresi, tapi juga kerap merelakan waktu kebersamaan dengan keluarga. Kedekatannya dengan advokasi isu Hak Asasi Manusia (HAM) juga memperburuk emosinya. 

 

 

“Mengadvokasikan isu-isu berat itu impact-nya sangat berat. Aku udah diagnosed anxiety and depresi. Ini nambah bleak aja sih. Aku sering banget burnout. Spend time sama teman bahkan keluarga enggak ada waktu. Untuk hangout main atau berefleksi aja enggak ada,” ujar Binar.  

Burnout yang dialami Alika dan Binar nyatanya adalah pengalaman jamak. Studi start up kesehatan Naluri (2023) terhadap 13.000 karyawan penuh waktu di lima negara Asia Tenggara mencatat, Indonesia menduduki peringkat tiga teratas sebagai negara yang warganya paling banyak burnout, bersama dengan Filipina dan Singapura. Celakanya, 60 persen perempuan yang jadi responden melaporkan, lebih rentan mengalami burnout, sisanya 40 persen dialami lelaki. 

Dampak burnout buat pekerja perempuan ini cukup serius. Menurut penelitian terbaru ComPsych, penyedia layanan kesehatan mental, tingginya tingkat burnout perempuan pekerja berdampak pada penurunan produktivitas dan frekuensi absen di tempat kerja. Sebanyak 69 persen perempuan mengambil cuti karena masalah kesehatan mental pada kurun 2017 hingga 2023. 

Baca juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada

Beban Ganda sampai Tekanan Kerja 

Sejumlah studi menjelaskan, burnout perempuan pekerja enggak lepas dari beban ganda mereka sebagai ibu/ istri. Tanggung jawab kerja perawatan yang cenderung dilimpahkan pada perempuan, membuat mereka harus menghabiskan 4,1 kali lebih banyak waktu dibandingkan laki-laki, tulis International Labor Organization (ILO) dalam laporannya. 

Astridiah Primacita Ramadhani, Psikolog Indopsycare berkomentar, beban ganda memang masih jadi salah satu penyebab terbesar penurunan kesehatan mental pada perempuan pekerja. Perempuan pekerja dituntut harus bisa melakukan segalanya sekaligus, hal yang sama tak berlaku buat pekerja lelaki. 

“Mereka (perempuan pekerja) dituntut harus menyeimbangkan pekerjaan domestik dengan pekerjaan profesional. Ini pastinya berdampak sama kelelahan fisik atau emosional. Susah bagi waktu gitu. Biasanya juga perempuan tuh entah kenapa diekspektasikan untuk serba bisa, perfeksionis. Perempuan pekerja juga sering ditekan memenuhi standar tinggi di tempat kerja. Ada dorongan agar perempuan bisa jadi sempurna,” jelasnya pada Magdalene. 

Pernyataan Astrid didukung Ashley Whillans dkk., peneliti asal Harvard Business School dan FIsher College of Business, AS. Dalam penelitian bertajuk “Extension request avoidance predicts greater time stress among women” (2021) dijelaskan, perempuan cenderung merasa memiliki lebih banyak pekerjaan dengan waktu terbatas. Kondisi ini diperburuk dengan anggapan dari perempuan sendiri bahwa dirinya terasa kurang kompeten dibandingkan laki-laki, jika meminta tambahan waktu. 

Penyebab burnout lainnya adalah emotional labor alias mengesampingkan perasaan atau emosi yang sesungguhnya demi tuntutan kerja. Atas nama menampilkan kinerja baik, perempuan cenderung mengabaikan perasaan dan kelelahannya. 

Terkait ini, “Danti” menuturkan lebih sering mendahulukan kebutuhan mitra, ketimbang dirinya sendiri. “Dari kantor sendiri kan memang kerjaannya ngebantu orang-orang rentan ya. Nah, karena ini, aku jadi sering mengutamakan kerjaan,” ungkapnya. 

Ia mencontohkan, pernah suatu hari harus menangani kasus saat emosinya jungkir balik seperti roller coaster. “Aku harus dalam kondisi kepala dingin. Jadi aku mengesampingkan emosiku untuk merespons dia. Aku delayed response, tapi pas sampai rumah aku jadi merasa mati rasa, aku diam, duduk, tiba-tiba nangis kejer karena perasaanku campur aduk banget,” jelasnya.  

Baca juga: Benci Melihat Tubuh Sendiri? Kamu Perlu Tahu tentang Kondisi Kesehatan Mental Ini

Lingkungan Kerja yang Sehat adalah Kunci 

Pertanyaannya, adakah solusi konkret yang bisa diusahakan? 

Untuk penciptaan lingkungan kerja yang menjamin kesehatan mental karyawan, sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dalam UU itu disebutkan, pemerintah berkomitmen mengatur kesehatan mental di Indonesia. Hanya saja, tak ada pasal khusus yang menunjuk perusahaan untuk ikut berkontribusi. Padahal perusahaan punya andil besar dalam mewujudkan lingkungan kerja yang sehat bagi para pekerja. 

Mengamini Astrid, ada beberapa komitmen yang bisa dilakukan perusahaan untuk mencari jalan keluar. Misalnya, memastikan infrastruktur agar para pekerja memiliki relasi sehat serta komitmen perusahaan untuk membuat kebijakan inklusif. 

“Semua bisa dimulai dengan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil. Misal, dengan menghilangkan bias gender di kantor. Jadi, emang perlu banget ini diprioritaskan sebagai bagian dari kesehatan mental. Perusahaan enggak cuma harus membantu karyawan menjalani kehidupan yang lebih baik, bahagia, penuh syukur, tapi juga lingkungan kerja yang lebih positif,” jelas Astrid. 

Sebagai saran, Andri, Brand Communications Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), menyampaikan bahwa perusahaan perlu menganalisis akar masalah kesehatan mental yang terjadi pada pekerja. Ini penting agar perusahaan bisa mengetahui langkah lanjutan apa yang bisa dilakukan, guna mengatasi permasalahan kesehatan mental.  

“Penting untuk meng-address root cause jika secara statistik banyak pekerja di sebuah perusahaan melaporkan buruknya mental wellbeing (kesejahteraan mental) hingga masalah kesehatan mental. Tentunya rootcause ini bisa berupa kultur kerja, pola komunikasi, hingga peraturan di tempat kerja,” paparnya.  

Ketika perusahaan berupaya menjamin kesehatan mental pekerja perempuan, berarti, mereka sedang menjaga keberlanjutan bisnis. Ia menambahkan, kesejahteraan pekerja punya andil besar pada kinerja sampai optimalisasi produktivitas karyawan. 

Baca juga: Wujudkan Tempat Kerja Sehat untuk Kesehatan Mental Pekerja

“Jika kita melihat pekerja yang turut membantu proses penciptaan nilai agar bisnis berjalan, maka kesejahteraan karyawan, termasuk kesejahteraan mental, menjadi faktor penting. Salah satu kaitannya kesejahteraan mental karyawan ini adalah dengan retensi dan produktivitas karyawan. Kita bisa membayangkan dengan kondisi bekerja yang lebih baik, seseorang dapat lebih loyal bekerja di sebuah perusahaan dan dapat mengeluarkan potensi terbaiknya,” ungkapnya. 

Astrid sepakat. Kata dia, penciptaan lingkungan kerja yang positif adalah investasi besar bagi perusahaan. Ketika pekerja merasa sejahtera karena kesehatan mentalnya terjaga, perusahaan juga bisa mengurangi biaya kesehatan yang pada akhirnya akan berdampak baik pada keuangan perusahaan. Pekerja sehat, perusahaan pun berkembang.  

“Kalau kita bisa membuat karyawan kita happy, menciptakan lingkungan kerja yang positif, karyawan tentu merasa didukung. Mereka jadi loyal, mereka jadi lebih mau berkontribusi lebih dari apa yang diharapkan sebenarnya,” pungkasnya.  

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida and Jasmine Floretta V.D

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *