Issues

Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada

77 persen orang Indonesia sudah mulai nyaman berbicara mengenai kesehatan mental, sayangnya stigma terhadap kesehatan masih tetap ada

Avatar
  • November 2, 2022
  • 7 min read
  • 1852 Views
Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada

Indonesia bisa dibilang sudah cukup awas terhadap isu kesehatan mental. Buktinya dalam survei teranyar yang dilakukan YouGov bersama TikTok terhadap pengguna TikTok dari berbagai negara, termasuk di Indonesia, sebanyak 77 persen responden di Indonesia sudah mulai merasa nyaman berbicara tentang kesehatan mental.

Tak hanya itu, lebih dari sebagian mulai memilih untuk bercerita ke sesama anggota keluarga, dan 52 persen bercerita ke tenaga profesional seperti psikolog, sementara 40 persen meminta bantuan dan saran tentang kesehatan mental ke teman dekat. Namun peningkatan tren kesehatan mental, masih berbanding terbalik dengan realita di lapangan.

 

 

Tepat pada 10 Oktober lalu, di saat peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia, Indonesia dihebohkan dengan kematian seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Mahasiswa berinisial TS ini diduga bunuh diri dengan terjun dari lantai 11 hotel di Jalan Colombo, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman. Saat olah TKP, dugaan polisi atas motif TS bunuh diri adalah karena korban mengalami gangguan kesehatan mental. Dugaan yang mereka simpulkan karena temuan surat psikolog yang korban miliki.

Hal ini pun sontak membuat publik riuh. Di media sosial, berbagai komentar terkait kasus ini dilontarkan masyarakat. Sebagian ada yang prihatin dan mengucapkan belasungkawa. Ada pula yang mencoba memberi penyadaran tentang kesehatan mental lewat kejadian serupa yang mereka alami, namun sebagian yang lain ada juga yang justru menghakimi.

Kasus bunuh diri beserta komentar-komentar menghakimi di media sosial inilah yang kemudian perlu digarisbawahi. Bahwasanya Indonesia hingga kini masih punya PR yang sangat besar dalam meningkatkan literasi kesehatan mental secara menyeluruh.

Baca Juga: Benarkah Membayangkan Skenario Terburuk Bikin Hidup Bahagia?

Stigma yang Tetap Kental

“Saya punya klien yang didiagnosa depresi, masih SMP. Ketika orang tuanya tau bukannya cepat-cepat membantu, orang tuanya justru bilang ‘Enggak mungkin, di keluarga kami enggak ada yang namanya depresi. Bukan, pasti salah, ini mengada-ada’. Mereka marah.”

Begitulah ungkap Nurul Kusuma Hidayati M.Psi., psikolog Center for Public Mental Health (CPMH) UGM dalam Kuliah Online: Stigma dan Masalah Kesehatan Mental pada Jumat (14/1). Sebagai seorang psikolog Nurul sadar kesadaran kesehatan jiwa di Indonesia memang trennya memiliki peningkatan, namun masih terkekang oleh tebalnya stigma buruk di masyarakat.

Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dinilai gila dan tidak akan sembuh. Praktik seperti pemasungan, pengucilan, dan penelantaran orang dengan ODGJ pun tak terelakkan dan tetap jadi fenomena yang kerap kita temui. Stigma masyarakat terhadap kesehatan mental inilah yang menurut Nurul secara umum ditimbulkan oleh dua hal.

Keterbatasan pemahaman masyarakat dan nilai-nilai tradisi budaya yang masih kuat berakar. Gangguan jiwa sering misalnya dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Mereka dianggap terkena sihir, mantra, atau kerasukan jin/iblis. Akibatnya, di Indonesia sendiri gangguan jiwa tak pernah lepas dari anggapan individu terkait kurang beriman atau kurang memiliki pengetahuan agama.

Self-stigma dan public stigma pun akhirnya secara bersamaan harus dihadapi tiap individu yang memiliki masalah kesehatan dan berakibat pada ketakutan atas penghakiman yang kemungkinan akan mereka alami. Dalam survey YouGov dan TikTok yang sama, misalnya, sebanyak 2 dari 4 responden masih takut akan potensi dampak negatif dari berbicara mengenai kondisi kesehatan mental mereka. Ketakutan ini meliputi dampak negatif seperti penolakan atau penghakiman dari keluarga atau teman dekat, maupun konsekuensi di tempat kerja dan masa depan karier mereka.

Bahkan secara spesifik, Gen Z (57 persen) dan Millennial (53 persen) masih merasa takut untuk membahas kesehatan mental bersama anggota keluarga karena takut dihakimi. Hasil survei ini pun nyatanya juga sejalan pengalaman konten kreator TikTok, Sania Leonardo. Dalam diskusi daring bertajuk #SeeingTheUnseen Memperingati Hari Kesehatan Mental

Dunia, Sania sempat berbagi ceritanya dalam menerima dan berjuang dengan diagnosis Bipolar Disorder II yang ia miliki.

“Jangankan orang lain, aku awalnya juga kaget. Menerima bahwa aku mengidap bipolar itu perjalanannya enggak gampang,” ucap Sania, (12/10).

Sania seperti layaknya orang dengan ODGJ mengalami self-stigma. Sikap negatif, termasuk rasa malu yang terinternalisasi, yang dimiliki orang dengan penyakit mental tentang kondisi mereka sendiri. Sania merasa sulit menerima kondisinya dan semakin diperparah karena public stigma yang ia terima oleh orang terdekatnya.

“Kebetulan ibuku pendeta jadi masalah tentang kesehatan mental selalu dikaitkan dengan agama. Aku sering dibilangin ‘Kamu kurang bersyukur, kamu kurang ibadah, kamu kurang ke gereja’,” ucap Sania menirukan suara sang ibu.

Sania pun merasa teralienasi karena tak mendapat dukungan yang cukup dari orang terdekat atas kondisi metalnya sampai nyari menghadapi keputusasaan. Ia bahkan jadi punya kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri. Untungnya, salah satu saudaranya ada yang mau memahami kondisinya.  Sejak itu, Sania mulai mencari orang-orang yang memiliki diagnosis yang sama dengannya.

Dalam proses ini, ia bergabung dalam komunitas penderita bipolar. Komunitas yang membuat dirinya bisa berbagi cerita tentang kondisinya tanpa dihakimi dan justru mendapat dukungan. Seiring berjalannya waktu, Sania mulai bisa semakin menerima, memahami, dan mulai berani untuk terbuka bahkan mengungkapkan kondisinya ke internet.

Baca Juga: ODGJ Naik dalam 30 Tahun Terakhir, Perempuan dan Usia Produktif Paling Tinggi

Platform Digital Bisa Jadi Jembatan Peningkatan Literasi Kesehatan Mental

Masih ingat dengan Atlet gimnastik Simone Biles? Sebagai wajah tim Olimpiade Amerika di Olimpiade Tokyo 2020, Biles memikul ekspektasi besar raih medali emas untuk negaranya. Ekspektasi besar ini membuat ia mengalami tekanan yang besar. Demi kesehatan dirinya sendiri, Biles pun memutuskan untuk mundur dari final senam perseorangan Olimpiade 2020 Tokyo.

“Kita (atlet) juga harus fokus pada diri kami sendiri, karena pada akhirnya, kita juga manusia,” kata Biles, menurut The Associated Press. “Kita harus melindungi pikiran dan tubuh kita, daripada hanya pergi ke sana dan melakukan apa yang dunia ingin kita lakukan.”

Awalnya publik merasa bingung dengan keputusan Biles yang bisa dibilang cukup mendadak. Namun terlepas dari kebingungan ini, komunitas daring dengan cepat berikan Biles apresiasi dan dukungan. Apresiasi dan dukungan ini tak luput dari peran media sosial yang dalam beberapa tahun terakhir jadi medium yang sangat baik dalam meningkatkan literasi kesehatan mental publik. Literasi yang beberapa tahun lalu masih sangat rendah dan sulit diakses.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh The Journal of Education and Health Promotion mengungkapkan penggunaan media sosial dan platform digital untuk mempromosikan kesadaran kesehatan mental kini jadi salah satu cara ampuh untuk menghilangkan stigma yang sudah terlanjur melekat di masyarakat. Hal ini terlihat dalam temuan analisis tiga kampanye kesehatan mental selama periode lima bulan yang memperlihatkan peningkatan kesadaran kesehatan mental publik lewat penggunaan media sosial dan platform digital.

Media sosial dan platform digital mampu memberikan sistem dukungan daring. Sistem yang memberikan wadah bagi individu untuk saling berbagi dan terbuka tentang kondisi kesehatan dengan lebih transparan dan tak menghakimi. Hal ini secara umum meningkatkan kesediaan orang untuk berpartisipasi dalam kesadaran kesehatan mental dan karenanya disebut sebagai gerakan.

TikTok sebagai platform digital yang banyak digunakan masyarakat Indonesia jadi salah satunya. Dengan lebih dari 290 juta views untuk tagar #kesehatanmental dan 13,3 miliar views untuk tagar #MentalHealthAwareness di platform TikTok, TikTok berkomitmen untuk terus meningkatkan literasi kesehatan mental dan hilangkan stigma terhadapnya.

Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia, TikTok misalnya memperkenalkan Pusat Kesehatan Digital (Digital Wellness Hub). Pusat Kesehatan Digital sendiri berfungsi sebagai wadah bagi para pengguna untuk mendapatkan informasi dan sumber daya kredibel tentang kesehatan mental yang dihadirkan oleh para mitra ahli.

Baca juga: Riset: 2,45 Juta Remaja Indonesia Didiagnosis Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Dilansir dari Newsroom TikTok di Indonesia peluncuran Pusat Kesehatan Digital juga berada di bawah kampanye lokal bertajuk #SeeingTheUnseen yang bertujuan untuk mengajak seluruh komunitas untuk melihat dan memahami isu kesehatan mental diluar stigma yang sudah begitu kental.

Tak lupa, TikTok menyediakan akses informasi dan sumber daya seputar kesehatan mental kepada komunitas TikTok. Dengan berkolaborasi bersama dengan beberapa mitra lokal, antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia), Yayasan Pulih, dan Bully.id., TikTok berharap inisiasi ini bisa mendorong kesetaraan akses dalam kesehatan mental.

Dengan membangun diskusi dan mendorong kesetaraan akses dalam kesehatan mental, media sosial akan memungkinkan setiap orang dapat menemukan sistem pendukung yang baik dan penanganan medis yang lebih cepat dan mumpuni. Karena, dengan bertambahnya jumlah orang yang terlibat di dalamnya, percakapan penting seputar kesehatan mental juga akan terus bertambah.  Hal yang tentunya akan berdampak langsung pada penghilangan stigma secara perlahan. Stigma yang hanya bisa dihilangkan dengan literasi kesehatan mental yang baik. 

Artikel ini dipersembahkan oleh Magdalene dan TikTok untuk #KesehatanMental



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *