Kerja dari Rumah Saat Krisis Corona: Sistem Susah-susah Gampang
Bekerja dari rumah mungkin mudah bagi sebagian orang, tapi mendatangkan tantangan tersendiri bagi sebagian lainnya.
Akhir pekan lalu, Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengumumkan agar semua sekolah di ibukota meniadakan kegiatan belajar mengajar selama dua minggu. Berbagai tempat publik juga ditutup oleh Anies, seperti Kebun Binatang Ragunan, Ancol, dan museum-museum yang dipegang oleh pemerintah provinsi. Hal ini dilakukan seiring meningkatnya jumlah orang yang terjangkit Covid-19 atau virus Corona.
Upaya yang dilakukan Anies ini merupakan upaya menerapkan social distancing, yaitu perilaku menjauhi tempat-tempat keramaian atau membatasi interaksi sosial dalam rangka mencegah atau memperlambat penyebaran virus. Jikapun seseorang mesti berinteraksi langsung dengan orang lain, ia perlu berjarak kira-kira 2 meter dari lawan bicaranya.
Menyusul setelah itu, Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat agar bekerja di rumah untuk meminimalisir penyebaran Corona.
“Untuk mengatasi penyebaran Covid-19 membuat kebijakan belajar dari rumah bagi pelajar dan mahasiswa, sebagian ASN bisa kerja dari rumah dengan online dan mengutamakan pelayanan prima dari masyakarat,” kata Presiden di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/3).
Sejumlah perusahaan kemudian memberlakukan social distancing, mengganti kegiatan kerja dari kantor dengan kerja dari rumah (work from home/WFH).
Di satu sisi, ada berbagai keuntungan melakukan hal ini selain demi mencegah potensi penularan virus. Fleksibilitas lingkungan dan waktu kerja, lebih hemat ongkos ke kantor dan makan siang, serta bebas stres karena macet, antre, dan impitan banyak orang di transportasi umum adalah beberapa hal menguntungkan dari WFH.
Namun di sisi lain, ada berbagai tantangan yang harus dihadapi seseorang yang bekerja dari rumah. Apa saja, sih?
- Tidak semua orang punya koneksi internet mumpuni
Salah satu fasilitas utama yang terdapat di kantor-kantor adalah koneksi internet tanpa terputus kapan pun. Ini yang tidak semua orang miliki di rumahnya. Untuk bisa terus mengakses internet, biasanya mereka memakai kuota internet di ponsel. Nah, kalau harus ada conference call/video atau mengunduh file ber-giga-gigabyte, harus berapa puluh ribu dihabiskan untuk mengisi kuota internet ponsel seharinya?
Bukan hanya orang kantoran yang kena imbas social distancing, anak kuliah dan sekolah pun merasakannya. Saya sendiri harus mengajar dari jarak jauh dan tidak semua mahasiswa saya beruntung memiliki akses internet nonstop di rumah atau kosnya. Pergi ke kafe atau restoran terdekat yang punya akses wifi selain menihilkan arti social distancing, juga membuat mereka merogoh kocek lebih dalam.
Alih-alih berhemat uang makan siang dan transport ke tempat kerja atau kuliah, duit bisa ludes hanya untuk mengakses internet dari rumah.
Baca juga: 6 Hal yang Perlu Diperhatikan ‘Freelancer’ Baru
- Distraksi, distraksi, distraksi
Hal kedua yang menantang bagi para pekerja di rumah adalah banyaknya gangguan di sekitar atau urusan rumah yang menuntut diselesaikan. Entah itu godaan untuk nonton, sosmed-an, atau makan, ngobrol sama orang rumah, kebisingan lingkungan rumah, atau tugas-tugas domestik—semuanya bisa membuat penyelesaian pekerjaan kita tertunda.
Begitu mendengar instruksi untuk bekerja dari rumah, saya langsung merasakan dilema. Pasalnya, saya punya bayi enam bulan yang menuntut perhatian lebih: Diajak main, dikasih susu dan makan, menjaga dia supaya enggak menggelundung dari kasur, dan lain sebagainya. Biasanya kalau ngantor, saya menitipkannya di daycare. Tapi pihak daycare pun menganjurkan orang tua untuk tidak menitipkan anak-anak mereka ke sana apabila si orang tua bisa bekerja dari rumah.
Buat yang punya asisten rumah tangga dan pengasuh penuh waktu, atau keluarga yang dipercaya untuk menjaga anak, ini bukan problem. Sementara buat saya, kondisi WFH menuntut saya menaikkan level multitasking. Sambil mengajak main atau memberi anak susu, saya sempatkan balas pesan WhatsApp, mengetik sedikit-sedikit, atau baca referensi tulisan. Setiap anak tidur—biarpun cuma sekitar setengah jam kalau siang, saya buru-buru bekerja atau berbenah rumah. Ini saya lakukan bergantian dengan pasangan yang kebetulan juga WFH.
Di saat-saat seperti ini, saya pengen jadi siluman laba-laba. Tangan delapan kayaknya cukup buat merampungkan macam-macam kerjaan (kantor dan rumah) bersamaan.
- Kebosanan dan kesepian tingkat dewa
Dua minggu kerja dari rumah? Barangkali awalnya kita berseru “Yay!”. Memang benar kalau sistem kerja di rumah memungkinkan kita buat lebih fleksibel menentukan tempat kerja. Tetapi dalam situasi sekarang ini, ketika potensi penularan virus cukup tinggi, mendatangi tempat-tempat publik dan menumpang transportasi umum tidak disarankan (plus susah juga di Jakarta karena pemberlakuan pengurangan moda transportasi dan waktu berangkat).
Bayangkan sejak pagi kita ada di rumah, siang bekerja di rumah sampai malam, dan sehabis itu pergi tidur di rumah juga. Tiga hari atau seminggu pertama boleh jadi kita tahan. Selebihnya? Belum tentu. Bahkan orang-orang introvert dan rumahan pun akan mulai menjerit.
Baca juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?
Lalu, buat yang tinggal sendiri, bekerja dari rumah juga bisa terasa seperti neraka karena tidak ada yang diajak mengobrol langsung sehingga memunculkan rasa terisolasi. Memang sih, teknologi komunikasi kini memudahkan kita untuk terhubung dengan satu sama lain, tetapi rasa berkomunikasi langsung tidak tergantikan oleh komunikasi via ponsel.
Bagi sebagian orang, kesepian yang cukup lama bisa menumbuhkan stres atau tekanan dalam diri mereka. Alih-alih bisa bekerja dengan senang dan semangat, performa kerja mereka malah bisa turun karena masalah yang sering kali dianggap sepele ini.
- Potensi ‘ngilang’ dan masalah kedisiplinan lain
Saking besarnya peluang untuk bisa fleksibel bekerja, karyawan-karyawan yang bekerja dari rumah bisa menyalahgunakan sistem kerja ini. Karena tidak bertatap muka secara langsung atau dipantau rekan kerja dan atasan, ada potensi karyawan untuk “menghilang” alias susah dikontak pada waktu-waktu tertentu. Idealnya sih, karyawan gampang dihubungi dengan alat komunikasi apa pun saat bekerja di luar kantor. Tetapi praktiknya, ada saja yang malah tidak disiplin dan memanfaatkan waktu kerja untuk melakukan hal lain. Akibatnya, hasil kerja kurang maksimal atau tidak tepat waktu.
Selain perkara kedisiplinan, motivasi kerja karyawan yang ngantor di rumah juga bisa berbeda dari mereka yang datang ke kantor. Karena ada pasangan, situasi hujan mengundang bobo dan selimutan, atau hal-hal lain yang menarik di rumah bisa menggeser motivasi karyawan. Tidak adanya absen datang dan pulang dapat pula membuat ia berpikir untuk menunda-nunda bekerja.
- Ongkos telepon naik!
Di samping internet, akses komunikasi via telepon juga bisa menjadi masalah lain ketika bekerja di rumah. Sama dengan kuota internet, pulsa ponsel pun juga menuntut banyak biaya, terlebih yang kerjanya menghubungi banyak orang dan tidak ada sambungan telepon di rumah.
Kenapa enggak chatting atau e-mail saja?
Enggak semua pihak bisa diajak berkomunikasi via teks, terlebih lagi ketika konteksnya wawancara. Ada sebagian orang yang lebih suka berbicara langsung daripada mengetik di ponsel atau laptop, bisa karena tidak mau repot atau memang aktivitasnya padat sekali sampai tidak sempat mengetik. Mau tak mau, si pewawancaralah yang harus mengeluarkan uang lebih untuk menghubungi narasumbernya. Ini juga berlaku buat mereka yang bekerja dalam tim dan butuh koordinasi, lho. Bagaimana pun, komunikasi via teks berpeluang direspons lebih lama atau ada delay dibanding langsung berbicara via telepon.
Oh, semoga krisis Corona ini cepat berakhir!