Solusi Kerja Perawatan Berbasis Komunitas, Indonesia Perlu Belajar dari India
Menggabungkan tempat penitipan anak dengan pelatihan perempuan atau mengajak remaja lelaki ‘unpack’ maskulinitas, organisasi di India ini telah berhasil melakukannya.
Mulai dari pembuatan kebijakan, pengumpulan data, penyediaan layanan, hingga menggeser norma, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi akibat beban kerja domestik perempuan. Khususnya beban kerja perawatan yang tak berbayar. Namun, ketimpangan itu masih terbilang tinggi hari-hari ini.
Bahkan dalam tiga dekade sejak Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (BPfA), ditandatangani oleh 189 negara, isu rendahnya angka partisipasi kerja, tingginya kemiskinan, dan terbatasnya keterwakilan perempuan lagi-lagi jadi tantangan berulang.
“Jika ingin benar-benar mencapai kesetaraan gender yang sesungguhnya dan menghormati komitment Beijing, maka kita harus benar-benar mengatasi masalah kerja perawatan ini secara langsung,” ujar Lin Yang, Wakil Sekretaris Eksekutif untuk Program di Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UN ESCAP) saat memberikan penghargaan bagi para penggerak isu perawatan.
Acara ini diselenggarakan di sela-sela Konferensi Tingkat Menteri Beijing +30 di Bangkok, Thailand, untuk meninjau kemajuan BPfA.
Baca juga: Apa itu COP29: Pendanaan Iklim dan Dampaknya buat Perempuan
Dalam acara ini, setidaknya tiga belas organisasi termasuk organisasi masyarakat sipil, lembaga pemerintahan, lembaga multilateral, hingga perusahaan menerima penghargaan untuk berbagai kategori yang mendorong kebijakan dan intervensi kerja perawatan di Asia pasifik.
Empat kategori ini adalah: Inovasi untuk layanan, membongkar stereotip untuk perubahan, riset dan data guna membangun pengetahuan, dan menjalin kemitraan.
“Kami secara khusus mengajak berbagai jenis investor, publik maupun swasta, untuk berinvestasi ke isu perawatan. Bukan semata-mata ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, tapi juga menjadi langkah bisnis yang cerdas,” Christine Arab, Direktur Kawasan Asia dan Pasifik UN Women, mengatakan.
Di sela-sela konferensi, Magdalene bercakap-cakap dengan dua organisasi penerima penghargaan (21/11). Kami membicarakan soal intervensi dan programyang mereka lakukan terkait kerja-kerja perawatan. Ini cerita lengkapnya.
Baca Juga: Kesetaraaan Gender Jadi Fokus Pembangunan RI, tapi Isu ‘Sensitif’ Terlewatkan
Dharmalife: Menggabungkan Pusat Pelatihan dan Penitipan Anak
Dharmalife Foundation memberdayakan perempuan di pedesaan di beberapa negara bagian di India. Caranya dengan menggabungkan fasilitas pelatihan vokasional dan penitipan anak. Para perempuan dapat menitipkan anak dan mendapatkan pendidikan anak usia dini, ketika mereka mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kemampuan.
Mereka juga dapat tetap menggunakan fasilitas penitipan anak ini ketika sudah menyelesaikan pelatihan dan telah mendapatkan pekerjaan atau memulai wirasausaha.
“Usaha kami tidak gratis. Ini adalah layanan perawatan yang berbayar dengan biaya terjangkau. Sebab kami percaya kerja perawatan tak berbayar perlu digantikan dengan kerja perawatan berbayar,” ujar Panchalee Tamulee Pillai, Senior Chief Manager di Dharmalife Foundation.
Pendirian dan pengelolaan fasilitas ini melibatkan mitra usaha perempuan setempat. Pun, tempat penitipan anak mempekerjakan perempuan dari komunitas sekitar.
Biaya fasilitas di Dharmalife ini beragam, tergantung lokasi fasilitas. Namun dengan rata-rata sekitar 1 poundsterling Inggris (Rp20.000) per bulan mereka bisa mengikuti pelatihan dan menitipkan anak. Biaya yang sedikit lebih tinggi, sekitar 2 poudnsterling, diterapkan untuk ibu bekerja yang hanya menitipkan anak.
Kebanyakan dari pengguna layanan adalah perempuan dari komunitas marjinal secara finansial, bahkan di bawah garis kemiskinan. Banyak dari para peserta bekerja di sektor pertanian atau memiliki usaha mikro.
Salah satu pelatih Dharma Life dari Maharastra, Rohini Patil, bercerita tentang pengalamannya setelah mengambil pelatihan digital dari Dharmalife, dan membuka pusat pelatihan dan penitipan anak bersama Dharma Life dua tahun lalu.
“Kami banyak melihat perempuan yang memiliki anak kecil tidak bisa bekerja. Mereka juga harus merawat orang tua, sehingga sering kali terpaksa berhenti bekerja. Dengan menggabungkan penitipan anak dan pelatihan, mereka bisa melakukan ‘upskilling’ seperti mesin, kecantikan, dan komputer,” ujar Rohini dalam bahasa Hindi.
Ia mengatakan, peserta pelatihan ada yang telah memulai salon kecantikan, atau bekerja penuh waktu di perusahaan, dan anak mereka dititipkan di pusat penitipan Dharmalife.
Dalam dua tahun, Dharmalife telah menjangkau sekitar 31.000 perempuan, dan bekerja sama dengan 400 perempuan pengusaha yang menjalankan usaha ini. Dari jumah ini sekitar 95 persen peserta pelatihan telah mendapatkan pekerjaan penuh waktu atau memulai usaha mereka sendiri.
Baca juga: Dorong Kebijakan Inklusif, Kita Butuh Pemimpin Perempuan dengan Disabilitas
Gender Lab: Mengubah Persepsi Remaja tentang Maskulinitas
Jika Dharmalife fokus pada pengadaan layanan, maka Gender Lab ingin mengubah masa depan dengan melibatkan remaja. Awalnya Gender Lab didirikan untuk membangun kapasitas kepemimpinan remaja perempuan usia 12-14 tahun di sekolah, dan memberikan program fellowship bagi perempuan usia 20-25 tahun.
“Dalam perjalanannya, kami mendapat pembelajaran tentang pentingnya melibatkan remaja laki-laki,” Ayusha Banerji, salah satu pendiri dan direktur Gender Lab mengatakan.
“Pertanyaannya, apa dampak patriaki terhadap anak laki-laki dan apa yang menjadi faktor yang mendorong mereka melakukan perilaku tertentu. Jadi kami tidak hanya melihat mereka sebagai pelaku kekerasan, tapi juga sebagai korban dari patriarki. Hal ini membuka begitu banyak pengetahuan baru,” tambahnya.
Dalam pelibatan dengan remaja laki-laki, Gender Lab memulai dengan membahas kekerasan dan empati. Remaja laki-laki diajak untuk melihat pesan-pesan yang mereka terima dari media tentang apa itu artinya menjadi anak laki-laki yang baik atau buruk. Mereka melakukan role play untuk melihat cara-cara alternatif untuk merespons situasi kekerasan.
Namun dari program mereka bersama anak perempuan, satu isu mengemuka, yakni ketidakhadiran laki-laki dan anak laki-laki dalam kerja-kerja domestik.
“Mayoritas laki-laki itu tidak hadir dalam tugas keperawatan di rumah. Kami melihat pentingnya anak laki-laki untuk mengenali bahwa kerja perawatan adalah kerja. Karena sering kali kita mendengar, ‘ayah saya pergi bekerja, ibu saya ibu rumah tangga, jadi enggak melakukan apa pun.’ Ini yang kami ingin ubah.”
Gender Lab bekerja sama dengan sekolah-sekolah, baik sekolah publik yang kebanyakan muridnya dari keluarga berpendapatan menengah dan rendah, maupun sekolah swasta dengan murid dari keluarga mapan. Mereka juga memberikan pelatihan serupa untuk guru dan edukator.
Dalam satu dekade, Gender Lab telah menjangkau 50.000 remaja perempuan dan 7.000 remaja laki-laki.
Ayusha mengatakan tantangannya adalah tarik-ulur dengan pihak sekolah, yang melakukan sensor dan kontrol yang ketat terhadap kurikulum mereka.
Ketika bekerja dengan remaja laki-laki, misalnya, penggunaan kata “seks” untuk membedakan antara jenis kelamin dan gender sering kali menjadi isu dengan orang tua dan otoritas sekolah. Namun dengan dialog, tantangan seperti ini bisa dinegosiasi.
“Di setiap negara bagian ada konteks tersendiri, ada yang bisa diterima di satu daerah, namun tidak di daerah lain. Namun semua berusaha mendorong batasan itu, jadi sebenarnya kemajuan itu ada.”
“Beberapa tahun lalu, contohnya, kalau kita berbicara dengan guru dan edukator, mereka akan mengatakan: ‘Sekarang anak perempuan saja bisa mengenakan celana jeans, mereka bisa bersekolah. Mereka kan sudah berdaya, kok bisa kamu bilang mereka belum berdaya?’”
Namun untuk mengatasi berbagai tantangan ini, Gender Lab sedang meninjau kembali pendekatan program lewat sekolah. Salah satunya dengan meningkatkan potensi alumni Gender Lab yang jumlahnya sangat besar untuk menjadi suara di komunitas mereka.
Ayusha bilang, efektivitas dan dampak dari program ini membutuhkan peninjauan terus menerus tentang apa yang efektif dan apa yang tidak dalam setiap konteks yang berbeda.
“Kita harus memahami secara budaya, apa yang diperlukan untuk menggeser norma. Kita harus memahami diskursus yang ada saat ini dan menempatkan kita dalam ruang itu,” tambahnya.