Rolex Buat Sepak Bola, Kesenjangan Buat Atlet dan Cabor Lain
Ada diskursus lama yang kembali menguar setelah Indonesia menang lawan Cina dalam kualifikasi Piala Dunia Sepak Bola 2026: Kesenjangan anggaran antar-cabor dan sepak bola yang jadi anak emas.
Indonesia melaju ke babak ronde empat perebutan kualifikasi Piala Dunia Sepak Bola 2026, setelah mengalahkan Cina. Di babak selanjutnya, Indonesia harus memperebutkan tiket mengalahkan Oman, Qatar, Irak, dan Uni Emirat Arab. Euforia kemenangan Indonesia pun ditanggapi Presiden Prabowo. Seluruh Tim nasional (Timnas) indonesia langsung diundang ke kediamannya. Pulang dari sana, timnas dihadiahi jam tangan Rolex GMT-Master.
Di situs resmi Rolex sendiri tipe GMT-Master dibanderol harga 180-800 juta rupiah.
Baca Juga: Jangan Jadi Lansia di Indonesia
Pembagian Rolex itu jadi buah bibir netizen. Komika Ernest Prakasa sempat mengkritik pembagian hadiah itu. Dia menilai hadiah itu tidak sejalan citra penghematan pemerintah yang memangkas anggaran di banyak sektor. “Turut senang untuk para pemain yang sudah berjuang. Tapi sebagai warga negara, sepertinya wajar kalo gw bingung, katanya lagi penghematan, trus ini pake anggaran apa?” tulis Ernest di akun X-nya, yang kini telah tutup akun.
Istana bergeming, lewat juru bicara istana Prasetyo Hadi dia membantah hadiah jam Rolex berasal dari uang negara. “Enggak ada (anggaran negara),” kata Hadi sekaligus Menteri Sekretaris Negara. Ia menyebut hadiah jam Rolex itu berasal langsung dari uang pribadi Presiden Prabowo.
Kritik serupa juga datang dari atlet di luar cabang sepak bola. Lindswell Kwok salah satu atlet Wushu menyoroti kesenjangan anggaran yang diberikan pemerintah kepada cabang olahraga (cabor) sepak bola dengan lainnya. Di akun Instagramnya, Lindswell Kwok sempat menulis di story soal sepak bola yang mendapat kucuran anggaran Rp200 miliar lebih dari pemerintah. Berbeda dengan cabor lain yang hanya mendapat Rp10-30 miliar saja.
Sedangkan Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir menyebut anggaran dari pemerintah untuk sepak bola sebesar Rp250 miliar. Dilansir dari IDN Times, Erick mendapat kucuran dana Rp750 miliar dari pihak swasta. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu juga menyebut, anggaran tersebut disalurkan untuk membina para atlet serta program penunjang sepak bola.
Besaran anggaran sepak bola juga berdampak tidak meratanya akses support dan akomodasi atlet. Lindswell Kwok dalam kritiknya menyebut dampak anggaran yang kecil dirasakan oleh atlet wushu. Semula atlet wushu junior berencana berangkat ke kejuaraan dunia Youth Olympic 2026. Namun, di tengah jalan setelah delapan bulan berlatih, atlet wushu junior dipaksa untuk pulang dari pelatihan nasional (pelatnas) karena akibat efisiensi Kemenpora.
“Mereka dipanggil, mereka dikumpulkan, mereka juga dipulangkan secara tidak layak. Apa boleh mereka dipulangkan via zoom dengan alasan efisiensi?” ujar Lindswell Kwok, atlet yang lima kali juara dunia wushu. “Ini cuma salah satu dari sekian banyak hal yang dialami cabor unggulan, tapi ga seterkenal bola. Jadi bisakah cabor lain lebih diperhatikan pemerintah? Apa tidak boleh cabor lain meminta perhatian lebih baik?”
Baca Juga: ‘Aging Society’ dan Kesejahteraan Lansia yang Dipandang Sebelah Mata
Sepak Bola yang Politis
Nasib cabang olahraga wushu, tapak suci, dan cabor lain memang tidak seberuntung cabang sepak bola yang diistimewakan dengan instruksi presiden (Inpres) langsung. Inpres yang dimaksud ialah Inpres No. 3 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Dalam inpres itu cukup lengkap dari mulai pembinaan, pengembangan, peningkatan, dan alokasi anggaran sepakbola. Dengan inpres itu juga tiga belas institusi (Kemenpora, Mendagri, Menteri Agama, Menteri Keuangan, Gubernur, Bupati dll) diperintahkan untuk turut mendukung secara proaktif perkembangan sepak bola.
Data Kementerian Keuangan lewat akun instagram @ditjenpajakri mengunggah besaran anggaran untuk sepak bola menyentuh Rp277 Miliar. Anggaran itu digunakan untuk persiapan Timnas Indonesia di kualifikasi piala dunia 2026, pelatihan timnas di berbagai kelompok usia, dan program kerja asosiasi sepak bola.
Maka tak heran cabang olahraga sepak bola dirasa diistimewakan atau dianakemaskan. Pengamat olahraga Anton Sanjaya menyebut sikap menganakemaskan itu sebagai bentuk ketidakadilan. Dia menilai cabang olahraga seperti renang, atletik, dan bulu tangkis yang terbukti mengharumkan nama bangsa justru seret dukungan.
“Nah ini, buat saya ini ironisnya, kalau yang mengeluarkan dana ini pihak swasta atau apa, terserahlah. Ini negara, dalam konteks keadilan sosial, bagi seluruh rakyat indonesia yang ada dalam sila-pancasila itu di mana?” ujarnya seperti dilansir dari media KBR.id.
Baca Juga: Danny Yatim: Gencar Suarakan ‘Active Aging’ demi Lansia Berdaya
Kucuran dana persatuan sepakbola seluruh indonesia (PSSI) diduga usaha tangan Erick Thohir yang juga sebagai menteri badan usaha milik negara (BUMN). Dalam sejarah, PSSI sering kali jadi tempat perebutan bagi para politisi. Mengutip Bola.com dalam tulisan Sejarah kepemimpinan. Kursi panas yang selalu jadi rebutan terdapat konflik yang melibatkan para politisi seperti La Nyala, Muhammad Iriawan alias Bule, Edy Rahmayadi mantan Gubernur Sumut.
Penelitian Kiki Esa Perdana dari Universitas Tanri Abeng yang berjudul Sepakbola Sebagai Bentuk Baru Komunikasi Politik Indonesia, menemukan alasan mengapa politisi memilih sepak bola sebagai media yang tepat mendulang popularitas. Sepak bola dianggap bisa menyentuh segmen audiens yang luas. Di samping bisa jadi tempat memasarkan diri untuk menaikan citra positif dan kepentingan elektoral. Salah satunya karena suporter sepak bola yang dikenal militan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















