Kesuksesan Bukan Cuma Soal Ikhtiar, Tapi Juga Latar Kelas Sosial
Meskipun mungkin dapat memotivasi individu, anggapan bahwa sukses hanya butuh kerja keras berbahaya dalam mendorong mobilitas sosial.
Masyarakat Indonesia cenderung menganggap bahwa kerja keras lebih penting dibandingkan latar belakang ekonomi keluarga dalam menentukan kesuksesan seseorang. Keberhasilan sebagian kecil kelompok miskin untuk keluar dari keterbatasan kerap menjadi dasar pandangan ini.
Keyakinan ini biasa disebut sebagai kepercayaan meritokrasi; kesuksesan didefinisikan sebagai buah dari kerja keras dan bakat, bukan karena modal kelas sosial yang lebih tinggi. Keyakinan tersebut tetap terlihat dominan meskipun bukti-bukti ilmiah menyatakan sebaliknya.
Penelitian saya pada 2017 menunjukkan bahwa faktor keluarga memainkan peran yang sangat penting dalam mempengaruhi masa depan anak. Lebih lanjut, penelitian terbaru lembaga riset SMERU Institute menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung tetap berpenghasilan rendah ketika mereka dewasa.
Keyakinan masyarakat pada pentingnya kerja keras disebabkan oleh kesalahan persepsi pada ketimpangan ekonomi, jarak antara kelas sosial, dan minat pada topik terkait motivasi. Menurut saya ini berbahaya.
Mengapa anggapan ini bertahan?
Ada beberapa kemungkinan penjelasan di balik keyakinan ini. Pertama, masyarakat Indonesia memiliki persepsi yang tidak tepat terhadap ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menganggap ketimpangan yang ada tidaklah selebar ketimpangan yang sebenarnya.
Mispersepsi ini mendorong masyarakat untuk menganggap bahwa kesempatan untuk sukses terdistribusi lebih merata dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Ketika setiap orang dianggap memiliki kesempatan yang sama, maka wajar bila kerja keras dianggap menjadi faktor penentu kesuksesan.
Kedua, ketimpangan yang relatif tinggi antar kelompok sosial menciptakan sekat-sekat. Di Indonesia, kelompok menengah-atas tinggal dan bersekolah di tempat yang berbeda dari kelompok pra-sejahtera. Perbedaan ini berpotensi membuat masyarakat lebih banyak berinteraksi dengan kelompoknya saja. Hidup di wilayah yang relatif homogen di tengah ketimpangan cenderung membuat masyarakat menganggap bahwa kesuksesan terjadi karena faktor merit yaitu kerja keras dan bakat.
Ketiga, masyarakat cenderung memiliki minat tinggi pada hal-hal terkait motivasi, termasuk teori psikologi popular, misalnya grit dan growth mindset. Grit adalah kombinasi antara bakat dan usaha terus-menerus yang individu lakukan dalam jangka waktu yang panjang untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara, individu dengan growth mindset adalah mereka yang beranggapan bahwa bakat dapat dikembangkan, termasuk salah satunya melalui usaha yang terus-menerus.
Baca juga: Mengapa Anak dari Keluarga Miskin Cenderung Tetap Miskin Saat Dewasa: Riset
Kedua teori ini menekankan pentingnya peran individu untuk mencapai kesuksesan dan terkesan mengabaikan faktor-faktor struktural yang menghambat perkembangan anak.
Ethan Ris, peneliti pendidikan dari Stanford University, Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa grit cenderung meromantisasi usaha keras anak-anak dari kelompok miskin dan seolah menganggap bahwa kemiskinan bukanlah masalah selama anak mau berusaha.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa intervensi growth mindset di sekolah tidak selalu menghasilkan capaian akademis yang lebih baik. Implementasi intervensi growth mindset di negara berkembang, misalnya di Argentina, juga cenderung lebih menantang dan tidak selalu berhasil memotivasi siswa untuk berusaha lebih keras.
Lebih lanjut, berdasarkan konsep psikologi self-serving bias, manusia cenderung mengaitkan kesuksesan dengan faktor internal diri, sedangkan kegagalan terjadi karena faktor eksternal.
Penelitian di negara-negara Eropa pada 2016 menemukan bahwa socially mobile people—mereka yang mengalami perbaikan status ekonomi—cenderung memiliki pandangan ini untuk memaknai kesuksesannya.
Mengapa ini berbahaya?
Meskipun mungkin dapat memotivasi individu, anggapan bahwa sukses hanya butuh kerja keras berbahaya dalam mendorong mobilitas sosial.
Daniel Markovits, profesor hukum di Yale University, AS, mengatakan bahwa pandangan ini berperan dalam menimbulkan ketimpangan. Dalam pandangan ini, masyarakat mengasumsikan ketimpangan sebagai buah dari perbedaan kerja keras yang dilakukan tiap-tiap individu, dan yang dibutuhkan untuk keluar dari kemiskinan adalah bekerja lebih keras lagi.
Kesediaan untuk “membolehkan” adanya ketimpangan membuat penyediaan kesempatan secara lebih merata menjadi lebih sulit dilakukan. Ini terjadi karena minimnya tuntutan masyarakat pada pemerintah terhadap kebijakan yang lebih adil.
Bahkan, kelompok pro meritokrasi cenderung menentang kebijakan pemberdayaan untuk kelompok rentan, seperti penerapan kuota khusus untuk kelompok rentan ekonomi dan ras minoritas dalam perusahaan atau di universitas. Ini terjadi khususnya jika kelompok pro meritrokrasi itu beranggapan bahwa tidak ada diskriminasi yang terjadi.
Baca juga: Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Indonesia
Kepercayaan meritokrasi juga cenderung membebani individu miskin untuk hanya terus berusaha dan berkompetisi. Keyakinan ini menganggap bahwa mereka yang tetap miskin sebagai kelompok gagal yang kurang berusaha, alih-alih berpikir kemiskinan terjadi karena faktor struktural. Ini membuat proses mobilitas sosial rentan mengganggu kesehatan mental anak-anak miskin..
Selain kesehatan mental, membebankan mobilitas sosial semata pada individu rentan membuat anak-anak merasa terasingkan di lingkungannya karena sukses hanya tanggung jawab individu, bukan komunitas.
Apa yang bisa dilakukan?
Intervensi sederhana dengan menunjukkan level ketimpangan sesungguhnya di suatu daerah dan posisi ekonomi individu dalam skala nasional berpotensi mengurangi pandangan bahwa sukses terjadi hanya karena kerja keras.
Sebuah eksperimen yang dilakukan pada 2017 menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat Indonesia pada meritrokrasi cenderung berkurang saat mereka diberi informasi tentang tingkat ketimpangan yang sesungguhnya terjadi.
Pemerintah perlu terus mendorong pengurangan ketimpangan dan sekat-sekat antar kelompok.
Pendidikan, yang selama ini justru memisahkan siswa berdasarkan capaian akademis dan cenderung bias kelas, harus menjadi tempat yang inklusif yang memungkinkan anak dari berbagai latar belakang untuk dapat berinteraksi. Interaksi ini diharapkan mampu membuat antarkelompok saling berempati dan menyadarkan, khususnya kelompok menengah-atas, tentang privilese yang dimiliknya.
Di level perorangan, memotivasi individu untuk terus berusaha tentu sangat penting. Namun, apa yang terjadi pada banyak masyarakat pra-sejahtera menunjukkan bahwa ambisi dan kerja keras tidak akan pernah cukup bagi anak-anak miskin untuk bisa memperbaiki keadaannya.
Seperti kata peribahasa dari Afrika, it takes a village to raise a child (mengasuh anak butuh peran semua orang).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.