December 5, 2025
Issues Opini

Halaman yang Memberi Makan, Bukan Hutan yang Ditebang

Di Hari Pangan Sedunia, mari rayakan tangan-tangan warga yang menanam kebiasaan baik: dari dapur, halaman, dan komunitas. Bukan dari proyek yang menumbangkan hutan.

  • October 24, 2025
  • 5 min read
  • 542 Views
Halaman yang Memberi Makan, Bukan Hutan yang Ditebang

Setiap pagi, saya memulai hari dari pekarangan, dengan daun hijau di polybag, batang serai di sudut, cabai yang tumbuh dari ember bekas. Di dapur, ada termometer kecil kami selipkan di kulkas, sebagai cara sederhana menjaga makan siang anak tetap aman. Inilah logika Rumah Nusa, bagaimana ketahanan pangan dimulai dari dapur dan dari kebiasaan yang diulang setiap hari. Bukan dari poster Hari Pangan Sedunia, apalagi seremoni tahunan.

Sejak 2021, Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) di Sumatera Utara membangun Rumah Nusa sebagai upaya memperkuat kedaulatan pangan di tingkat rumah tangga. Konsepnya sederhana: tiga zona untuk tiga fungsi. Zona 1 di pekarangan untuk kebutuhan harian—sayur, rempah, tanaman obat. Zona 2 di belakang rumah untuk sumber karbohidrat non-beras seperti umbi-umbian dan pisang. Zona 3 lebih jauh, untuk “tabungan pangan”: tanaman keras, pohon jangka panjang.

Di banyak desa yang dikepung perkebunan sawit dan lahannya makin sempit, warga berinovasi. Mereka menanam di polybag, ember, dan pot gantung. Lalu tumbuhlah Rumah Bibit, yakni ruang berbagi bibit, belajar budidaya, dan berbagi pengetahuan soal dapur yang aman. Bukan sekadar tentang panen, tapi soal memisahkan talenan, memasak matang, dan menyimpan di suhu yang tepat. Dalam hal ini, sains turun dari poster ke panci.

Rumah Nusa mengingatkan dua hal penting yang sering dilupakan dalam perumusan kebijakan pangan. Pertama, ilmu pengetahuan hanya akan hidup bila ada komunitas yang merawatnya. Kedua, pangan bukan hanya soal “cukup”, tapi soal “aman”. Kita bisa menanam lebih banyak, tapi jika dapur tak aman, yang kita dapat bukan gizi, melainkan risiko.

Ketahanan pangan tidak lahir dari buldozer, melainkan dari tangan-tangan wargad di halaman, di dapur, dan di komunitas. Yang kita butuhkan bukan alat berat, tapi kebiasaan yang berat nilainya dan dibangun dari kebersamaan dan kepercayaan.

Baca juga: Mama Fun: Kami Tak Butuh Nasi, Pangan Lokal Lebih Bergizi dari MBG

Kenapa bukan food estate?

Program food estate menjanjikan panen, tapi yang tumbuh subur justru pembabatan hutan dan tekanan pada masyarakat adat. Di Merauke, lebih dari 50 ribu orang adat terancam akibat pembukaan 109 ribu hektare hutan tanpa persetujuan yang layak. Pelapor Khusus PBB pun menyoroti lemahnya penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)—standar minimum yang semestinya bukan sekadar formalitas.

Di atas kertas, pemerintah menargetkan 2,3 juta hektare hutan lindung untuk pangan dan biofuel, sebagai bagian dari rencana konversi sekitar 20 juta hektare kawasan hutan, menurut laporan Mongabay (2025). Tapi kenyataannya, sawah belum berjalan secepat janji. Infrastruktur dermaga dan jalan di Merauke dikebut sejak 2024, tapi panen masih jadi wacana. Ini bukan hand in hand, ini tangan besar yang menepis tangan-tangan kecil yang sudah lebih dulu memberi makan.

Rekam jejaknya juga tak meyakinkan. Di Ria-ria, Sumatera Utara, 90 persen dari 215 hektare lahan percontohan hortikultura akhirnya ditinggalkan. Bukan karena tanahnya tidak subur, tapi karena kebijakannya tak berakar.

Kalau kita sungguh serius soal pangan, biayai yang menanam kebiasaan: halaman rumah, dapur aman, Rumah Bibit. Bukan izin untuk menumbangkan hutan.

Baca juga: Setahun Prabowo: Mengulang Tiga Dekade Kegagalan ‘Food Estate’

Dari kebiasaan kecil, masa depan tumbuh

Seruan Hari Pangan Sedunia—Hand in Hand for Better Foods and a Better Future— akan bermakna jika tangan-tangan itu benar-benar bertemu di tiga ruang harian: pasar–puskesmas, sekolah–orang tua, dan dapur UMKM–Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Di pasar, puskesmas hadir mingguan untuk mengecek es batu, menempel poster kecil di kios daging, dan melakukan uji suhu sederhana. Pedagang dibimbing, bukan dimarahi. Ini cara yang murah, praktis, dan berdampak.

Di sekolah, Unit Kesehatan Sekolah (UKS) bukan lemari kosong. Suhu kulkas dipantau, bekal siswa diperiksa dengan lembar satu halaman. Anak belajar sains dari kebiasaan, bukan dari brosur. Di dapur UMKM, pengusaha kecil didampingi untuk d log suhu, rotasi minyak, an menyediakan dkontainer bersih. Dinas kesehatan membuka klinik keliling. Sertifikat “Dapur Aman Warga” jadi simbol kehormatan sosial.

Mulai sekarang, tanpa seremoni kita dapat memulainya. Di pasar, tanyakan cara pedagang menjaga kesegaran lalu bantu tempel lima kunci keamanan pangan. Di rumah, pisahkan talenan dan tempel catatan kebiasaan aman di kulkas. Di dapur usaha, mulai membuat log suhu sederhana dan tetapkan batas memakai minyak. Hal-hal kecil ini tidak akan trending, tetapi ia menghemat biaya, melindungi tubuh, dan menegakkan martabat.

Di sinilah hand in hand berubah dari slogan menjadi mesin kerja harian, menyediakan keputusan anggaran yang berpihak, alat sederhana, dan pendampingan yang konsisten. Kita punya kebiasaan massal yang menyelamatkan biaya dan kesehatan.

Baca juga: Knalpot Along-along vs Notif Ojol: Ketahanan Pangan di Last Mile ke Panci

Makanan bukan sekadar nutrisi, melainkan juga relasi antara tanah, dapur, dan kebijakan. Ketika gotong royong makin tipis dan segalanya dihitung dengan uang, Rumah Nusa mengingatkan bahwa ketahanan pangan lahir dari kebiasaan kecil yang diulang, bukan dari proyek raksasa.

Tugas negara adalah memermudah dan memperbanyak kebiasaan baik ini. Bukan lewat seremoni, tapi keputusan anggaran yang berpihak. Biayai halaman, bukan hutan yang ditebang. Bangun pasar yang bersih, sekolah yang menjaga bekal, dan dapur usaha yang dibimbing dengan percaya.

Karena masa depan pangan bukan tumbuh dari janji, tapi dari tangan-tangan yang sejak lama sudah memberi kita makan.

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.