Apa itu ‘Eco-Pesantren’: Saat Santri Terlibat dalam Ekonomi Hijau Nasional
Lebih dari 78 persen pesantren ada di daerah pertanian dan pegunungan. Ini membuat pesantren berpotensi aktif jadi agen konservasi dan pusat gerakan ekologis.

Kita tahu pesantren berperan penting dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Pola pendidikannya yang holistik dan berbasis teologi bikin seluruh aktivitas di dalamnya menjadi bagian dari proses pembelajaran. Sistem ini membekali santri dengan berbagai keterampilan serta nilai-nilai kebermanfaatan yang maslahah atau menghindarkan diri dari tindakan yang sia-sia dan tidak baik.
Seiring waktu, pertumbuhan jumlah pesantren di Indonesia terus meningkat dan tersebar hampir di seluruh wilayah. Menurut data Kementerian Agama pada periode 2023-2024, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 39.551 dengan 4,9 juta santri.
Keberadaan pesantren didukung oleh regulasi nasional yang mengatur tentang peran dan fungsinya dalam pembangunan bangsa, baik dalam pendidikan— khususnya terkait pembentukan perilaku sosial (akhlak)— maupun ketahanan ekonomi.
Konsep yang dianut mayoritas pesantren yaitu learning by doing atau learning by teaching, menjadi metode andalan dalam membentuk karakter santri. Di samping itu, pesantren juga menjadi manifestasi kekuatan transformasi kelas, karena memberikan pelayanan tanpa memandang strata sosial. Tidak sedikit pesantren yang melahirkan unit bisnis di suatu sektor untuk memenuhi kebutuhan para santri hingga warga sekitar. Pesantren juga amat mengedepankan nilai kebersamaan yang berdasarkan tindakan kolektif untuk kepentingan bersama.
Baca Juga: Review Dokumenter ‘Pesantren’: Membongkar Stigma Buruk Pesantren
Modal Alami untuk Ekonomi Hijau
“Pondok” memiliki peran strategis yang potensial dalam pembangunan ekonomi hijau. Salah satu modal fundamental yang dimiliki oleh pesantren adalah letak geografisnya.
Lebih dari 78 persen pesantren berada di kawasan pedesaan yang notabene merupakan daerah pertanian dan pegunungan. Posisi ini membuat pesantren berpotensi aktif menjadi agen konservasi dan pusat gerakan ekologis.
Dengan akses yang dekat dengan kawasan hijau, banyak pesantren mengelola lahan produktif yang dimanfaatkan untuk memenuhi setidaknya kebutuhan pangan pesantren santri hingga masyarakat sekitar seperti Pondok Modern Darussalam Gontor di Jawa Timur. Pesantren tersebut memberikan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar untuk mengelola kawasan agraris, khususnya pertanian untuk memasok kebutuhan pangan pokok bagi santri.
Dampaknya, pesantren ini mampu menekan harga beras yang kerap berfluktuasi tinggi sehingga masyarakat berswadaya beras. Pondok Modern Darussalam Gontor yang berpusat di Jawa Timur ini adalah salah satu contoh dari total 20 kampusnya yang tersebar, baik di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
Pesantren juga memiliki rekam jejak positif dalam mengelola unit usaha bisnis yang mendukung kemandirian ekonomi. Karena rata-rata pesantren berada di kawasan hijau, maka pengelolaan bisnis pesantren pun juga banyak bergelut di sektor agrikultur, menjadi peluang mengimplementasikan ekonomi hijau.
Baca Juga: Atas Nama Baik Pesantren Jombang, Kekerasan Seksual Dipinggirkan
Transformasi Jadi Eco-pesantren
Eco-pesantren adalah konsep wawasan dan pendidikan mengenai konservasi lingkungan hidup yang diterapkan oleh pesantren. Konsep ini menjadi jalan bagi pesantren untuk mengaplikasikan aksi peduli lingkungan hidup sekaligus aktualisasi keberkahan atas kerja yang dilakukan berprinsip “I’malu fauqo ma’amilu” atau berusaha lebih dari rata-rata orang lain” dan mengerjakan suatu hal secara bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan atau pun kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, umat muslim harus memerhatikan apa yang menjadi tugasnya dengan baik, agar prestasi yang dihasilkan merupakan bentuk dari upaya yang maksimal dan optimal. Upaya pelestarian yang dilakukan tidak hanya ditujukan pada aspek ketahanan lingkungan semata, tetapi juga pengaruhnya terhadap ekonomi hijau, terutama dalam hal produksi untuk memenuhi supply and demand masyarakat.
Berdasarkan studi primer penulis, Pesantren Nurul Haramain, Narmada, Lombok merupakan salah satu pesantren yang mengimplementasikan eco-pesantren. Pesantren ini menerapkan konsep eco-theology dengan metode edukasi hijau sebagai bagian dari dakwah Islam.
Sejak 2002, Pimpinan Pesantren, Tuan Guru Hasanain Juaini menggagas Kitab Hijau. Kitab ini digunakan sebagai ajaran yang menggencarkan program penghijauan dengan memanfaatkan lahan kering, seperti tempat edukasi berbasis alam. Ada pula kebun Madani yang membudidayakan madu trigona, pupuk alami dari kotoran ternak, dan produk hasil perkebunan, seperti vanili dan buah-buahan.
Selain itu, pesantren pun mengembangkan Haramain Farming sebagai integrasi pertanian yang dibangun sejak 1994. Hingga saat ini telah berkembang sebesar 56 hektar di berbagai lokasi yang tersebar di kawasan Lombok. Program eco-pesantren ini diciptakan untuk mengatasi permasalahan masyarakat petani, seperti pengelolaan pupuk organik, pakan, dan keterampilan mengolah produk turunan (hilirisasi agrikultur). Salah satu contoh inovasinya adalah mengembangkan tumbuhan Lenma Minor yang mampu menjadi alternatif pakan ikan sehingga mampu menekan harga pakan ternaknya hingga 50 persen.
Lebih masif, dalam pengembangan integrasi pertanian, Pesantren Nurul Haramain melakukan berbagai kerjasama dengan lembaga pemerintah, seperti Badan Standarisasi Instrumen Pertanian, Bank Indonesia, Kementerian Kehutanan, dan sebagainya. Prestasi mereka telah diakui melalui berbagai penghargaan nasional, termasuk Kalpataru, dan penghargaan internasional seperti Ramon Magsaysay Awards yang sering disebut sebagai Nobel versi Asia, Ashoka Award, dan dilibatkan dalam pelatihan internasional pengembangan agrikultur di Thailand dan India.
Baca Juga: Ekonomi Hijau Masih Tinggalkan Penyandang Disabilitas
Kontribusi Nyata bagi Ekonomi Hijau
Pesantren Nurul Haramain tidak hanya fokus pada pemberdayaan lahan, tetapi juga mendorong diversifikasi dan keberlanjutan ekonomi hijau. Pesantren ini mengembangkan unit usaha bisnis berbasis pertanian, seperti budidaya sayur dan buah yang dipasok ke pasar lokal.
Beberapa pesantren lain yang juga mengadopsi konsep serupa antara lain; Pesantren Thohir Yasin dan Nurul Hakim di Nusa Tenggara Barat yang sama-sama mendapatkan hibah pengembangan agrikultur oleh Bank Indonesia.
Kemudian, Pesantren Darumuhyiddin Debok yang menerapkan kurikulum konservasi lingkungan, Pesantren Daarut Tauhid di Jawa Barat Yang memiliki program Eco-Pesantren berbasis aset wakaf produktif, Pesantren Hidayatullah dan Pesantren Trubus Iman di Kalimantan Timur. Dan masih banyak lagi tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Tidak hanya di Indonesia, penyebaran pengaruh positif pesantren dalam aspek sosial karena menerapkan pola pendidikan bersistem asrama (boarding system) juga menyebar di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan. Pesantren mendapat legitimasi sosial yang membangun citra positif di masyarakat karena menerapkan metode pendidikan umum dan pendidikan agama, baik secara teoritis maupun praktikal. Maka, Pesantren haruslah menjadi perhatian karena melihat potensi dan perkembangannya berpeluang menjadi aktor ekonomi politik yang penting di Negara-negara Selatan.
Dengan political will dan social branding yang kuat, pesantren bisa menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Pesantren berperan strategis sebagai driving force bagi ketahanan sosial dan kemandirian ekonomi, serta manifestasi pembangunan berkelanjutan.
Afni Regita Cahyani Muis, Dosen Prodi Hubungan Internasional, Universitas Darussalam Gontor.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
