Ketidakadilan Gender Dapat Bermula dari Toilet
Penyediaan toilet umum yang masih minim air bersih dan beruangan sempit serta terbatas tak mengacuhkan kebutuhan unik perempuan.
Permasalahan ketidakadilan gender bisa ditemukan dalam beragam hal dalam keseharian, salah satunya adalah toilet. Di berbagai tempat hiburan maupun ruang publik lain seperti sekolah dan stasiun, jumlah toilet untuk perempuan bisa dibilang kurang memadai.
Permasalahan toilet perempuan ini tidak lepas dari pandangan buta gender yang marak di masyarakat, termasuk di kalangan ilmuwan. Dalam tahap awal, pandangan ini mengesampingkan fakta biologis bahwa perempuan mempunyai kebutuhan unik sehubungan dengan pengalaman menstruasi mereka. Pengalaman ini sangat berpengaruh terhadap waktu yang perempuan habiskan di toilet. Sebuah studi dari Science Daily tahun 2017 pernah menyebutkan, perempuan menghabiskan 50 persen waktu lebih lama dari laki-laki di toilet. Hal ini bisa ditambah faktor sedikitnya jumlah bilik toilet sehingga perempuan mesti mengantre lebih lama di sana.
Terkait menstruasi, tentu saja kebutuhan waktu mengakses toilet perempuan yang lebih panjang menyangkut aktivitas membersikan darah menstruasi dan vulva, mengambil pembalut baru, dan memasangnya kembali. Toilet yang nyaman untuk perempuan jarang, ukuran bilik biasanya sangat kecil sehingga cenderung menyulitkan ruang gerak perempuan saat harus mengganti pembalut.
Permasalahan toilet yang dihadapi perempuan ditambah dengan fakta bahwa jarang didapati toilet-toilet bersih di Indonesia dengan aliran air bersih. Minimnya ketersediaan air bersih ini lagi-lagi berimbas buruk bagi perempuan menstruasi yang harus membersihkan pembalut dan dirinya. Dari pengalaman semacam ini, saya biasanya memilih mencari toilet lain yang lebih jauh dari tempat yang saya tuju walaupun kala itu saya sangat butuh ke toilet untuk mengganti pembalut yang sudah penuh.
Baca juga: Apa yang Kita Bicarakan Saat Berbicara Soal Toilet di Indonesia
Permasalahan toilet umum dirasa semakin menyusahkan bagi perempuan yang harus mendampingi anak kecilnya buang air. Kurangnya jumlah toilet perempuan dan minimnya ketersediaan air dan area toilet yang bersih membuat para ibu kesusahan membersihkan anaknya setelah mereka buang air besar. Hal ini lantas bisa berdampak pada kesehatan anak-anak tersebut seiring pernyataan mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, yang menyebutkan bahwa anak-anak rentan terkena penyakit akibat kurangnya sanitasi dan higienitas.
Hal lain yang barangkali terdengar sepele tetapi penting adalah tidak adanya gantungan baju di dalam bilik toilet. Bagi para ibu, hal ini menyusahkan mereka karena biasanya mereka membawa banyak bawaan, termasuk pakaian anaknya yang ditanggalkan saat sang anak buang hajat. Gantungan baju di bilik toilet tidak hanya memudahkan ruang gerak perempuan di sana, tetapi juga dapat menyingkat waktu mereka berada dalam bilik karena tak harus repot-repot mengambil barang yang jatuh dari pundak mereka saat mereka berjongkok memakaikan celana anaknya.
Data lain memperlihatkan aneka permasalahan toilet bagi perempuan di Indonesia dan dampaknya yang tidak remeh. Riset SMERU Research Institute tahun 2019 menyatakan bahwa penyediaan toilet untuk siswa perempuan masih minim. Riset ini diperkuat data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017 yang menyebutkan bahwa sebanyak 54 persen SD tidak memiliki toilet terpisah antara siswa perempuan dan siswa laki-laki, serta sebagian besar toilet rusak. Belum lagi dengan data bahwa 15 persen SD di Indonesia tidak memiliki akses terhadap air yang cukup.
Baca juga: Transgender Dambakan Toilet Umum Uniseks
Minimnya jumlah toilet perempuan dan kurangnya air bersih di sana sangat memengaruhi indikator kesetaraan gender suatu negara. Menurut studi global UNESCO (2014), ada hubungan erat antara buruknya fasilitas sanitasi di sekolah dan rendahnya angka melanjutkan sekolah siswa perempuan.
Lebih lanjut, studi tersebut mengatakan bahwa satu dari lima anak perempuan yang berusia belasan tahun putus sekolah akibat fasilitas sanitasi di sekolah yang tidak layak. Jumlat toilet dan sanitasi yang buruk tidak hanya menyebabkan anak perempuan sering tidak hadir di sekolah, tetapi juga memicu berbagai masalah kesehatan reproduksi mereka. Pada akhirnya, permasalahan toilet yang berujung pada putus sekolah bagi anak perempuan berdampak secara jangka panjang pada aspek sosio-ekonomi mereka.
Toilet dengan segala fasilitas di dalamnya merupakan hak yang sepatutnya diberikan kepada perempuan dengan porsi yang memadai dengan mengedepankan nilai keadilan (equity), bukan kesamaan (equality), karena adanya kebutuhan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Butuh keterlibatan pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan publik, perencana pembangunan, dan arsitek yang merancang fasilitas umum untuk mewujudkan pemenuhan hak perempuan yang satu ini. Dengan memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan toilet perempuan, pemerintah dan masyarakat dapat mendorong peningkatan salah satu indikator kesetaraan gender di berbagai sektor di dalam masyarakat.