Kala Bantuan Tak Datang: Relawan Topang Sumatera di 72 Jam Pertama
Pada (25/11), ketika air mulai naik di sejumlah wilayah Sumatera, Sara Uzlifah merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
“Hari itu, 25 November, sudah hari ketujuh berturut-turut hujan deras mengguyur kota,” kenang Sara. “Banjir memang sudah biasa terjadi di beberapa titik di Padang, tapi tidak pernah sampai rumah-rumah hancur atau ada korban jiwa.”
Sara, 32, adalah relawan medis yang tinggal di Padang, Sumatra Barat. Berasal dari Jambi, ia kini menetap di rumah kos yang relatif aman dari banjir. Pagi itu, air di halaman kosnya hanya setinggi mata kaki. Namun, hanya berjarak sekitar sepuluh menit perjalanan, kondisi di Batu Busuak sudah jauh lebih parah. Sebuah jembatan ambruk. Warga terjebak di kawasan perbukitan. Sungai meluap, menerjang rumah-rumah dan permukiman.

Lima hari kemudian, pada 30 November, Sara bergabung dengan tim paramedis dan anggota Sekolah Gender untuk menyalurkan bantuan logistik serta layanan medis dasar. Mereka berpindah dari Batu Busuak, Gurun Laweh, hingga Tabing Banda Gadang, wilayah-wilayah yang terdampak dengan tingkat kerusakan berbeda, tetapi sama-sama berjuang setelah banjir.
Di Gurun Laweh, air sempat naik tinggi, meski jumlah rumah yang rusak tidak sebanyak di tempat lain. Sementara di Tabing Banda Gadang, kehancurannya jauh lebih parah.
“Cukup banyak rumah yang tersapu,” ungkap Sara. Lumpur dan puing masih menyelimuti jalan-jalan beberapa hari setelah air surut.
Kerusakan terparah yang ia temui berada di Palembayan, Kabupaten Agam.
“Seorang penyintas lansia bercerita kepada saya, ia berkali-kali terseret banjir bandang,” tutur Sara kepada Magdalene (21/12). “Ia selamat, tapi tubuhnya penuh lebam dan luka terbuka yang sudah terinfeksi. Tragisnya, satu anak di keluarganya sampai sekarang belum ditemukan.”
Di berbagai lokasi yang ia datangi, Sara melihat pola yang sama. Para penyintas tidak terkonsentrasi di satu tempat pengungsian resmi. Kebanyakan mengungsi ke sekolah, masjid, atau rumah kerabat.
“Posko resmi sebenarnya ada, tapi menurut saya tidak berjalan dengan baik,” katanya. “Ada pos dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi menurut saya juga tidak berfungsi secara optimal.”

Baca juga: Banjir di Sumatera Utara: Ketika ‘Apa Kabar?’ Datang Terlambat
Perempuan, Anak-anak, dan Beban Bertahan Hidup
Bagi Sara, banjir ini menunjukkan bagaimana bencana membebani perempuan dan anak-anak secara tidak proporsional.
“Perempuan dan anak-anak sangat rentan,” katanya. “Akses air bersih sulit, jadi kebersihan diri tidak bisa dijaga dengan baik.”
Seiring waktu, warga, terutama anak-anak mulai mengalami masalah kesehatan kulit. “Banyak yang mengeluh gatal-gatal di seluruh tubuh.”
Sebelas dua belas, perempuan yang sedang menstruasi dan ibu hamil menghadapi kesulitan yang lebih besar. Pembalut sulit didapat. Layanan kesehatan pun terbatas.
“Kami hanya bisa melakukan pemeriksaan dasar, seperti tekanan darah, gula darah, kolesterol dan memberi obat generik. Tidak ada dokter di tim saya, hanya bidan dan perawat. Akibatnya, banyak penderita penyakit kronis yang tidak tertangani,” imbuhnya.
Ibu hamil menghadapi keterbatasan serupa. “Kami hanya bisa memeriksa tanda-tanda vital dasar. Pemeriksaan lanjutan sulit dilakukan,” katanya. Banyak dari mereka tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan setelah dokumen dan kartu Badan Penyenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) hilang tersapu banjir.

Di luar penyakit fisik, Sara juga melihat tekanan psikologis yang mendalam.
“Menurut saya, yang paling mereka butuhkan adalah ruang untuk menyalurkan duka,” katanya. Para penyintas mengeluhkan sakit kepala, mual, sulit tidur, hingga asam lambung, gejala yang menurut Sara berkaitan erat dengan stres.
Namun, dukungan psikologis nyaris tidak tersedia. “Tidak ada psikolog di sini,” ucapnya. Upaya pemulihan trauma terbatas pada kegiatan sederhana seperti menggambar dan bermain dengan anak-anak.
Dalam tiga hari pertama pascabencana, kata Sara, kebutuhan paling mendesak justru sering terabaikan.
“Yang paling dibutuhkan itu kebersihan diri, air bersih, pembalut, popok, pakaian bersih,” katanya. “Tapi yang biasanya datang justru bantuan makanan, termasuk mi instan.”
Ia juga mengkritik cara para pejabat hadir di lapangan.
“Mereka memang datang, tapi malah membawa spanduk dan poster besar,” kata Sara. “Alih-alih membantu penyintas atau mendengarkan mereka, fokusnya justru pada pembuatan konten media sosial dan pencitraan.”
Baca juga: Banjir Sumatera dan Refleksi Saya Sebagai Perempuan Batak
“Kami Bertahan karena Saling Menolong”
Di Langkat, Sumatera Utara, Milla Ulfah berada ratusan kilometer jauhnya saat banjir melanda desanya. Tinggal di Medan, ia berulang kali mencoba menghubungi keluarganya. Tak satu pun yang menjawab.
Menyadari telepon tak lagi berguna, Milla berangkat ke Langkat pada (27/11) untuk mencari ibunya. Akses yang terputus memaksanya menunggu di rumah seorang teman di Tanjung Pura, sementara suaminya menerobos banjir menggunakan truk gas yang juga dipakai warga untuk menyelamatkan diri.
Beberapa jam kemudian, suaminya menemukan ibu Milla di desa lain. Ia telah dievakuasi ke tempat yang lebih tinggi oleh kerabat. Keluarga itu harus berpindah-pindah seiring naiknya air.
Menurut Milla, evakuasi tidak diorganisasi oleh pejabat, melainkan oleh anak-anak muda desa. Saat suaminya membawa sang ibu ke tempat aman dengan truk yang sama, Milla menyaksikan kehancuran di sekeliling mereka.
“Anak-anak berteriak mencari ibunya. Semua orang kelaparan, termasuk ibu hamil, meminta makanan. Sedih sekali, saya enggak sanggup melihatnya,” ujar Milla kepada Magdalene (19/12).

Ia mengatakan bantuan pemerintah, dari tingkat desa hingga pusat, nyaris tidak terlihat.
“Tidak ada kepala desa yang hadir saat proses evakuasi, apalagi memberi bantuan,” katanya. Bantuan dari tingkat provinsi pun, tambahnya, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu desa.
Sepupunya yang sedang hamil hanya bertahan hidup dari mi instan bantuan.
“Ibu hamil, anak-anak, mereka butuh makanan bergizi. Kalau tiap hari makan mi instan, jadinya apa? Itu sama sekali enggak sehat,” katanya. “Pemerintah memberi satu karung beras dari Bulog dan satu dus mi instan untuk satu keluarga berisi tiga sampai empat orang. Itu mana cukup.”
Barang-barang penting seperti popok, pembalut, dan susu formula habis di pasaran. Setelah melihat langsung kondisinya, Milla membuka penggalangan dana pada 29 November. Terkumpul Rp5 juta untuk membeli kebutuhan dasar.
“Langkah itu saya ambil karena saya sudah kehilangan harapan pada pemerintah,” katanya.
“Negara ini membuat saya gila. Kita tidak bisa bergantung pada pemerintah. Di Sumatra, orang-orang bertahan karena saling menolong, sementara pemerintah hanya bicara omong kosong tanpa solusi.”
Baca juga: Tak Lagi Terlihat Pasca-Banjir, Orangutan Tapanuli Di Ambang Punah
Permintaan yang Disampaikan dengan Berbisik
Di Aceh, Fitri Syafruddin, staf Flower Aceh, menemukan bentuk keputusasaan yang lebih sunyi.
Saat ia tiba di Pidie Jaya untuk memetakan kebutuhan, seorang perempuan berbisik kepadanya, menanyakan apakah pakaian dalam bisa dimasukkan dalam daftar bantuan.
“Para perempuan sudah lima hari tidak memakai pakaian dalam,” kenang Fitri. “‘Bisa tidak kalau lain kali datang, tolong bawakan kami pakaian dalam?’”
Kekurangan pakaian dasar ini, katanya, terjadi di banyak tempat. Fitri memusatkan bantuannya pada perempuan dan anak-anak, termasuk pembalut, susu formula, pakaian dalam, dan masker.
“Ibu-ibu sudah pakai masker, tapi saya masih sering melihat anak-anak bermain tanpa masker,” katanya. Debu beterbangan di udara, meningkatkan risiko gangguan pernapasan.
Ia juga mengingatkan relawan lain untuk tidak hanya fokus pada bantuan makanan. “Kami membawa gendongan untuk para ibu menggendong bayinya,” katanya.
Namun, makanan dan air bersih tetap langka di beberapa wilayah. Fitri mengingat seorang ibu hamil yang mengalami diare setelah memakan mi instan yang tidak matang. Timnya juga tidak bisa menjangkau beberapa lokasi karena jalan ambruk dan air masih tinggi.

Di tengah situasi ini, Fitri mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan pemerintah pusat yang menolak menetapkan status bencana nasional. Menteri Luar Negeri Sugiono dan Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa Indonesia mampu menangani bencana tanpa bantuan asing.
Sebaliknya, kata Fitri, pemerintah provinsi Aceh justru terlihat lebih hadir. Gubernur Muzakir Manaf mendatangi desa-desa terdampak, mengecek akses yang terputus, dan terlihat di lokasi pembagian bantuan.
Kisah Sara, Milla, dan Fitri menunjukkan apa yang terjadi ketika respons resmi terlambat, terpecah, atau hanya bersifat simbolik. Tanpa arahan yang jelas, relawan dan warga mengambil alih. Ini termasuk mengatur evakuasi, menyalurkan bantuan, dan menutup celah yang ditinggalkan negara.
Diamnya pejabat dan institusi di media sosial masing-masing selama 72 jam pertama, bukan hanya mencerminkan kegagalan, tetapi juga berkontribusi langsung pada gagalnya pemenuhan kebutuhan mendesak para korban bencana. Bagi banyak orang, bertahan hidup berarti bergantung pada tetangga, relawan, dan mereka yang memilih untuk tidak berpaling.
Artikel ini merupakan bagian serial jurnalisme data Magdalene. Baca artikel lainnya di tautan berikut.
Penanggung Jawab/ Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani
Koordinator Lipsus: Jasmine Floretta
Editor: Purnama Ayu Rizky, Devi Asmarani
Reporter: Andrei Wilmar, Jasmine Floretta, Purnama Ayu Rizky, Sharon Wongosari, Ting-Jen Kuo
Analis Data: Sharon Wongosari, Ting-Jen Kuo
Aset Grafis dan Penerjemah: Chika Ramadhea
Ilustrator/ Desainer Grafis: Karina Tungari, Bima Nugroho
Media Sosial: Sonia Kharisma Putri
















