Ketika Kekerasan Seksual Menjadi Senjata Perang
Perkosaan pada masa perang bukanlah produk sampingan dari konflik, melainkan sebuah strategi militer yang disengaja dan direncanakan.
[Peringatan: Cerita berikut dapat memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan Anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan]
Saya berkata kepada mereka, “Lebih baik kalian membunuh saya daripada memperkosa saya”. Lalu saya menjerit dan berteriak ke komandan mereka. Lalu dia datang dan mengatakan, “Alah kamu mau dikasih enak aja menjerit,” ujar Ainun, narasumber dalam laporan Bertahan dalam Impunitas milik Asian Justice and Rights (AJAR).
Saat konflik di Aceh meningkat, suami Ainun pergi meninggalkan rumah dan bergabung dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Tahun 2004, satu pasukan militer Indonesia mendatangi Ainun untuk mencari informasi tentang suami Ainun.
Rumah Ainun digeledah dan dihancurkan. Ainun lalu dibawa ke markas mereka di Simpang Limeng. Di sana Ainun diinterogasi dan disiksa selama hampir lima jam. Karena tidak puas dengan jawaban Ainun, Ia mengaku mengalami peristiwa yang sangat memalukan baginya dan sulit diceritakan Ainun hingga kini. Sekitar 15 tentara, melakukan pelecehan dan kekerasan seksual kepadanya.
Dalam perang, semua kejahatan dan tragedi terjadi. Kematian, penyakit, keluarga yang tercerai-berai, kehilangan tempat tinggal, dan kisah-kisah memilukan lainnya. Terkadang media menyederhanakan sekelumit penderitaan ini di balik deretan angka-angka, hingga satu aspek penting seringkali luput diberi lampu sorot saat meliput konflik: ada terlalu banyak kekerasan seksual saat perang.
Meskipun pelanggaran lainnya, seperti pembunuhan dan bentuk penyiksaan lainnya telah lama dikecam sebagai kejahatan perang, perkosaan kerap diremehkan sebagai efek samping yang disayangkan, namun dianggap tidak dapat dihindari.
Dalam situasi perang, sebagian besar (90 persen) korban perang saat ini adalah warga sipil, anak-anak dan perempuan menjadi korban sipil paling rentan. Dalam laporan UN Women pada tahun 2015, diperkirakan bahwa lebih dari 70 persen korban perang adalah perempuan dan anak-anak. Ini pun kasusnya banyak yg belum terselesaikan dengan tren aduan kasus yang terus bertambah.
Tahun 2014 beredar kabar bahwa ISIS di Irak menculik ribuan perempuan Yazidi untuk dimanfaatkan sebagai budak seks. ISIS diduga menggunakan kekerasan seksual sebagai bagian dari strategi perang mereka. Meskipun kasus ini sangat mencolok dan ramai diperbincangkan, ini bukan yang pertama dan terakhir dalam sejarah perkosaan massal.
Laporan Human Rights Watch “Rape in War: Challenging the Tradition of Impunity” yang menunjukan serangkaian kasus perkosaan dalam konflik bersenjata sejak perang dunia II. Selama Perang Dunia II, tentara Nazi memperkosa perempuan Yahudi dengan jumlah korban yang tidak terhitung banyaknya. Sebagai balasan, pasukan Soviet juga memperkosa perempuan Jerman ketika mereka berperang menuju Berlin.
Pada masa penjajahan Jepang di China (1937), terjadi perkosaan massal di Nanking, dengan
50.000 warga sipil dibantai dan 20.000 lebih perempuan diperkosa, dari segala usia, termasuk anak-anak. Dalam genosida kejam itu, puluhan ribu perempuan diperkosa beramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh.
Selama Perang Pasifik, militer Jepang menjalankan prostitusi paksa dengan korban para perempuan muda dijadikan jugun ianfu untuk melayani hasrat seksual tentara. Kasus serupa terjadi pada Perang Pembebasan Bangladesh (1971), di mana tentara Pakistan meneror dan memperkosa 200.000 perempuan Bengali, beberapa dibawa ke barak-barak tentara dan diperkosa berkali-kali hingga meninggal.
Dalam banyak kasus di Armenia, korban dijual, dijadikan budak seks, dipaksa menikah dan dipaksa pindah ke agama Islam. Tentara Turki juga menelanjangi mereka dan menampilkannya dalam pelelangan.
“Pada masa GAM, militer Indonesia melakukan kekerasan seksual kepada perempuan-perempuan di Aceh dengan dalih mencari laki-laki yang terlibat GAM. Bahkan ada kasus-kasus di mana para istri diperkosa di depan anak-anaknya untuk mempermalukannya secara moral,” tutur Atikah Nuraini, Peneliti Asian and Justice Rights (AJAR).
Di Republik Demokratik Kongo (DRC) yang dijuluki ‘Ibu Kota Perkosaan di Dunia’, diperkirakan pada tahun 2011 saja terjadi 400.000 pemerkosaan massal yang terjadi. Selama tiga bulan konflik etnis di Rwanda yang menewaskan satu juta orang lebih (1994), Menteri Pemberdayaan Perempuan Pauline Nyiramasuhuko memerintahkan seluruh milisi etnis Hutu memperkosa seluruh perempuan Tutsi sebelum membakar mereka hidup-hidup.
Atikah Nuraini, peneliti Asian Justice and Rights (AJAR) yang mengkaji kekerasan seksual dan berbasis gender dalam konflik di Asia Pasifik menerangkan bahwa di era ini, jenis kekerasan ini mengambil wujud yang semakin beragam.
Contohnya di negara Myanmar dan Filipina, teknologi dan media sosial menjadi perangkat utama dalam memperpetuasi konflik tersebut dengan menyebarkan berita palsu, biasa, dan stigma terhadap etnis tertentu.
“Serangan awal di Arakan terhadap Rohingya itu dimulai dengan banyaknya hoaks dan propaganda-propaganda berisi kebencian dan stigma negatif yang menyudutkan etnis Rohingya. Jadi, saat ini kta berhadapan dengan tantangan baru, situasinya semakin sulit,” ujar Atikah.
Siapa Saja Korban dan Pelakunya?
Mayoritas korbannya adalah perempuan, meski terkadang laki-laki juga berisiko menjadi korban dalam jumlah kasus yang lebih sedikit. Yang tidak kalah mengerikan, korbannya dari segala usia. Bukan hanya perempuan dewasa, namun juga anak perempuan dan anak laki-laki.
Setiap hari, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat rata-rata dua kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak oleh kelompok atau kekuatan bersenjata. Dua kasus perkosaan, perbudakan seksual, kehamilan paksa, aborsi paksa atau sterilisasi. Dan seperti halnya gunung es, lebih banyak lagi yang tidak dilaporkan.
Save Children mencatat sebanyak 72 juta anak atau 17 persen dari 426 juta anak yang tinggal di daerah konflik di seluruh dunia menjadi korban kekerasan seksual oleh kelompok bersenjata setempat. Dari jumlah tersebut, 98 persen dilakukan terhadap anak perempuan, dan kasus yang disebabkan oleh pasukan negara hampir dua kali lipat dari tahun 2018.
Data kasus dan korban kekerasan dari tahun 1990 hingga 2019 mengindikasikan peningkatan risiko bagi anak-anak, dengan jumlah anak yang berisiko hampir sepuluh kali lipat lebih tinggi dibandingkan tiga dekade sebelumnya. International Committee of the Red Cross melaporkan bahwa tingkat kematian ibu tertinggi terjadi di 10 negara yang saat ini sedang berperang atau baru-baru ini keluar dari konflik. Negara-negara tersebut termasuk Afghanistan, Sierra Leone, Somalia, Kosovo, Kolombia, Irak, Somalia, Sudan Selatan dan Republik Demokratik Kongo.
Link:https://infogram.com/wordcloud-chart-1hnq410vm70gk23
“Saya pertama kali membuka Rumah Sakit Panzi pada tahun 1999 dengan niat membangun pusat keunggulan untuk kesehatan ibu di Republik Demokratik Kongo. Saya tidak pernah bisa membayangkan pasien pertama saya bukanlah perempuan dewasa, melainkan seorang bayi,” tutur Dr. Denis Mukwege, Pendiri Rumah Sakit Panzi di DRC kepada wartawan BBC.
Pelaku kekerasan seksual ini umumnya adalah laki-laki, meskipun terdapat beberapa kasus di mana perempuan juga terlibat dalam memerintahkan perkosaan terhadap sesama perempuan. Misalnya perempuan yang memerintahkan perkosaan terhadap perempuan lain. Misalnya
Menteri Pemberdayaan Perempuan Rwanda, Pauline Nyiramasuhuko jadi aktor utama perkosaan massal terhadap etnis Tutsi. Sebuah survei pada tahun 2010 di DRC menemukan bahwa 41 persen korban melaporkan bahwa mereka menjadi korban pelaku perempuan.
“Sebagian besar pelaku adalah laki-laki, meski demikian ada perempuan yang juga melakukan kekerasan seksual misalnya memasukkan benda ke dalam vagina korban, menahan atau menyerahkan korban pada pelaku, bahkan di Rwanda perempuan yang memerintahkan perkosaan tersebut,” ujar Atikah.
Faktanya, sebagian besar tentara dan kelompok pemberontak yang terlibat sebagai pelaku perkosaan dalam perang banyak yang tidak dilaporkan oleh korban maupun warga sipil. Tidak hanya posisi strategis dan relasi kuasa yang dimiliki oleh seorang tentara, hal ini juga karena para komandan mempunyai pilihan: Mereka dapat memilih untuk memerintahkan, menoleransi, atau melarang perkosaan.
Dataset dari Cohen dari tahun 1989 hingga 2009 mendapatkan data 129 konflik aktif dengan kasus kekerasan seksual dan melibatkan 625 aktor bersenjata. Dari semua kelompok bersenjata yang terlibat, militer negara menjadi pelaku kekerasan seksual yang paling banyak dilaporkan.
Tentunya, seorang komandan yang melarang kekerasan seksual dapat membantu proses penyelesaian kasus. Kendati demikian, seorang komandan yang tidak memerintahkan perkosaan pun sering kali menoleransi kejahatan tersebut, baik karena alasan yang bersifat patriarkal, ongkos materi dan waktu penyelesaian, serta risiko kekuatan hierarkal antara komandan dan kombatan yang dapat retak karena hal ini. Dengan demikian, sulit untuk menemukan komandan yang mau berkomitmen terhadap masalah ini.
Link: https://infogram.com/pictorial-1hxj48px7lpzq2v
“Dalam situasi konflik, semua norma rusak, sehingga para pelaku itu merasa bahwa dia nggak akan dimintai pertanggungjawaban. Bahkan, yang lebih parah, dalam banyak kasus, perkosaan ini dijadikan sebagai taktik peperangan, dianjurkan oleh para komandannya, dijadikan kebijakan, dilembagakan,” tutur Atikah.
Meskipun terjadi dan terulang sepanjang sejarah, dalam mayoritas kasus kekerasan seksual dalam konflik bersenjata, para pelaku sulit dituntut ke pengadilan. Penyebabnya antara lain rumitnya prosedur pembuktian dan situasi yang menyulitkan korban untuk membuka mulut, serta kuatnya posisi pelaku dalam struktur politik atau sosial
“Lihat aja contohnya Indonesia, apakah mereka bertanggung jawab terhadap perkosaan massal militer Indonesia? Boro-boro memenuhi hak-hak korban, menghukum pelaku, mengakui kejadian tersebut dan meminta maaf aja tidak. Ada main-mainan politiknya juga di sana,” kata Atikah.
Perkosaan Massal:Reaksi Spontan atau Tujuan Sistemik?
Berbagai akademisi dan lembaga pemerhati HAM sepakat bahwa sering kali penggunaan perkosaan pada masa perang bukanlah produk sampingan dari konflik, melainkan sebuah strategi militer yang disengaja dan direncanakan.
“Dulu, ini menjadi fenomena yang hampir mungkin tidak pernah dibicarakan ya, iya masyarakat tahu ada perang, tapi nggak tahu jelas bagaimana perang ini sangat merugikan perempuan,” ujar Atikah.
Di banyak tempat di seluruh dunia, perkosaan dalam perang dilakukan secara terbuka dan beramai-ramai. Hal ini digunakan untuk mengintimidasi, menyebar ketakutan, meneror, mempermalukan, membersihkan etnis, menghukum warga sipil yang dicurigai mendukung pasukan lawan dan/atau tujuan politik lainnya. Dengan latar belakang konflik dan perang saudara, kekerasan seksual dan perkosaan di tempat-tempat ini bermotif etnis dan agama.
Perkosaan massal sebagai kebijakan adalah bentuk kekerasan yang sengaja dipromosikan militer, yang disertai dengan perintah dari atasan, dengan dilakukannya penanaman norma, atau disertai hukuman untuk ketidakpatuhannya.
Dalam kasus pemerkosaan sebagai kebijakan, tujuannya dapat bersifat strategi maupun rekreasi. Alih-alih spontan, perkosaan massal dalam konflik bersenjata dilakukan secara sistematis untuk melumpuhkan lawan.
Seperti jenis terorisme lainnya, pemerkosaan massal dalam perang seringkali memiliki dua sasaran, target bisa berupa korban yang dibuang atau yang dikorbankan yang digunakan untuk mengirim pesan.
“Dalam sejarah manusia, minimal 2000 tahun terakhir, tubuh perempuan dianggap sesuatu yang harus ‘dikuasai’ karena perempuan punya rahim, bisa melahirkan. Nah, rahim ini harus dipakai
oleh laki-laki sesama suatu suku, bangsa, agama, atau kelompoklah, sehingga perempuan tidak boleh melahirkan anak di luar dari kelompok tersebut,” tutur Andreas Harsono, Human Rights Watch Indonesia.
Dalam bukunya yang berjudul “Rape as a Weapon of War” (1996), Claudia Card menemukan bahwa banyak pemerkosaan dalam perang terjadi bukan hanya produk sampingan dari konflik melainkan strategi untuk menundukkan musuh. Dalam struktur budaya yang dibangun oleh ide-ide patriarki, dominasi laki-laki digunakan sebagai bahasa lintas budaya yang memiliki makna simbolis.
Dengan demikian, permasalahannya bukan hanya soal situasi perang, namun juga tentang laki-laki yang dibesarkan dalam sistem masyarakat yang mengagungkan laki-laki dan merendahkan perempuan.
Dalam konteks perang, perempuan seringkali dianggap sebagai harta rampasan perang. Perempuan seringkali didudukkan sebagai pilar komunitas, sebagai ibu atau calon ibu, sehingga perkosaan terhadap perempuan dari kalangan musuh dapat memiliki efek antar generasi yang merusak solidaritas keluarga, komunitas dan masyarakat yang diduduki, meruntuhkan mental musuh, atau memperkuat ikatan antar serdadu.
Senada dengan Andreas, Atikah mengatakan bahwa dalam konteks relasi kuasa, perempuan berada dalam posisi subordinat.
“Di satu sisi perempuan itu dianggap lemah, rentan, easy target, tapi di saat yang sama perempuan dijadikan simbol kehormatan suatu komunitas masyarakat. Maka dengan menaklukkan perempuan-perempuannya, seolah-olah secara simbolik penyerang sedang menghancurkan lawannya,” kata Atikah.
Dalam perkosaan massal di Rwanda, tentara menargetkan gender spesifik untuk membersihkan etnis minoritas, yaitu perempuan dan anak perempuan. Berdasarkan laporan pemerintah, sekitar
250.000 perempuan Tutsi diperkosa, dimutilasi secara seksual, atau dibunuh oleh tentara pemerintah Hutu dan milisi ekstremis sekutunya.
Tujuan dari perkosaan ini adalah untuk mengobrak-abrik peradaban. Contohnya, sebagai kehamilan paksa dalam perkosaan militer juga bisa menjadi alat imperialisme genetik.
“Hal yang paling menyedihkan adalah berakhirnya perang tidak mengakhiri penderitaan mereka. Setelah konflik selesai pun, mereka tetap menanggung trauma dan rasa bersalah” tutur Atikah.
Mereka terus mengalami trauma fisik dan emosional akibat luka-luka yang mereka alami. Perempuan harus mengatasi tanggung jawab merawat anak-anak, termasuk yang lahir dari kekerasan. Perempuan merasakan malu dan direndahkan akibat penyiksaan seksual yang mereka alami. Setelah mengalami kekerasan, seringkali komunitas atau mantan suami mereka tidak mau menerima mereka kembali.
Sebagai contoh, banyak perempuan dan anak perempuan yang diculik tetap tinggal bersama penculik mereka setelah konflik berakhir, menciptakan ketakutan mendalam yang mencakup aspek fisik dan sosial-psikologis.
“Trauma, rasa malu, depresi, dan dalam kasus forced marriageada banyak anak-anak yang lahir dari perkosaan. Secara sosial dia diisolasi dari masyarakatnya, tidak diterima keluarganya, kehilangan rumah dan sumber kehidupan, juga sulit mendapatkan pekerjaan,” jelas Atikah.
Di dalam sistem patriarki, identitas sosial anak yang dikandung ditentukan oleh ayah biologisnya, pembuahan dengan perkosaan dapat merusak solidaritas keluarga. Sekalipun tidak ada hasil kehamilan, pengetahuan tentang perkosaan sudah cukup bagi banyak pria dalam masyarakat patriarki untuk menolak istri, ibu, dan anak perempuan. Dengan demikian, perkosaan militer dapat merusak solidaritas nasional, politik, budaya, mengubah identitas generasi berikutnya.
“Kita sering mendengar aturan sosial, seperti dalam Islam ada tafsir bahwa perempuan muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim, tapi laki-laki muslim boleh menikah sama perempuan non-muslim. Pada prinsipnya kan sama, perempuan harus dikuasai. Tentara-tentara tersebut menghamili perempuan-perempuan setempat, karena anak-anak itu akan mencari
ayahnya dan ‘dianggap’ musuh karena menjadi bagian dari bangsa penyerang. Itu kan logika yang sangat kacau” lanjut Andreas.
Mereka yang selamat dari perkosaan genosida mendapati diri mereka mendapat stigma. Sekitar satu dari empat korban tertular virus HIV. Hal ini mengakibatkan perempuan-perempuan Tutsi tidak mendapatkan hak atas harta benda dan warisan serta terbatasnya kesempatan kerja mereka.
Catharine MacKinnon dalam jurnalnya menyampaikan bahwa pemerkosaan massal selama konflik merupakan gabungan antara ekspresi misogini dan genosida secara bersamaan.
Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) menjatuhkan hukuman pertama atas penggunaan pemerkosaan sebagai senjata perang, karena maksud dari kekerasan massal terhadap perempuan dan anak-anak Rwanda adalah untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis tertentu. Ini adalah pertama kalinya pemerkosaan massal pada masa perang dianggap sebagai genosida.
Begitu pula dengan perkosaan-perkosaan massal dalam perang lainnya. Bukan tindakan acak, namun disengaja dijadikan kebijakan resmi untuk meneror dan mempermalukan korbannya. Sebagian besar dilakukan secara sistematis, tentara mencari perempuan dari rumah ke rumah untuk disandera, diperkosa, dijadikan budak seks, lalu dibunuh.
Tidak hanya saat perang berlangsung, namun juga termasuk pada saat pasca-perang atau gencatan senjata. Juga termasuk perempuan di zona konflik seperti wilayah pengungsian.
“Di Indonesia, orang Papua, orang Aceh, orang Minangkabau, banyak perempuan di daerah konflik dieksploitasi secara seksual. Dalam film dokumenter “Surat untuk Prajurit” digambarkan bagaimana para tentara Indonesia memanipulasi, menikahi paksa perempuan tersebut secara tidak resmi (forced marriage), lalu menghamili perempuan-perempuan tersebut, kemudian menelantarkan anak dan istrinya,” ujar Andreas memberi contoh.
Kapan Impunitas akan Berakhir?
Atikah menyampaikan bahwa ada empat pilar yang harus dipenuhi untuk mengatasi seluruh dampak kekerasan seksual dalam konflik bersenjata. Antara lain adalah: (1) Pengungkapan
kebenaran (truth seeking) oleh Komisi Kebenaran; (2) Pertanggungjawaban Pidana (Accountability) yang berfokus menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku dan menegakkan supremasi hukum melalui sistem peradilan; (3) Skema Reparasi dan Pemulihan (Reparation and Recovery Scheme) yang memberikan reparasi kepada korban, mencakup kompensasi materiil, restitusi, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial; (4) Terakhir, Reformasi Institusi (Intstitutional Reform) yang mencakup reformasi mendalam terhadap institusi yang terlibat dalam konflik bersenjata dan pelanggaran HAM.
Setelah meluasnya penggunaan pemerkosaan dan kekerasan seksual selama genosida di Rwanda dan pembersihan etnis di bekas republik Yugoslavia, penggunaan perkosaan dan kekerasan seksual sebagai senjata perang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan diperlakukan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi Resolusi 1325 untuk mengatasi dampak perang dan konflik yang spesifik gender terhadap perempuan dan resolusi 1820 tentang kekerasan seksual sebagai senjata perang.
Meskipun merupakan kemajuan signifikan setelah berabad-abad isu ini terabaikan, hukum-hukum ini masih menghadapi tantangan. Kendati demikian, hukum-hukum ini masih kurang bertaring.
Keberulangan kasus-kasus kekerasan seksual dalam konflik masih terjadi, impunitas terus langgeng. Atikah menyampaikan bahwa hukum internasional, meskipun ada, seringkali kesulitan dilaksanakan jika negara-negara tidak bersedia untuk mematuhi aturan tersebut.
Beberapa negara bahkan menolak memberikan pertanggungjawaban, menciptakan kendala yang signifikan bagi korban dalam mencari keadilan dan hak-haknya sebagai korban. Ia juga menekankan kepatuhan tentara secara individu pada prinsip-prinsip HAM, khususnya di tataran pemimpin militer.
“Paling penting memastikan seluruh aparat keamanan pada prinsip-prinsip HAM, kalau itu dipatuhi, kasus-kasus ini -kekerasan seksual dalam konflik- tidak akan terjadi,” tutup Atikah.
Catatan Penting: Apabila Anda menjadi korban kekerasan seksual dapat melaporkan melalui email [email protected] atau menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di call center 148 atau WhatsApp 0857-7001-0048.