December 5, 2025
Issues Politics & Society

Dunia Diplomasi Masih Berparas Lelaki, Begini Curhat Perempuan Diplomat

Diplomat perempuan dan pendamping menghadapi stereotip, tekanan psikologis, dan ketidaksetaraan di Kemlu. Bagaimana pengalaman mereka mengungkap realitas diskriminasi struktural di dunia diplomasi?

  • September 14, 2025
  • 5 min read
  • 2113 Views
Dunia Diplomasi Masih Berparas Lelaki, Begini Curhat Perempuan Diplomat

Diplomat perempuan dan pendamping di Kementerian Luar Negeri Indonesia menghadapi realitas ketimpangan gender yang kerap tersamar di balik citra profesional dan representatif. “Saya sering diberi tugas yang diasosiasikan dengan pekerjaan perempuan seperti dekorasi, konsumsi, budgeting, belanja keperluan kantor, dll,” ujar seorang diplomat perempuan, menggambarkan pengalaman sehari-hari di lingkungan diplomatik. 

Temuan ini sejalan dengan publikasi Riset Diplomasi, forum yang dihimpun oleh peneliti dari berbagai universitas. Riset mereka menunjukkan diplomat perempuan cenderung diposisikan sebagai figur pendukung, alih-alih pengambil keputusan utama dalam kebijakan. Nasib pendamping diplomat, mayoritas perempuan, juga masih diabaikan dalam infrastruktur diplomatik. 

Riset Diplomasi juga mencatat 42 persen responden mengalami perlakuan tidak menyenangkan karena alasan gender. Jenis perlakuan beragam, mulai komentar seksis, pelecehan seksual, pembagian tugas berdasarkan stereotip gender, hingga tekanan sosial dalam organisasi pendamping seperti Dharma Wanita Persatuan Kemlu (DWPK). 

Senada, mantan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan 41 persen diplomat Kemlu adalah perempuan, namun banyak yang mengakhiri karier karena minim kesempatan menduduki posisi substantif dan strategis, seperti dikutip dari Liputan6

Riset Diplomasi mencatat lebih dari 80 persen responden mengalami perundungan atau mengetahui korban perundungan di lingkungannya. Sebanyak 90 persen mengalami tekanan psikologis karena keterlibatan dalam DWPK. Stereotip gender dan aturan tak tertulis memaksa diplomat dan pendamping tunduk pada peran tradisional meski merasa tertekan. Fitri Oktaviani menegaskan ironi profesi yang dianggap elit, karena di balik citra representatif ada ketimpangan gender yang nyata. 

Selain Suci dan Fitri, publikasi ini disusun oleh Kanti Pertiwi dan Wendy Prajuli, dosen sekaligus peneliti dari berbagai universitas. 

Baca juga: Kebijakan Pro Kesetaraan Gender Maju di Luar Negeri, Mundur di Dalam Negeri

Ibuisme Negara yang Lekat pada Diplomat  

Stigma perempuan diplomat muncul dari pantulan cermin sejarah. Ibuisme, konsep negara yang menempatkan perempuan sebagai pengatur urusan rumah tangga, menjadi akar masalah. Sejak Orde Baru, perempuan direduksi ke ranah domestik, misal ibu rumah tangga, pendamping suami, dan pengasuh keturunan. Riset Diplomasi mengkritisi posisi perempuan sebagai nomor dua dalam struktur budaya patriarki. 

Fitri Oktaviani menjelaskan, diplomat perempuan sering mendapat pekerjaan yang nilainya tidak dinilai setara dengan diplomat laki-laki. Idealnya, mereka bisa menjadi agen pengambil keputusan, namun kenyataannya masih dibatasi peran tradisional. 

“Diplomat perempuan biasanya mendapat pekerjaan yang valuenya tidak dinilai setara dengan diplomat laki-laki,” ujar Fitri. 

Idealiasi peran istri sebagai pendamping suami masih terasa hingga kini. Negara menanam konsep patriarki melalui orkestrasi alat negara seperti Dharma Wanita Persatuan. 

“Saya bisa sangat berempati dengan apa yang dirasakan. Diplomat perempuan dan pasangan diplomat sama-sama punya beban berat, meski berbeda,” tambahnya. 

Baca juga: Julia Suryakusuma: Tentang Ibu, Menjadi Ibu, dan Ibuisme

Jurnal Dekonstruksi Peran Diplomasi Perempuan dalam Teks Pidato Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengkritisi perempuan yang lebih banyak ditampilkan sebagai simbol representasi negara alih-alih agen otonom dalam pengambilan keputusan strategis. Penulisnya, Adhe Riatin dan Frengki dari Universitas Sahid Jakarta, menyebut representasi perempuan dalam diplomasi masih berada dalam kerangka dominasi negara dan kekuasaan laki-laki. 

Kanti Pertiwi menambahkan, ideologi ibuisme masih membayangi diplomat dan pendamping. Ia memberi contoh responden yang merasa gelisah diminta menulis nama saat mengikuti webinar Riset Diplomasi, karena khawatir memengaruhi posisi atau karier pasangan. Bahkan di kalangan diplomat laki-laki, muncul sebutan turis atau turut istri, yang dianggap negatif karena mengisyaratkan peran mereka hanya mengikuti pasangan tanpa kontribusi nyata. “Ini bentuk kekerasan simbolik dan tekanan psikologis,” ujar Kanti. 

Ketimpangan gender tidak hanya merugikan perempuan tapi juga laki-laki pendamping. “Kamu kan turut istri, dibilangnya turis gitu, konotasinya negatif. Laki-laki kok jadi bapak rumah tangga. Itu masih berlangsung hingga hari ini,” tambahnya. 

Kementerian Luar Negeri harus memperjuangkan hak bekerja bagi pendamping diplomat ketika ikut penempatan di luar negeri. 

Baca juga: Agar Kebijakan Luar Negeri Feminis Tak Sekadar Tempelan

Langkah Perubahan dan Kebijakan Diplomasi Berperspektif Gender 

Wendy Prajuli menyoroti sejarah global diplomasi. Sebelum abad ke-19, keterlibatan perempuan, khususnya di Eropa, cukup signifikan. Namun setelah diplomasi mengalami institusionalisasi dan birokratisasi, laki-laki dianggap satu-satunya aktor diplomasi. Stigma yang menempel pada perempuan membuat aktivitas mereka melokalisasi di ranah domestik. 

“Artinya banyak negara bisa mencapai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Dan itu tidak merugikan siapa pun,” ujar Wendy. Ia menegaskan, kesetaraan gender tidak berarti meniadakan peran laki-laki. 

Awal 2000-an terjadi perubahan melalui resolusi PBB Women, Peace, dan Security (WPS). Indonesia menerjemahkan WPS lewat Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada Konflik Sosial (P3AKS). Namun langkah ini belum memberi dampak signifikan. 

Wendy membandingkan dengan Swedia yang mengeluarkan kebijakan feminist foreign policy pada 2014, yang membuka kesadaran, perempuan berhak berperan dalam diplomasi, dan pembagian tugas berdasarkan gender tidak punya dasar kuat. 

Riset Diplomasi menyarankan penguatan infrastruktur diplomasi berbasis gender. Saran meliputi integrasi pelatihan gender di semua jenjang diplomasi, keanggotaan DWPK bersifat sukarela, cetak biru kebijakan lima tahun ke depan, pembentukan unit gender permanen, serta Participatory Gender Audit untuk praktik simbolik dan struktural di Kemlu dan perwakilan. Tujuannya, agar kebijakan luar negeri Indonesia lebih inklusif, evidence-based, dan menghapus ketidaksetaraan gender. 

Suci Lestari bilang, kebijakan luar negeri harus didasarkan pada pandangan lebih peka, mengkritik dan membongkar norma patriarkis yang mengakar dalam diplomasi. 

“Kebijakan luar negeri kita harus didasarkan pada pandangan yang lebih peka, yaitu dengan mengkritik dan membongkar norma-norma patriarkis yang telah mengakar dalam diplomasi kita,” ujarnya. 

Implementasi rekomendasi ini diharapkan memberi kesempatan diplomat perempuan dan pendamping berperan strategis, sekaligus mencegah stereotip dan diskriminasi terus berlangsung. 

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.