Setelah sibuk seharian karena mencari nafkah, akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat dengan doom scrolling media sosial. Mulanya itu saya niatkan untuk cari hiburan, tapi melihat unggahan teman-teman sebaya justru bikin otak makin penat. Beberapa memposting memori saat liburan di hari-hari orang seperti saya sibuk bekerja. Ada yang keliling dunia, ada yang melakukan solo travelling pertamanya, atau berkesempatan untuk menetap di negara lain.
Semua terasa menyenangkan saat melihat orang-orang merayakan diri mereka, sampai akhirnya saya melihat diri sendiri. Jika dibandingkan dengan mereka, hidup saya bisa dibilang “begini begini saja”. Meskipun saya berkesempatan bekerja remote di mana saja, saya masih mengerjakan pekerjaan itu di depan teras rumah, ditemani gorengan dan kopi tubruk sederhana. Bukan villa di Bali sambil melihat pantai biru, dalam perjalanan ke Singapura, atau café mewah dengan harga kopi sebesar ongkos seminggu gorengan dan kopi tubruk saya.
Baca juga: Generasi Z: Rumah Tak Terbeli Bukan karena Kebanyakan ‘Ngopi’
Lalu muncul pertanyaan: Apakah saya begitu tertinggal dari orang-orang sebaya?
Jawabannya tidak. Saya tidak tertinggal dari orang lain. Begitu juga kamu. Kenapa saya berani bilang begitu? Menurut survei yang dirilis dalam Indonesia Millennial Report 2024, sekitar 45 persen dari milenial (1981-1996) memiliki pendapatan di bawah Rp5 juta/bulan. Sebanyak 39 persen berpenghasilan Rp5-10 juta/bulan, dan hanya 4 persen dan 1 persen dari generasi saya yang berpendapatan sebesar Rp50 juta/bulan atau di atas Rp100 juta/bulan.
Di usia yang menginjak 34 tahun, saya adalah bagian dari 45 persen itu. Jika dikelompokan sesuai rentang usia, saya malah lebih beruntung dari kelompok usia saya yang berpendapatan rata-rata/ bulan sebesar Rp3,2 juta. Lalu orang-orang bertanya kenapa saya masih belum punya rumah pribadi dan menikah?
Jika hitung-hitungan di atas kertas, selama setahun saya harusnya sudah bisa membayar uang muka (DP) rumah subsisi di pinggiran kota. Nyatanya, saya masih tinggal di rumah peninggalan orang tua bersama kakak lelaki dan keluarganya. Tingginya harga rumah yang tidak sepadan dengan besaran gaji yang saya miliki adalah salah satu alasan saya belum memiliki rumah.
Untuk pertama kali, saya bangga menjadi average person. Hal-hal mundane seperti sampo yang diisi air, atau mandi dengan gayung membuat saya sadar kalau saya tidak pernah tertinggal dari orang lain. Jika dipikir-pikir, teman saya yang keliling Eropa selama setahun adalah bagian dari 1 persen priviledged milenial.
Baca Juga: Kami adalah Gen Z, Insecure dan Overthinking adalah Sahabat Kami
DetikFinance menyatakan, di Jakarta misalnya, harga rata-rata rumah bahkan mencapai Rp 1 Miliar. Tentu saja angka ini tidak tergapai oleh kantong milenial yang rata-rata berpendapatan di batas upah minimum kabupaten/ kota (UMK). Berbicara UMK, perbedaan UMK di tiap daerah menjadi masalah lain bagi milenial. Memiliki UMK tinggi nyatanya diikuti pula dengan biaya hidup yang tinggi.
Sebut saja, UMK Surabaya yang mencapai Rp4,7 juta/bulan di 2024 namun biaya hidup bisa mencapai Rp13,36 juta pada survei BPS 2022. Ini baru hitung-hitungan rumah pribadi. Belum termasuk biaya makan sehari-hari dan biaya sekolah anak jika milenial sudah menikah. Boro-boro mau healing keluar kota, melihat harga beras yang naik empat kali lipat di pasar saja, saya sudah melotot.
Keadaan finansial Gen Z malah lebih babak belur. Indonesia Gen Z Report 2024 menyatakan, 56 persen Gen Z berpenghasilan di bawah Rp2,5 juta/bulan, 26 persen berpenghasilan Rp2,5- Rp 5 juta, hanya 14 persen dan 3 persen Gen Z berpenghasilan di di atas R 5 juta hingga p 30 juta/bulan, dan kurang dari 1 persen Gen Z berpenghasilan di atasRp 100 juta.
Lupakan narasi bahwa Gen Z menghabiskan uang pada ngopi-ngopi cantik atau membeli Iphone teranyar. Sebab survei membuktikan, Gen Z menghabiskan pendapatannya untuk biaya pangan, dan menyisakan 10 persen saja untuk biaya hiburan, pengembangan diri, atau perawatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 juga menyebutkan, 7,8 juta pengangguran di Indonesia didominasi oleh Gen Z.
Generasi bermental rapuh atau generasi strawberry bukan penyebab utama mereka menganggur melainkan sistem pendidikan yang tidak setara dengan kebutuhan kerja. Data ini belum ditambah pada kenyataan kalau dari gaji yang minim itu, mereka juga tulang punggung keluarga. Kebanyakan dari kita tenggelam dalam narasi Gen Z seperti Livy Renata yang princess, Putri Tanjung yang sukses di usia muda, atau Jerome Polin yang pintar, tapi lupa pada underprivileged Gen Z yang boro-boro mau investasi, untuk membayar kosan bulan ini saja sudah ngos-ngosan.
Baca Juga: Solusi Rumah Murah bagi Milenial Saat Harga Tanah Melangit
Untuk pertama kali, saya bangga menjadi average person. Hal-hal mundane seperti sampo yang diisi air, atau mandi dengan gayung membuat saya sadar kalau saya tidak pernah tertinggal dari orang lain. Jika dipikir-pikir, teman saya yang keliling Eropa selama setahun adalah bagian dari 1 persen priviledged milenial.
Teman saya yang sedang menempuh pendidikan Amerika itu adalah bagian dari 53 ribu mahasiwa Indonesia yang berkesempatan kuliah di luar negeri. Mereka adalah segelintir orang terpilih. Bukan berarti saya tidak berarti dan “begini-begini saja”. Saya dan mereka, kami sama-sama berproses. Saya berlari di kecepatan yang sama dengan orang kebanyakan dan itu tak mengapa. Kalau dipikir-pikir, saya bukan tertinggal, mereka aja yang larinya kecepetan.
Sybill November adalah manusia yang hobi menulis bacotannya tentang perempuan dan patriarki di story IG. Hampir membenci matahari tapi bukan vampir dan penikmat kopi tubruk kelas berat. Karena terlalu senang berkhayal tentang dunia lain, akhirnya ia memutuskan untuk menerbitkan buku fantasi berjudul “Dunia Yang Hanya Tuhan Tahu”.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari