December 19, 2025
Culture Prose & Poem

‘Kios Pasar Sore’ dan Keajaiban Orang-Orang Biasa

‘Kios Pasar Sore’ karya Reda Gaudiamo mengingatkan kita bahwa hidup orang “biasa” sering kali justru penuh rahmat, kelana, dan keberanian yang tak kalah luar biasa.

  • December 19, 2025
  • 5 min read
  • 62 Views
‘Kios Pasar Sore’ dan Keajaiban Orang-Orang Biasa

Di rak-rak toko buku, kisah tentang orang “luar biasa” selalu mudah ditemukan. Kita disuguhi orang-orang super—yang kaya, tenar, jenius, cantik, atau punya kisah sukses yang mulus diceritakan. Jarang sekali ada ruang untuk kisah-kisah hidup yang tampak biasa. Orang yang berangkat subuh, pulang malam, merawat keluarga, atau sekadar bertahan hidup tanpa panggung.

Padahal, kalau jujur, justru orang-orang inilah yang membuat dunia berjalan. Kopi yang diracik barista membuat seorang penulis bisa menyelesaikan novel. Sepatu yang dijahit tangan-tangan tak bernama mengantar pelari ke garis finis. Kehidupan banyak orang “luar biasa” bertumpu pada kerja orang-orang yang namanya nyaris tak pernah disebut.

Lalu, di mana tempat untuk kisah mereka?

Pertanyaan itu terasa pelan-pelan dijawab oleh Kios Pasar Sore karya Reda Gaudiamo. Buku tipis, hanya 125 halaman, berisi 30 cerita tentang orang-orang yang sekilas tampak biasa: opas kantor, sopir taksi, perempuan dengan 37 kucing, hingga lelaki yang baru menikah di usia 60 tahun.

Gaya bertutur Reda lembut dan bersahaja. Tidak ada dramatisasi berlebihan, tetapi justru di situlah letak kekuatannya. Sebagai salah satu dari banyak “anak virtual” Mbak Reda di media sosial, saya merasa seperti sedang didongengi pelan-pelan. Bukan dongeng pangeran dan putri kerajaan, melainkan dongeng tentang orang-orang di sebelah kita yang sering kita lewati tanpa menoleh.

Dari tiga puluh wajah yang ada, saya ingin mengajak pembaca berjalan bersama tiga tokoh yang paling lama tinggal di kepala saya.

Baca juga: Menelusuri Geliat Kritik Sastra Anak Indonesia: Minim dan Diabaikan?

Rahmat: Sedikit bicara, banyak memberi

Rahmat adalah opas kantor yang datang paling pagi dan pulang paling malam. Ia jarang bercerita, tetapi hidupnya penuh kisah. Ia bangun lebih dini untuk mengurus anaknya yang mengalami radang otak. Persenan yang ia dapat dari kantor, sebagian ia sisihkan untuk anak seorang janda tua di dekat rumah. Diam-diam, Rahmat menjadi penyangga bagi banyak orang.

Tokoh Rahmat mengingatkan saya pada sosok-sosok yang saya kenal di dunia nyata, termasuk ibu saya sendiri. Orang yang bangun paling awal, makan paling sedikit, tetapi paling banyak memberi. Orang yang tidak suka tampil, namun diam-diam menahan beban paling berat di rumah dan tempat kerja.

Kontribusi Rahmat tampak sepele: mengunci pintu kantor, memastikan semua aman, dan menjadi orang yang bisa diandalkan untuk membeli makan siang dengan cepat. Tapi justru di hal-hal kecil itulah hidup banyak orang dipermudah. Karena Rahmat, orang lain bisa pulang lebih cepat. Karena Rahmat, teman-temannya tidak kelaparan di tengah jam istirahat yang sempit.

Tidak heran jika judul ceritanya adalah “Penuh Rahmat. Reda seolah ingin bilang bahwa ada rahmat yang tersembunyi dalam sosok-sosok yang selama ini jarang kita perhatikan. Wajah mereka barangkali tidak pernah muncul di sampul majalah, tetapi tanpa mereka, banyak dari kita mungkin tidak akan sanggup menjalani hari.

Baca juga: Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam

Sang Biduan: Kelana manusia biasa

Tokoh berikutnya adalah Tarjo, tukang bajaj yang kerap mangkal di depan studio milik Jaja Miharja. Dari situ, hidupnya berbelok: ia dilirik, diajak rekaman, dan menjelma menjadi biduan keliling dengan nama panggung “Rocky Jo Kelana”, lelaki yang berpindah-pindah panggung dari kota ke kota.

Namun hidup tidak berhenti di situ. Nama panggung boleh gagah, tapi kenyataan tetap dinamis. Di kemudian hari, Tarjo menjadi sopir seorang perempuan bernama Mimis. Dari tukang bajaj, jadi biduan, lalu jadi sopir. Hidupnya terus bergerak, seperti Namanya, berkelana.

Kelana ini terasa akrab. Saya teringat teman yang berpindah jurusan kuliah tiga kali, atau bapak-bapak yang dulu bekerja di perusahaan besar lalu terkena PHK dan harus berpuas diri dengan pekerjaan baru yang gajinya jauh lebih kecil. Saya teringat toko kelontong di lingkungan rumah yang pelan-pelan kalah oleh minimarket ber-AC, dan anak-anak kecil yang satu per satu pergi merantau, sebelum digantikan oleh generasi kecil berikutnya.

Hidup orang-orang biasa memang begitu, banyak naik-turun, banyak datang-pergi. Pandemi COVID-19 membuat pola ini makin telanjang. Pekerjaan bisa hilang dalam sekejap, rencana hidup buyar, dan kita semua dipaksa belajar ulang cara bertahan.

Nama panggung “Rocky Jo Kelana” diambil dari tokoh petinju Rocky yang berkali-kali jatuh tapi bangkit lagi. Tarjo mewakili kita semua yang sering “ditonjok” realitas, tetapi terus berjalan. Tidak ada klimaks spektakuler dalam kisahnya, tetapi justru di sana letak kedalaman. Kadang, keberanian terbesar adalah terus hidup ketika hidup tak lagi sesuai rencana.

Baca juga: Capeknya Jadi Anak Sastra, Kuliah Susah tapi Masih Distigma

Madame Usherette: Ketika orang-orang pergi tapi hidup terus berjalan

Madame Usherette adalah perempuan berusia 60-an dengan rambut perak dan senyum manis yang bekerja di sebuah teater. Tugasnya “sederhana”, mengantar penonton ke kursi mereka. Kecintaannya pada seni membuat pekerjaan ini terasa seperti rumah kecil kedua. Sesekali ia dapat menonton pertunjukan di sela tugasnya.

Namun kisah hidupnya jauh dari sederhana. Suaminya tidak menyukai kesenian, bahkan bersenandung pun ia dilarang. Pada usia yang tak lagi muda, ia memutuskan meninggalkan suami demi ruang untuk bernyanyi dan bernapas. Buat sebagian orang, alasan itu mungkin terdengar sepele. Tapi kemerdekaan dan kebahagiaan tetap harus diperjuangkan, dan bagi seorang perempuan, langkah seperti itu membutuhkan keberanian yang luar biasa.

Belakangan kita tahu, Madame Usherette memiliki kekasih perempuan. Anak dan cucunya tidak bisa menerima hal itu dan memilih menjauh. Kadang ia merindukan mereka, tapi hidup memaksanya menerima bahwa orang datang dan pergi, bahkan mereka yang sangat kita cintai.

Reda tidak menggambarkan Madame Usherette sebagai sosok yang patah. Ada getir, tentu, dan rasa sepi. Namun ada juga kelegaan. Ia menemukan kebahagiaan kecil di teater, di antara kursi-kursi kosong dan cahaya panggung. Ia memilih terus berjalan dengan versi hidupnya sendiri, meski itu berarti tidak lagi cocok dengan definisi “ibu” dan “nenek” menurut orang lain.

Dalam tokoh Madame Usherette, saya melihat potret banyak orang yang harus meninggalkan dan ditinggalkan. Mereka yang diputus pertemanan, yang bercerai, yang disingkirkan keluarga karena pilihan hidup. Hidup mereka mungkin tak akan pernah jadi headline, tapi keberanian mereka untuk terus berjalan, dengan jujur pada diri sendiri, adalah bentuk luar biasa yang jarang kita rayakan.

About Author

Ruth Maria Artauli Purba