Kisah Relawan COVID-19: Kepedulian dalam Sepaket Sembako dan Sehelai Masker
Dalam keterbatasan, ada jalan untuk menunjukkan kepedulian dan menjamin urusan perut warga terdampak walau untuk sementara waktu.
Aktivisme yang beralih ketika pandemi – Sindy Febriyani
Jika sebenarnya kita bisa bergerak dan membantu, mengapa kita memilih berdiam saja? Itu yang terlintas di kepalaku ketika melihat situasi sekitar yang kacau dan memprihatinkan, khususnya ketika pandemi terjadi dan berdampak pada orang-orang termarginalkan.
Sejak lama, aku tertarik pada kegiatan amal, terlebih ketika aku telah duduk di bangku kuliah. Aku pernah bergabung dengan beberapa komunitas dengan ragam fokus kepedulian, mulai dari isu penggusuran, isu perempuan, kesejahteraan warga di desa-desa wisata, hingga kini aku terlibat dalam solidaritas sosial membantu warga yang terdampak oleh kebijakan pemerintah selama Covid-19 mewabah.
Soal yang terakhir ini, mulanya aku bergabung dengan komunitas Perbawani (Perubahan Bagi Warga Indonesia), yang menge dukasi warga di desa-desa wisata, agar mereka mampu mengelola potensi daerahnya tanpa terbawa arus komersialisasi yang mengikis kebudayaannya. Kami sebagai relawan biasanya datang ke beberapa daerah untuk membagikan ilmu seputar pariwisata dan branding. Tetapi pada masa pembatasan sosial seperti sekarang, kami menyetop kegiatan tersebut. Aktivisme kami alihkan ke pemberian bantuan kepada sebagian warga yang terpengaruh secara signifikan dari menurunnya aktivitas dan mobilitas masyarakat sehari-hari selama pandemi.
Setelah berdiskusi dengan teman-teman Perbawani, kami sepakat untuk menyumbangkan paket sembako dan masker kain. Konsentrasi kegiatan kami hanya di dua kota, Jakarta dan Cirebon, mengingat anggota Perbawani sendiri bisa dibilang sedikit yang dapat terjun memberikan donasi kepada masyarakat. Dua kota ini kami pilih berdasarkan domisili kami sendiri, empat orang anggota Perbawani: Aku dan dua temanku di Jakarta sementara seorang lagi di Cirebon.
Baca juga: Kisah Relawan COVID-19: Transpuan Berbagi untuk Geser Stigma
Tentu saja tangan-tangan kami tidak cukup untuk menjangkau orang-orang yang butuh. Karenanya, kami bekerja sama dengan berbagai komunitas lain untuk mengumpulkan dana hingga mendistribusikan bantuan-bantuan tersebut.
Di komunitas ini, kami biasanya merogoh kocek masing-masing dan mengumpulkan uang yang kami sebut sebagai kas Perbawani. Uang tersebut, juga uang yang terkumpul setelah kami mengumumkan di media sosial bahwa kami akan melakukan aksi solidaritas, menjadi sumber dana kami untuk membantu orang-orang tadi. Tak hanya itu, kenalan-kenalan kami juga ada yang menyumbangkan beras, gula, mi instan atau makanan kaleng untuk kami kemas langsung menjadi paket sembako.
Perhatian kami untuk aksi solidaritas ini terarah pada beberapa pihak: Buruh, pengemudi ojek online, tukang becak, dan pemulung. Dalam kondisi normal saja, terkadang ada buruh yang mendapat bayaran dicicil. Terjadinya wabah saat ini mencekik mereka, apalagi bagi buruh yang sempat tidak digaji berminggu-minggu atau bahkan sampai dirumahkan. Uang sewa rumah tetap harus dibayar, belum lagi urusan perut yang tidak bisa menunggu.
Sementara bagi pengemudi ojek online dan tukang becak, pendapatan mereka jauh lebih sedikit dari biasanya sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja berat. Temanku di Cirebon berkabar, jalanan di sana sehari-hari kian lengang dan karena Cirebon bukan kota sebesar Jakarta, sumber bantuan pun tidak sebanyak di ibu kota.
https://w.soundcloud.com/player/?url=https%3A//api.soundcloud.com/tracks/721430188&color=e8218c
Pemulung pun setali tiga uang. Aku mendengar cerita, mereka bingung mau mencari uang dari mana karena banyak pengepul yang tutup sehingga barang yang mereka kumpulkan urung terjual.
Ketika orang-orang itu menerima bantuan dari kami, kutangkap rasa syukur dari mereka. Seketika rasa senang dan haru baur di hatiku. Seberapa pun yang berhasil kami sumbangkan ternyata sangat berpengaruh bagi mereka. Setidaknya, urusan perut masih bisa terjaga.
Tak kami mungkiri, mengemas paket sembako dan mengangkatnya ke sana kemari cukup meletihkan. Ketika demikian, kami berstrategi untuk mencukupkan kegiatan tersebut dan beralih fokus ke pengumpulan dana. Rehat itu penting. Jangan sampai kita ingin menolong orang, tetapi kita sendiri kepayahan. Ironis bila kerap kita menggemakan, “Stay healthy, stay safe” kepada mereka, namun kita sendiri tidak sehat.
Dalam kondisi sekarang ini, aku berharap pihak perusahaan dapat mengambil kebijakan yang lebih berempati pada karyawannya. Ketika mendengar kabar banyak orang terkena PHK, tak akan mengantongi THR, gajinya dipotong meski tetap bekerja dari rumah, aku merasa prihatin. Mengapa tak sekalian saja memberi cuti tak berbayar kalau begitu, pikirku.
Bantuan dari komunitas-komunitas macam kami memang bisa dinikmati segelintir masyarakat kecil. Alangkah baiknya bila perusahaan juga turut andil dalam kegiatan sosial seperti yang kami lakukan, entah berlabel corporate social responsibility (CSR) atau apa pun, yang terpenting lebih banyak lagi masyarakat yang terdampak yang dapat terbantu.