KTP Bak Harta Karun Bagi Komunitas Transpuan
Ketiadaan KTP semakin mempersulit komunitas transpuan dalam mengakses fasilitas layanan publik.
Bayangkan betapa panik dan repotnya kita jika Kartu Tanda Penduduk (KTP) tercecer atau hilang, sebab KTP sangat krusial dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selain sebagai identitas, KTP digunakan sebagai syarat utama untuk mengakses berbagai fasilitas layanan publik, mulai dari keperluan registrasi dan membuka rekening di bank, sampai melamar pekerjaan, melanjutkan pendidikan tinggi, mengurus paspor, mendaftarkan pernikahan, dan masih banyak lagi.
Namun, kenyataannya, tidak semua penduduk Indonesia dapat memiliki KTP. Salah satunya adalah kelompok transpuan atau waria.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) pada 2017 menunjukkan, 34,1 persen dari 989 responden transpuan tidak memiliki KTP. Survei tersebut dilakukan di empat kota di Indonesia, yakni Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, dan Manado). GWL-INA sendiri merupakan sebuah organisasi nonprofit yang berfokus pada respons kesehatan seksual dan reproduksi serta hak asasi manusia untuk komunitas rentan di Indonesia.
Data dari Survei Kualitas Hidup Waria di Jakarta pada 2015 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian HIV dan AIDS Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta memperlihatkan hal serupa. Dari 100 responden waria yang diwawancarai, sebanyak 29 persennya tidak memiliki KTP.
Penyebabnya sebagian besar adalah karena penolakan dari berbagai lapisan masyarakat terhadap transpuan. Penolakan paling dasar biasanya bermula dari keluarga inti yang malu mengakui jika ada anggota keluarga mereka yang transpuan. Dari keluarga inti kemudian meluas hingga seluruh anggota keluarga besar. Mendapat perlakuan tidak menyenangkan, dirisak, serta mendapat perlakuan berbeda dari anggota keluarga yang lainnya merupakan hal yang biasa dialami oleh transpuan. Pada beberapa kasus, mereka juga mendapatkan pelecehan seksual dari kerabat sendiri.
Baca juga: Transgender Korban Terbanyak Persekusi Terhadap LGBT.
Tak berhenti sampai di situ saja, penolakan dari lingkungan ini membuat banyak yang tidak sanggup meneruskan pendidikan dan akhirnya putus sekolah. Keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat yang seharusnya menjadi support system malah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Kondisi ini membuat sebagian besar transpuan diusir atau memutuskan untuk pergi dari rumah. Tanpa berkas yang lengkap seperti Kartu Keluarga atau surat pindah dari tempat asalnya, hal ini menghambat proses pembuatan KTP. Sementara itu, mereka enggan kembali ke kampung halamannya karena takut akan kembali mendapatkan penghinaan, pengasingan, pemukulan, atau berbagai perlakuan diskriminatif lainnya. Bahkan ada juga yang di-rukiah atau pun menerima ancaman pembunuhan. Fenomena lain menunjukkan bahwa ada transpuan yang sengaja membuang KTP-nya ketika pergi dari rumah agar tidak dicari oleh anggota keluarga dan kerabatnya di perantauan.
Ketiadaan KTP ini menimbulkan banyak masalah, seperti saat ingin meneruskan pendidikan atau mendapatkan pekerjaan. Peluang untuk mendapatkan pekerjaan sangat terbatas, seolah-olah transpuan sudah ditakdirkan untuk bekerja di jalanan atau di salon kecantikan, walaupun sebagian kecil lainnya cukup beruntung mendapatkan pekerjaan lain termasuk mengisi layar kaca. Selain akses pekerjaan yang terbatas, akses untuk tempat tinggal juga sangat sulit. Tidak sedikit yang diusir dan dipersekusi oleh warga yang tidak menginginkan transpuan tinggal di lingkungan mereka.
Situasi diperparah dengan tidak adanya perlindungan hukum dari pihak berwajib yang seharusnya bertugas mengayomi semua warga. Dalam banyak kasus yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, perlakuan tidak adil justru datang dari aparat penegak hukum. Seperti kejadian di Aceh, Bekasi dan beberapa daerah lainnya di Indonesia yang acap kali ditampilkan secara heboh di media massa, yang menitikberatkan beritanya pada orientasi seksual tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
Baca juga: Sebuah Refleksi tentang Lucinta Luna dan Komunitas Trans.
Kembali ke ketiadaan KTP, hal ini juga menyulitkan saat transpuan jatuh sakit dan memerlukan layanan kesehatan. Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia, Yulianus Rotteblout atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mami Yuli, mengatakan banyak permasalahan yang dihadapi transpuan ketika sakit, termasuk terinfeksi HIV, sampai sulitnya menguburkan mereka saat mereka meninggal dunia. Menurutnya, transpuan sulit dikebumikan karena tidak memiliki KTP.
Sebenarnya negara telah memfasilitasi agar setiap warga negara dapat memiliki KTP dengan melakukan pengurusan pada instansi yang telah ditunjuk. Prosesnya pun kini semakin mudah, cukup mengikuti persyaratan yang telah ditentukan dan aturannya berlaku umum bagi seluruh penduduk Indonesia tanpa membedakan ras, agama atau golongan tertentu. Namun kenyataannya, transpuan masih saja kesulitan untuk mendapatkan KTP.
Salah satu solusi agar komunitas transpuan dapat memiliki KTP adalah dengan mempermudah proses pengurusan KTP dan menyediakan informasi yang jelas mengenai prosedur, alur, syarat dan mekanisme pengaduan di tempat layanan pembuatan KTP.
Kehadiran petugas yang kompeten serta pelayanan yang berimbang bagi semua masyarakat tentu menjadi nilai positif yang juga patut diutamakan demi terciptanya sebuah kenyamanan. Pelayanan ramah sudah selayaknya dijunjung tinggi sehingga komunitas transpuan tidak segan untuk memperoleh haknya sebagai warga negara Indonesia. Sudah seyogianya negara hadir dan mengambil peran aktif dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.
Artikel ini adalah hasil dari pelatihan menulis oleh Magdalene, bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).