Kita Butuh Indonesia Tanpa KBBI yang Seksis
Definisi kata ‘perempuan’ yang seksis di dalam KBBI akan memengaruhi cara masyarakat Indonesia memandang dan memaknai sosok perempuan.
Tuntutan sejumlah aktivis perempuan dan kesetaraan gender terkait definisi kata “perempuan” serta penyertaan sub-entri atau gabungan kata yang seksis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belum bisa berakhir sampai hari ini.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) mengatakan, definisi dan sub-entri dari berbagai kata yang dicantumkan di dalam KBBI merupakan kata atau gabungan kata yang paling sering dicari dan digunakan masyarakat, yang terekam di dalam data digital dan korpus kebahasaan.
Dalam artikel yang diterbitkan di lamannya baru-baru ini, Badan Bahasa menyebut KBBI sebagai living dictionary yang merekam berbagai peristiwa dan sejarah di koridor kebahasaan. Dalam hal kata perempuan ini, korpus (kumpulan teks tertulis) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang banyak mencari dan menggunakan gabungan kata perempuan lacur, perempuan simpanan, dan perempuan geladak.
“Adalah sebuah keniscayaan bila KBBI memuatnya sedemikian rupa. Konotasi dan stigma perempuan yang negatif dapat diubah bukan dengan cara mengubah penjelasan entri tersebut di KBBI, melainkan dengan mengubah konotasi dan stigma masyarakat terhadap perempuan di tataran yang lebih tinggi,” tulis lembaga tersebut dalam artikelnya.
Definisi Perempuan dalam KBBI Pengaruhi Cara Pandang Masyarakat
Di dalam KBBI, perempuan didefinisikan sebagai seseorang yang mempunyai puki (vagina), dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Definisi ini dinilai banyak pihak melanggengkan anggapan yang dangkal mengenai sosok perempuan karena fungsi dan posisinya hanya dinilai sebagai alat seks dan reproduksi.
Yang juga dipersoalkan adalah contoh penggunaan atau sub-entri dari kata perempuan ini, yaitu perempuan geladak, pelacur, jahat, perempuan nakal, jalang, jangak, simpanan, dan masih banyak lagi.
Selain merendahkan perempuan, contoh-contoh penggunaan kata ini juga seolah melegitimasi kebencian struktural pada perempuan, yang selalu disandingkan dengan kata-kata negatif.
Baca juga: 9 Kata untuk Perempuan, 1 Kata untuk Laki-Laki
Guru Besar Linguistik dari Universitas Indonesia, Setiawati Darmojuwono, mengatakan bahwa definisi perempuan di dalam KBBI sangat perlu diubah karena bahasa dan konsep-konsepnya memiliki hubungan erat dengan pikiran manusia serta cara pandangnya terhadap realitas-realitas yang ada di dalam kehidupan.
Menurut Setiawati, reproduksi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep yang ada di kepala kita, yang dibentuk dan dipengaruhi oleh bahasa atau kata apa yang mendefinisikan sebuah hal dan yang membedakannya dengan hal lain, ujarnya.
“Apabila masyarakat Indonesia terbiasa membaca dan memaknai definisi perempuan di dalam KBBI yang hanya dikaitkan dengan unsur biologis, badaniah, bahkan seksual, masyarakat akan memandang perempuan seperti apa yang ada di KBBI pula,” kata Setiawati kepada Magdalene (11/2).
“Kata di dalam kamus itu merupakan salah satu sumber bahasa yang disimpan manusia di dalam ingatan jangka panjangnya. Jangan sampai konsep perempuan seperti ini yang jadi pemikiran masyarakat Indonesia,” ia menambahkan.
Setiawati juga mengatakan, korpus linguistik seharusnya tidak dijadikan acuan tunggal dalam penyusunan ataupun pengembangan KBBI, melainkan perlu disertai dengan kajian linguistik kognitif yang mencakup soal bagaimana bahasa dapat memengaruhi pikiran dan perilaku manusia.
Menurutnya, bila penyusunan kamus hanya mengacu pada korpus linguistik, yang akan dimunculkan hanya hasil atau data frekuensi penggunaan dan kemunculan kata perempuan serta kata-kata yang muncul bersanding dengannya.
“Tapi, kita harus berhati-hati karena metode ini memiliki kelemahan, yaitu kata-kata yang muncul itu bergantung dengan sumber korpus yang dipilih,” ujarnya.
Ada hal yang bisa kita pertanyakan dari banyaknya kata-kata bermakna negatif yang mengikuti kata perempuan ini, yaitu apakah korpus itu sudah betul-betul mewakili semua jenis teks, kata Setiawati. Misalnya, antar teks berita media massa dengan teks lainnya bisa jadi berbeda.
“Mereka (tim penyusun KBBI) bisa berkata bahwa apa yang mereka cantumkan dalam KBBI itu adalah hasil data korpus. Tapi cara pandang mereka itu kan memengaruhi cara mereka mendefinisikan. Mereka sebenarnya bisa mendiskusikan terlebih dahulu, apakah ini yang benar-benar tepat untuk dimunculkan?” tambahnya.
Baca juga: Seksisme dalam Bahasa Indonesia dan Cara Mengatasinya
Definisi Negatif Perempuan dalam Kamus Perkuat Stereotip Gender yang Seksis
Indonesia tidak akan menjadi satu-satunya negara yang mengubah definisi dan contoh penggunaan kata perempuan di dalam kamus besarnya. Pada awal 2020 lalu, Penerbit Kamus Oxford, Oxford University Press (OUP), melakukan pembersihan kamusnya menyusul protes dari antropolog Kanada, Michael Oman-Reagan.
Setelah melakukan riset besar yang menganalisis ribuan kalimat dan kosakata, OUP menemukan banyak sekali contoh kalimat dalam kamus yang menguatkan stereotip gender yang seksis terhadap perempuan. Misalnya bagaimana rambut perempuan selalu digambarkan indah mengembang, dan sifat-sifat buruk tertentu selalu dikaitkan dengan perempuan.
OUP pun kemudian melakukan perubahan besar-besaran. Misalnya, kata housework atau pekerjaan rumah tangga yang dicontohkan dalam kalimat “she still does all the housework”, diganti menjadi “I was busy doing the housework when the bell rang”. Perubahan contoh kalimat juga dilakukan untuk kata high-maintenance (dalam sifat seseorang) yang berarti seseorang yang menuntut banyak perhatian. Contoh sebelumnya adalah, “if Martin could keep a high-maintenance girl like Tania happy, he must be doing something right”. Kalimat itu diganti menjadi “I freely admit to being high-maintenance”.
Ika Vantiani, seniman dan kurator yang aktif menyuarakan desakan untuk mengubah definisi perempuan dalam KBBI lewat karyanya, mengatakan penggambaran perempuan dalam kamus tersebut tidak sesuai dengan realitas perempuan di dalam keseharian.
“Satu hal yang saya pertanyakan adalah seperti apa bentuk korpus yang mereka (Badan Bahasa) dapatkan dari kata-kata gabungan perempuan yang tidak familier seperti geladak, lecah, jangak, dan jalang? Meskipun pernah digunakan dalam bahasa Indonesia selama 30 tahun terakhir, tapi frekuensi penggunaannya pasti berubah, bukan?” kata Ika kepada Magdalene.
Baca juga: Ivan Lanin Ahli Bahasa Tak Disengaja
Ia mengatakan, KBBI sebenarnya memiliki kekuatan dan potensi besar untuk menjadi sumber referensi yang objektif dan tidak mengandung bias gender. Namun, karena penyusun KBBI menolak untuk menjadi pemberi referensi yang tidak bias gender, hal itu akan menghambat upaya-upaya penghapusan stigma dan konotasi negatif terhadap perempuan di Indonesia, tambahnya.
“Sejak kecil sampai dewasa, kita terbiasa menggunakan kamus untuk melihat bagaimana sebuah kata diartikan di dalam bahasa ibu kita. Apakah yang diinginkan pemerintah Indonesia itu adalah agar sosok perempuan dianggap dan dipahami seperti ini (makhluk reproduksi dan makhluk yang tidak utuh)? Termasuk oleh siswa-siswa sekolah dasar dan orang asing yang belajar Bahasa Indonesia?” kata Ika.
Hal itu juga dibenarkan oleh Setiawati, yang mengatakan bahwa proses pembentukan pikiran dan makna di dalam otak selalu terjadi sejak manusia masih bayi sampai dewasa. Waktu kecil, manusia mempelajari konsep dasar sederhana dari tiap-tiap benda dan hal. Kemudian, mereka mempelajari diferensiasi definisi, bahwa satu hal itu berbeda dengan hal lainnya, kata Setiawati.
Maka, ketika sejak kecil anak disuguhkan dengan definisi sedemikian rupa mengenai sosok perempuan di dalam kamus, cara pandang anak itu akan terbentuk seperti itu dan mempengaruhi ingatan jangka panjang mereka, tambahnya.
“Padahal, kata perempuan itu secara etimologis memiliki asal kata yang sangat bagus, yaitu ‘empu’ yang berarti orang yang sangat mahir, dewasa, mumpuni, dan tempat kita belajar atau berguru,” ujarnya.
“Tapi tidak semua orang mengenal makna ini. Apalagi penggunaan kata perempuan sempat tergusur pada masa Orde Baru, digantikan dengan kata wanita yang diasosiasikan dengan urusan rumah tangga.”