Knalpot Along-along vs Notif Ojol: Ketahanan Pangan di Last Mile ke Panci
Di kota, sayur datang lewat notifikasi. Di desa kami, sayur datang bersama knalpot along-along. Karena itu ketika keduanya terlambat, isi panci kami sama: Nasi tanpa sayur hijau. Ini bukan soal selera atau gaya hidup, tetapi sinyal dapur yang sedang kehilangan otonomi.
Dalam Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI), momen ini disebut last mile ke panci. Maksudnya, momen ketika kami menyerah dan memilih “mi instan saja”. Entah karena hujan, ongkir mahal, atau tukang sayur tak lewat. Pada titik itu, dapur berhenti menjadi ruang produksi, bergeser menjadi ruang konsumsi pasif.
FYI, “along-along” adalah sebutan di kampung kami, Sumatera Utara, untuk tukang sayur keliling bermotor yang membawa keranjang kayu di belakang. Banyak keluarga bergantung pada sayur harian dari knalpot itu. Jika along-along tidak datang, dapur sering berhenti pada nasi dan lauk simpanan. Ketika desa pun mulai tergantung pada sistem pasok yang rapuh, lalu apa artinya?
Di kota, ketergantungan muncul dalam bentuk lain, yakni notifikasi ojek daring. Industri makanan menjual kemudahan sebagai gaya hidup, dari bumbu sachet, lauk beku, sayur siap potong. Semua terlihat rapi, modern, dan higienis, tapi pelan-pelan menormalisasi keputusan membeli waktu alih-alih membangun ritme dapur. Dapur kehilangan kuasa karena ia menunggu, bukan mencipta. Seperti biasa, yang menunggu paling lama adalah perempuan.
Mengajak warga kembali menanam bukan perkara mudah. Bahkan di desa, ajakan itu sering disambut skeptisisme. Terma “repot”, “dimakan ayam”, atau “di warung cuma dua ribu” hadir sebagai dalih. Di balik semua alasan itu, tersimpan imajinasi baru tentang dapur sebagai ruang yang lebih sering dipoles untuk foto daripada digunakan untuk bertahan. Padahal yang dibutuhkan bukan dapur Instagram, tetapi dapur yang hidup ketika sistem gagal hadir.
Baca Juga: Makan Bergizi Gratis, Janji Manis Realitas Amis
Ketahanan Dapur Mikro: Rumah Nusa
Dari keresahan itu, komunitas HAPSARI membangun Rumah Nutrisi Keluarga (Rumah Nusa). Ia bukan kebun estetis, tetapi sistem kecil yang dapat tumbuh di mana saja. Pilar dasarnya sederhana: menanam dengan pengetahuan. Ada tiga zona—sumber nutrisi dan obat, pengganti beras dan tabungan, serta dapur 7-hari dengan menu realistis. Lumbung kecil menampung bahan tahan lama untuk penolong saat pasokan terhenti. Semua dijalankan secara kolektif, agar kerja menanam menjadi kebanggaan bersama, bukan beban individu.
Di beberapa dusun, hasilnya mulai terasa. Bu Riani, misalnya, sudah setahun berhenti menunggu along-along. Di terasnya ada tiga pot besar: kangkung, bayam, dan kemangi. Ia menempelkan jadwal tanam bergilir di pintu kulkas—Senin kangkung, Rabu bayam, Sabtu kemangi. Sederhana, tapi cukup memutus hari-hari tanpa sayur. “Uang belanja mingguan turun hampir setengah,” katanya, “dan cucu-cucu tak lagi rewel karena cuma nasi dan telur.”
Rumah Nusa tumbuh menjadi lebih dari sekadar kebun pangan mikro. Ia menjadi ruang belajar gizi, ruang negosiasi peran domestik, dan tempat pemulihan bagi perempuan korban kekerasan. Di dapur yang aktif itu, kapitalisme tidak mudah masuk karena yang dibangun bukan pasar, melainkan sistem yang bekerja dengan ritme musim, relasi sosial, dan kebersamaan.
Baca Juga: Bahaya Makanan Olahan Pabrik: Gizi Rendah dan Tingkatkan Risiko Penyakit
Gen Z, Kos-kosan, dan Dapur Tahan Sistem
Cerita serupa muncul di kota, bentuknya berbeda. Seorang keponakan saya, mahasiswi di Medan, mengganti notifikasi ojol dengan “tiga baki di jendela”: Microgreens, daun bawang, bayam, kemangi. Bersama teman sekamarnya, mereka membuat jadwal sederhana—Minggu sore menyiapkan bumbu dasar, Selasa dan Kamis giliran memasak, Sabtu membuat sup rice-cooker. Mereka juga barter kecil dengan kamar sebelah: cabai rawit tukar daun bawang.
Dampaknya nyata: Biaya makan lebih terkendali, tubuh lebih segar, pikiran lebih jernih. “Ternyata hijau di panci bikin kepala lebih terang,” tulisnya sambil bercanda.
Generasi muda punya posisi strategis dalam gerakan ini. Mereka terbiasa mencari meal hacks, peduli energi dan kesehatan mental, serta hidup dalam komunitas cair. Rumah Nusa versi kota bukan tentang menjadi chef, tetapi tentang tidak rapuh di last mile. Tiga pot, tujuh menu, satu grup barter cukup untuk memulai.
Setiap pot yang ditanam, setiap bumbu yang diracik bersama, setiap barter antar-tetangga adalah perlawanan kecil pada sistem yang ingin dapur tetap sunyi. Kapitalisme menginginkan dapur hanya membeli, memanaskan, dan membuang. Melalui ritme menanam dan berbagi, dapur kembali menjadi jantung ketahanan. Sebuah ritme yang menolak tunduk pada promo ojol atau jam buka warung, tetapi mengikuti musim dan kebersamaan.
Pada akhirnya buat saya, last mile ke panci adalah titik genting dalam ketahanan pangan rumah tangga. Titik ketika sistem pasok gagal hadir dan dapur harus bertahan sendiri. Rasa aman di meja makan bergantung pada knalpot atau notifikasi—saat itulah keadilan pangan dipertaruhkan.
Kita bisa mengubahnya dengan pot di jendela, lumbung kecil di teras, dan komunitas yang saling tukar panen. Ketahanan pangan bukan soal lahan luas, tetapi kemauan membangun sistem kecil yang otonom dan saling menopang. Tanpa itu, rasa aman di meja makan pelan-pelan lenyap, bersama hijau yang tak lagi hadir di panci.
















