Menjadi seorang queer itu sepi. Setidaknya itu yang saya rasakan saat masih remaja. Saya menempuh pendidikan menengah pertama (SMP) di sekolah agama di kota yang cukup konservatif. Melela tentunya bukan pilihan untuk seorang queer. Saya harus ‘menyesuaikan’ diri dengan mereka agar tidak dikucilkan dan dirundung. Tak jarang pula saya menerima tatapan jijik dari mereka ketika saya memposisikan diri sebagai ally.
Namun, situasi berubah saat saya memutuskan untuk menempuh pendidikan perguruan tinggi di kota yang berjarak sekitar 1.500 km dari rumah. Di kampus, saya bertemu dengan kawan-kawan queer yang menjadi tempat untuk berbagi cerita bahkan bertukar pikiran.
Sampai saat ini saya masih dikelilingi teman-teman queer dan ally. Namun, kadang saya masih berpikir bagaimana rasanya memiliki seorang teman yang bisa memahami dan menerima saya sebagai seorang queer saat saya masih remaja.
Baca juga: 4 ‘Manga Shōnen’ yang Ditulis Perempuan Ini Sayang Dilewatkan
Yamada Miiko Seorang “Ally”
Rasa penasaran itu cukup terjawab ketika membaca seri ke-35 komik kesukaan saya sejak SD, Hai, Miiko! versi Bahasa Jepang. Cerita masih berporos pada Yamada Miiko yang sudah SMP dan bertemu teman sekelas bernama Natsuki.
Keakraban Natsuki dengan Tappei dan Kenta dibanding kawan sekelasnya yang perempuan, menimbulkan rasa tidak suka dari Mari-chan dan Yukina. Apalagi Natsuki sudah dua pekan tidak ikut pelajaran berenang dengan alasan menstruasi.
Si keras kepala Mari-chan lalu mengonfrontasi Natsuki yang memilih kabur karena tidak ingin berdebat. Merasa khawatir, Miiko lalu menghampiri Natsuki yang mengatakan dengan kesal kalau dia bukan perempuan. Ia melempar dasi pita seragam sekolahnya, lalu pulang ke rumah meski jam sekolah belum selesai.
Di sini Miiko menunjukkan dirinya sebagai ally yang ingin membantu dan membuat temannya nyaman. Di kamarnya, Natsuki bercerita kepada Miiko, ia masih mengingat rasa frustasinya ketika disuruh memakai seragam perempuan saat TK dan rasa bahagia menikmati kebebasan untuk berpakaian sesuka hatinya saat masih SD.
Namun, situasi menjadi berbeda saat dia masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada kewajiban untuk memakai seragam tertentu sekaligus ia tidak suka dengan perubahan yang terjadi pada tubuhnya akibat pubertas. Natsuki lalu mencari tahu apa yang terjadi dengannya di internet dan menemukan istilah transgender dan dia seorang transpria.
Natsuki beranggapan reaksi pertama yang akan ditunjukkan Miiko adalah ekspresi jijik. Namun, Miiko justru meruntuhkan ekspektasi Natsuki karena mengajaknya untuk membeli pakaian yang ia inginkan agar Natsuki bisa menunjukkan diri yang sebenarnya.
Respons Miiko memberikan saya cuplikan rasanya memiliki kawan yang bisa menerima identitas tanpa memendam prasangka buruk. Walaupun kecil, dukungan seperti itu sangat berarti.
Miiko sendiri sebenarnya bukan satu-satunya sosok yang menggerakkan Natsuki untuk menjadi lebih berani. Ada Asada, guru transpuan di preschool adiknya Miiko dan Natsuki. Asada bercerita, masa kecil orang-orang sepertinya tentu tidak mudah, bahkan ia menjadi korban perundungan semasa sekolah. Tetapi, banyak orang queer yang hidup bahagia karena bisa mencapai cita-citanya. Asada sendiri terus bertahan karena ia ingin mengejar impiannya sebagai seorang guru.
Hal itu menjadi api kecil yang menginspirasi Natsuki untuk mendorong sekolahnya membebaskan siswa transgender, seperti dirinya, memakai pakaian yang membuat mereka nyaman.
Kisahnya Natsuki penuh kehangatan karena ada sosok seperti Asada dan Miiko yang menciptakan ruang aman untuk dirinya. Saya bisa bilang Natsuki memiliki apa yang saya inginkan ketika masih SMP, sosok dari komunitas LGBT yang inspiratif dan ally yang memilih untuk mendengarkan, bukan memberi penilaian buruk.
Meski demikian, saya tidak merasakan ada penyesalan. Bagi saya, cerita ini menjadi semacam surat cinta dari penulisnya Hai, Miiko! Ono Eriko untuk pembacanya yang queer, baik yang masih muda atau mereka yang tumbuh dewasa dengan ceritanya.
Baca juga: Novel ‘Breasts and Eggs’ Gugat Standar Kecantikan, Stigma Inseminasi Buatan
Tidak Diterjemahkan Ke Bahasa Indonesia
Lewat Miiko, Eriko-sensei–panggilan untuk sang penulis–menunjukkan cara kecil mendukung kawan LGBT. Tak hanya itu, di komik edisi 35 ini Eriko-sensei juga menyajikan satu halaman khusus soal apa itu LGBT dengan bahasa yang sederhana. Ia bahkan memberikan beberapa rekomendasi film dan buku soal LGBT untuk memperluas pemahaman pembacanya.
Bagi saya, cerita ini menjadi semacam surat cinta dari penulisnya Hai, Miiko! Ono Eriko untuk pembacanya yang queer, baik yang masih muda atau mereka yang tumbuh dewasa dengan ceritanya.
Sayangnya, cerita Natsuki tidak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dalam komik seri ke-35 ini. Enggak perlu heran, alasannya tidak jauh dari masyarakat Indonesia yang homofobik dan transfobik. Kalau penerbit menerjemahkan cerita Natsuki para transfobik dan homofobik bakal mengecap komik Hai, Miiko! sebagai propaganda LGBT untuk “meracuni” anak-anak.
Contohnya tak usah jauh-jauh, Maret lalu, media Kumparan sempat membuat dua artikel liputan khusus masing-masing soal “tobatnya” kawan LGBT menjadi heteroseksual dan orang tua yang takut akan merajalelanya “propaganda” LGBT di televisi.
Selain itu, kilas balik 2020, Youtuber Ferdian Paleka memberikan kotak “sembako” berisi batu bata dan sampah kepada transpuan di Bandung. Ferdian sempat ditahan oleh polisi, tetapi dibebaskan ketika korban mencabut laporannya.
Sampai saat ini transpuan masih rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi bahkan masih sulit untuk mengakses layanan kesehatan maupun pendidikan. Menurut hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) kawan transgender, terutama transpuan, menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan terbanyak di komunitas LGBT sepanjang 2017. Penelitian itu menemukan 973 korban, 715 di antaranya ialah kawan transgender.
Situasi tidak jauh berbeda di Jepang. Sekretaris Eksekutif Perdana Menteri Jepang Masayoshi Arai sempat mengatakan, dia tidak ingin tinggal bersebelahan dengan pasangan LGBT dan benci untuk melihat mereka. Dilansir dari Japan Times, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memecat Arai karena pernyataan itu.
Juni lalu Parlemen Jepang mengesahkan regulasi diskriminasi anti-LGBT sebagai cara untuk menangani aksi diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Namun, aktivis Jepang menilai regulasi itu belum komprehensif untuk melindungi komunitas LGBTQ sebab ada beberapa frasa yang mampu membuat komunitas itu dinilai “berbahaya”.
Sementara di ranah sekolah, mengutip dari Human Rights Watch, siswa yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT mengalami diskriminasi, perundungan, dan kekerasan. Parahnya sekolah belum bisa menangani kasus kekerasan dengan baik sebab ketika siswa melapor pada guru, responsnya akan bergantung pada persepsi guru soal LGBT. Ada kekosongan regulasi, pemahaman komprehensif dari guru, dan mekanisme untuk melindungi siswa LGBT dari perundungan.
Baca juga: Kesepian dan Isolasi: Musuh dan Tema Utama Karya Sastra Jepang
Meski demikian, Ministry of Education, Culture, Sports, Science, and Technology (MEXT) atau Kementerian Pendidikannya Jepang, telah merilis sebuah panduan untuk guru sekolah memahami isu LGBTQ. Panduan itu memaparkan soal terminologi, linimasa regulasi yang berkaitan dengan ragam identitas gender, dan sesi tanya-jawab cara mendukung siswa LGBTQ–seperti menciptakan support system di dalam dan luar sekolah.
Ketika mengaitkan upaya tersebut dengan komik Hai, Miiko!, Eriko-sensei ikut berkontribusi dalam edukasi tentang komunitas LGBTQ dengan cerita hangat menggunakan bahasa sederhana. Eriko-sensei menunjukkan kepada pembacanya cara menjadi teman yang baik untuk komunitas minoritas gender dan orientasi seksual lewat Miiko yang membela Asada dan Natsuki ketika orang lain menunjukkan mikro agresi karena penampilan mereka.
Bisa dibilang kisah persahabatan hangat antara Natsuki dan Miiko yang menunjukkan acceptance dan empati adalah nyawa Hai, Miiko! Namun, ketika cerita Natsuki dengan sengaja ditiadakan, komik Hai, Miiko! kehilangan nyawanya.