Issues

Novel ‘Breasts and Eggs’ Gugat Standar Kecantikan, Stigma Inseminasi Buatan

Novelis Mieko Kawakami menggugat standar kecantikan dan stigma terhadap inseminasi buatan dalam masyarakat Jepang.

Avatar
  • January 7, 2021
  • 5 min read
  • 2624 Views
Novel ‘Breasts and Eggs’ Gugat Standar Kecantikan, Stigma Inseminasi Buatan

Dunia kesusastraan Jepang kontemporer belakangan ini semakin diramaikan oleh penulis perempuan yang mengangkat isu gender dan seksualitas. Hal ini merupakan kemajuan dalam pembentukan arah budaya kontemporernya mengingat budaya negara itu masih sangat patriarkal.

Fakta tersebut, selain terlihat dari data Gender Gap Index (GGI) pada 2016 yang menempatkan Jepang pada peringkat 111 dari 144 negara, juga terlihat dari kecenderungan pemikiran religius maupun filosofis masyarakatnya. Salah satu contohnya dapat dilihat pada konsep kekeluargaan Ie dari ajaran neo-konfusianisme, yang menempatkan istri maupun anak perempuan pada kasta paling bawah suatu keluarga sebagai instrumen penyokong suami dan anak laki-lakinya.

 

 

Salah satu karya kontemporer Jepang dari penulis perempuan yang mengangkat isu perempuan adalah Breast and Eggs karya Mieko Kawakami

Sebelum fokus pada sastra dan penulisan, Kawakami, seperti dilansir The Japan Times pada Maret 2008, bekerja sebagai penjaga toko buku, pemusik, dan aktor. Ia aktif menulis blog yang lambat laun menjadi populer. Dari sanalah ia memutuskan untuk berhenti dari dunia hiburan dan fokus menjelajah dunia sastra. Selain novel, ia juga membuat puisi, cerpen, esai, dan artikel, salah satunya adalah hasil wawancaranya dengan penulis terkenal Haruki Murakami terkait pandangannya tentang perempuan dan seksualitas.

ulasan novel breast and eggs

Menggugat Standar Kecantikan

Terbit pada 2008, Breast and Eggs memenangkan penghargaan sastra bergengsi di Jepang, Akutagawa Prize. Kisahnya diawali dengan tokoh protagonis, Natsuko, yang dikunjungi kakaknya, Makiko, perempuan berusia 40an yang sangat mendambakan operasi plastik untuk payudaranya. Anak perempuan Makiko, Midoriko, tidak berbicara dengan siapa pun selama bertahun-tahun meskipun ia tidak bisu.

Natsuko sendiri diceritakan memiliki keinginan besar untuk memiliki anak, padahal seorang aseksual yang membenci hubungan badan, meskipun itu dilakukan dengan orang yang dicintai. Ia kemudian bertekad untuk mencoba inseminasi buatan tanpa seorang partner.

Kisah Makiko menggugat standar kecantikan yang membuat seorang perempuan merasa terasing dengan tubuhnya, dan bahkan membencinya. Makiko semakin dibuat jijik dengan tubuhnya setelah ia melahirkan anak pertamanya. Ia menjadi terobsesi secara tidak sehat pada payudara perempuan muda dan puting berwarna merah muda, seperti yang sering ditampilkan dalam iklan. Alhasil ia kerap mencoba hal-hal ekstrem seperti bleaching untuk mengubah warna putingnya, dan bersungguh-sungguh menginginkan operasi plastik untuk memperbesar serta memperkencang payudaranya.

Baca juga: ‘Kusama’: Novel Grafis Wajib Baca tentang Perempuan Seniman

Yang menarik, posisi Natsuko sebagai protagonis hadir untuk menceritakan obsesi kakaknya itu dalam renungan yang tidak menghakimi, tapi justru lebih seperti pendengar bagi kegelisahan Makiko. Penulis secara tidak langsung mengarahkan pembaca untuk melihat isu tersebut tidak dengan suatu sikap moral tertentu. Pembaca justru diajak memahami kecemasan yang membuat tokoh Makiko sampai pada situasi tersebut terkait alasan, pertimbangan kesehatan, pertimbangan finansial, dan sebagainya.

Yang menggugat pemberhalaan atas tubuh yang ideal justru anak Makiko sendiri, Midorko, melalui catatan hariannya. Bentuk simbolis dari kritik Midoriko pada ibunya adalah dengan tidak berbicara secara lisan dan membatasi interaksi-interaksi afektif antara anak dan ibu. Ia juga menginterpretasikan bahwa kebencian ibunya atas tubuhnya pasca-persalinan berarti juga kebencian ibunya atas eksistensi dirinya sebagai anak.

Melalui kehadiran tokoh Midoriko dan konfliknya, baik dengan ibunya maupun realitas, isu yang diangkat oleh sang novelis menjadi lebih hidup dengan dinamika yang menegangkan dan rumit. Tiap tokoh berproses secara mandiri adanya ketergantungan terhadap tokoh lainnya. Ini hal yang cukup penting karena pembaca seperti diajak untuk tidak melihat pendiktean atas masalah orang lain sebagai solusi dalam membantu seorang perempuan terlepas dari masalahnya.

penulis novel breast and eggs mieko kawakami
Penulis novel ‘Breast and Eggs’ Mieko Kawakami.

Stigma terhadap Ibu Tunggal Tanpa Pernikahan

Natsuko sendiri hadir sebagai pihak yang menggugat stigma masyarakat mengenai ibu tunggal yang hamil tanpa pasangan, alias inseminasi buatan. Umumnya, inseminasi buatan hanya dapat diterima oleh masyarakat apabila dilakukan oleh pasangan heteroseksual yang sudah menikah secara legal. Di luar dari lingkaran itu, prosesnya masih dianggap kontroversial dan legalitasnya sulit dicapai. Polemik inilah yang coba dieksplorasi oleh Kawakami lewat perjuangan Natsuko dalam mencari tahu hingga memutuskan untuk benar-benar memiliki anak seorang diri.

Plot ini merupakan perpanjangan dari gerakan yang memperjuangkan otonomi tubuh perempuan. Secara historis, tubuh perempuan telah banyak dipolitisasi dan diopresi untuk kepentingan masyarakat yang patriarkal. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan cara berpakaian, konsep kecantikan, anggapan perempuan sebagai alat penghasil keturunan, serta pemosisian sebagai objek seksual. Dan pada cerita ini, masalah yang diangkat cukup menantang karena berusaha membuka batasan-batasan etis di masyarakat tentang reproduksi.

Baca juga: ‘Kusama’: Novel Grafis Wajib Baca tentang Perempuan Seniman

Novel ini menampilkan renungan-renungan yang sifatnya mempertanyakan alasan masyarakat untuk ikut campur dalam keputusan seorang perempuan terhadap rahimnya sendiri. Selain itu, ia ingin mematahkan mitos pernikahan yang ideal dan bahagia dengan memunculkan tokoh-tokoh perempuan yang telah bercerai dan membesarkan anaknya seorang diri, serta tokoh-tokoh perempuan yang membenci pernikahannya.

Jika disimpulkan, kehamilan tanpa partner dengan kehamilan dengan pernikahan seharusnya tidak dilihat secara superior-inferior, dengan memberikan stigma negatif pada pilihan yang tidak umum hanya karena ia tidak umum. Karena pada praktiknya, pernikahan pun bukan pilihan yang paling ideal apalagi mapan tanpa masalah.

Secara keseluruhan, novel ini terbilang padat dan cukup berat karena penuh dengan refleksi kontemplatif terhadap banyak hal, mulai dari isu sosial, eksistensial, hingga kehidupan yang disorot dari perspektif pesimisme. Tapi pengalaman yang didapat dari pembacaan novel ini mampu memberikan perspektif baru dan memperkaya paradigma berpikir kita dalam membaca kehidupan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Deanita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *