December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

The White Lotus Season 3: Monolog Laurie dan Kompleksitas Pertemanan Perempuan

Pertemanan sehat? Adakah dari kita yang bisa merumuskannya dengan tepat? Dari Kate, Jaclyn, dan Laurie kita bisa belajar.

  • April 17, 2025
  • 6 min read
  • 1196 Views
The White Lotus Season 3: Monolog Laurie dan Kompleksitas Pertemanan Perempuan

Dari awal kemunculannya, The White Lotus dikenal sebagai serial yang membongkar kehidupan kelas atas dengan cara yang tajam dan jenaka. Di balik kolam infinity pool dan matahari tropis, kreator Mike White mengajak penonton menyelami kecanggungan sosial, kebohongan kecil, dan kepalsuan besar yang mengikat orang-orang kaya dalam jaringan relasi yang rumit.

Dalam musim ketiga, salah satu relasi rumit itu hadir lewat trio perempuan kulit putih Amerika: Kate (Leslie Bibb), Jaclyn (Michelle Monaghan), dan Laurie (Carrie Coon)—yang akhirnya menjadi salah satu studi karakter paling menarik sepanjang serial ini.

Pertemanan mereka terlihat akrab di permukaan. Berteman sejak usia sembilan, di awal kita akan melihat tawa, pujian, dan keakraban lewar saling sulang anggur. Namun, seiring delapan episode berjalan, penonton menyadari bahwa hubungan itu dibangun di atas ketimpangan, kompetisi, dan trauma yang tidak selesai.

Ini bukan persahabatan yang menyenangkan—sesuatu yang pasti kita temui dalam keseharian—dan karenanya jadi sangat menarik untuk ditelisik lebih dalam. 

Baca juga: Ketika Kekerasan Jadi Tiket Naik Jabatan: Membaca Gaitok dan Mook dalam ‘The White Lotus Season 3’

Kalau Jalan-jalan, Jangan Pergi Bertiga Realness

Dari awal, Jaclyn ditunjukkan sebagai sosok yang membayar seluruh akomodasi mereka. Ia adalah aktris Hollywood dengan suami lebih muda dan pesona selebritas, sementara Laurie adalah pengacara di New York yang baru bercerai, dan Kate tinggal di Austin bersama suaminya yang konservatif. Ketiganya berasal dari kelas sosial yang sama, tapi tindakan Jaclyn itu, kendati ditampilkan seolah wajar, menyiratkan sebuah struktur kekuasaan dalam persahabatan mereka; sebuah hierarki yang tebal tapi kasatmata.

Erving Goffman dalam teorinya tentang face-work menyebutkan bagaimana individu terus-menerus mengelola citra diri dalam interaksi sosial. Dalam konteks ini, Jaclyn, Kate, dan Laurie terlihat berusaha tampil “baik” pada satu sama lain, tapi justru menampilkan wajah-wajah yang terlalu dikontrol, nyaris seperti topeng. 

Ketimpangan tersebut muncul bukan dari hinaan eksplisit, melainkan dari siapa yang diberi pujian, siapa yang dikucilkan secara emosional, dan siapa yang dibicarakan saat tidak hadir.

Dalam episode awal, ada satu momen yang banyak tersebar di media sosial: Jaclyn dan Kate saling memuji tubuh satu sama lain, tentang betapa langsingnya mereka, betapa awet mudanya kulit mereka. Sementara Laurie berdiri di dekat mereka, menunggu (dan tidak mendapatkan) validasi yang sama. 

Adegan itu bukan sekadar persoalan tubuh, tetapi tentang eksklusi yang subtil dan menyakitkan. Mereka bertiga “teman baik”, tapi dua di antaranya membentuk koalisi kecil yang membuat orang ketiga merasa asing di lingkaran yang seharusnya aman.

Psikolog Nicki Crick (1995) menyebut fenomena ini sebagai relational aggression, yakni bentuk kekerasan psikologis melalui pengucilan sosial, gosip, dan permainan aliansi. Dalam kasus ini, eksklusivitas Kate dan Jaclyn dibangun bukan atas dasar niat jahat yang jelas, tetapi melalui gestur sehari-hari yang sangat nyata: Siapa yang diajak bicara lebih dulu, siapa yang ditinggalkan di ujung meja, siapa yang, alih-alih secara eksplisit dihina fisiknya, justru dibilang “wajahmu terlihat letih”.

Baca juga: Piper ‘White Lotus Season 3’ dan Sindiran Wisata Spiritual Ala Kulit Putih

Konservatisme, Agama, dan Ketegangan yang Tak Terucap

Salah satu adegan terbaik dan memorable dalam musim ini terjadi dalam satu sesi makan malam, ketika Kate, dengan sopan dan tenang, mengungkapkan bahwa ia adalah pendukung Trump. 

Adegan ini sangat kuat tidak hanya karena dialog dan bagaimana ia dibangun, tetapi juga berkat akting Leslie Bibb yang membawakan karakter Kate sebagai prototipe perempuan Southern America (Amerika bagian selatan yang terkenal “elegan”, tapi konservatif). 

Di momen itu, kita melihat ekspresi ketidakpercayaan Laurie dan Jaclyn. Tidak ada konfrontasi terbuka, tapi ketegangan terasa pekat.

Perbedaan nilai ini menjadi pengingat bahwa persahabatan tidak selalu dibangun atas kesamaan ideologi. Teori tentang heterogeneous friendship (Allan, 2008) menyebutkan bahwa persahabatan bisa bertahan meskipun ada ketidaksesuaian nilai, selama ada kepentingan atau ikatan emosional tertentu yang masih dipertahankan.

Meski ikatan emosional itu nyata ada, kehadirannya tidak menjamin pertemanan mereka terelakan dari ketegangan yang tak terucap.

Jaclyn sejak awal terlihat mendorong Laurie untuk “membuka diri” dan bersenang-senang selama liburan. Terutama dengan Valentin, pelatih kebugaran asal Rusia yang menemani mereka. 

Namun, di tengah serial, Jaclyn justru yang akhirnya tidur dengan Valentin. Laurie merasa dikhianati, bukan hanya karena pria itu, tetapi karena ia merasa dikalahkan dalam permainan yang ia tidak sadari sedang berlangsung.

Dalam masyarakat yang menilai perempuan dari daya tarik fisik dan usia, ini adalah bentuk ketegangan yang sering tidak diakui. Laurie menganggap tindakan Jaclyn “desperate”, dan di balik kata itu ada kemarahan, kesedihan, sekaligus rasa takut: Takut menjadi tidak relevan. 

Simone de Beauvoir sudah lama menulis tentang bagaimana perempuan sering menjadi pengamat bagi dirinya sendiri, menilai dirinya dari pandangan orang lain. Dalam konteks ini, sesama perempuan justru menjadi reflektor yang paling tajam. Peristiwa ini dibangun seolah untuk menggiring penonton bahwa akan ada ledakan besar yang memecahkan pertemanan ketiganya.

Baca juga: Alasan Plot Whodunit ‘White Lotus 2’ Beda dan Gay Twitter Terobsesi Series Ini

Monolog Laurie: Tidak Menyelesaikan, tapi Menjernihkan

Di episode terakhir, nyatanya tidak ada ledakan emosi. Tidak ada konfrontasi besar seperti yang biasa disajikan dalam cerita persahabatan yang rusak. 

Sebaliknya, mereka duduk di meja makan, dan Laurie melakukan monolog jujur yang menyentuh—yang juga viral di media sosial.

Ia tidak menyalahkan siapa-siapa. Liburan ini menyadarkannya, bahwa agama, ketenaran, cinta, dan uang bukanlah hal-hal yang memberikan makna pada hidupnya. Baginya, yang memberi makna adalah waktu. 

Dalam monolog yang sudah dikutip berkali-kali di X, ia berujar: “I’m glad you have a beautiful face. And I’m glad that you have a beautiful life. And I’m just happy to be at the table. I love you.” Dari semua karakter di musim ini, Laurie berakhir menjadi salah satu yang paling mengalami perubahan berarti hingga episode terakhir.

Namun, bahkan momen itu tidak menyelesaikan apa-apa. Mereka berpelukan sembari berderai air mata. Ketidakpastian dan ambiguitas itulah yang membuat momen tersebut terasa sangat nyata.

Menonton dinamika Laurie, Kate, dan Jaclyn memang menghibur, tapi tidak terasa “manis”. Banyak penonton yang merasa mereka terlalu suka menyindir, terlalu suka membicarakan satu sama lain di belakang, dan terlalu basa-basi. Tapi mungkin itulah kenyataannya. Persahabatan perempuan dewasa sering kali dipenuhi oleh kebutuhan untuk tampil sempurna, untuk mempertahankan versi tertentu dari diri sendiri, dan untuk menavigasi luka lama yang belum sembuh.

Mike White tidak mencoba memoles dinamika ini agar terlihat harmonis. Ia justru memperlihatkan bagaimana pertemanan bisa menjadi tempat orang-orang menyakiti satu sama lain—bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka belum sepenuhnya jujur terhadap diri mereka sendiri.

Dan itu membuat cerita Kate, Jaclyn, dan Laurie bukan hanya menarik, tapi juga sangat relevan.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply