Revisi UU TNI Penuh Mudarat, Cuma Ada Satu Kata: Lawan!
Selain menggerus profesionalisme militer, RUU TNI juga mengorbankan rakyat.

Usaha kejar tayang revisi Undang-Undang TNI yang dibahas diam-diam oleh DPR, panen kecaman publik. Perwakilan massa Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) lantas menginterupsi rapat pembahasan yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta Selatan, (16/3). Sehari berselang, (17/3), pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) hingga Perempuan Mahardika disuarakan dalam konferensi pers di Jakarta.
Dalam kesempatan itu, hadir sejumlah tokoh publik, seperti Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I. Kepada jurnalis, mereka bergiliran menyampaikan poin-poin kecaman lantaran revisi UU TNI dinilai sudah mencederai amanat reformasi.
Baca juga: Apa yang Sebenarnya Kita Takutkan dari Revisi UU TNI?
Apa yang Salah dengan Revisi UU TNI?
Salah satu alasan terbesar yang jadi dasar penolakan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap revisi UU TNI adalah potensi kembalinya militerisme (Dwifungsi TNI) di Indonesia.
Sulistyowati Irianto menyebutkan, agenda revisi UU TNI tidak mendesak dan relevan dengan cita-cita transformasi TNI ke ranah profesional. Sebaliknya, revisi ini justru berpotensi untuk melemahkan profesionalisme militer.
“Sudah semestinya TNI dilatih dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi lain, seperti duduk di jabatan-jabatan sipil,” kata Sulis.
Selain itu, pengembalian Dwifungsi TNI, seperti yang tercantum dalam RUU TNI, juga berisiko memunculkan masalah lain, seperti eksklusi warga dari jabatan sipil. Konsekuensinya, ada penguatan dominasi militer di ranah sipil sampai kebijakan dengan loyalitas ganda.
Perluasan jabatan sipil yang tercantum dalam revisi UU TNI juga dinilai dilakukan hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan Prajurit TNI dalam program dan urusan domestik negara. Program dan urusan ini antara lain, Makan Bergizi Gratis (MBG), penjagaan kebun sawit, sampai pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bilang, penyusunan RUU TNI terlihat seperti aturan yang dibuat-buat untuk membenarkan tindakan yang salah.
“Hari ini, militer yang menduduki posisi sipil itu sudah ada dan keluar SK (Surat Keterangan) kerjanya. Jadi teman-teman, ini (RUU TNI) hanya dibuat untuk melegitimasi keberadaan mereka. Seolah-olah, apa yang mereka lakukan terlihat benar dan sesuai aturan,” terangnya.
Baca juga: Liga Korupsi Indonesia Part 2: Skandal PT Antam, Bank BJB, hingga LPEI yang Mengguncang Publik
Pasal Mana Saja yang Bermasalah?
Dalam sesi konferensi pers disebutkan juga aturan mana saja yang dinilai dapat membahayakan supremasi sipil. Yang pertama tercantum pada Pasal 7 ayat (2) terkait operasi non-militer.
Dalam pasal tersebut tertulis TNI diusulkan mendapatkan tiga tugas baru, yakni membantu dan menanggulangi ancaman siber, membantu menyelamatkan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri, serta membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika. Koalisi masyarakat sipil menilai, hal ini keliru, terutama dalam penanganan narkotika yang seharusnya dilakukan dalam koridor kesehatan dan penegakkan hukum, dan bukan peperangan.
Aturan kedua yang dinilai bermasalah tercantum pada Pasal 47 terkait penempatan TNI di instansi sipil. Dalam draft RUU TNI tersebut tertulis, pemerintah mengusulkan penambahan posisi sipil yang bisa diduduki TNI dari 10 menjadi 16. Posisi-posisi ini antara lain, pengamanan laut (Bakamla), penanganan bencana (BNPB), penanganan terorisme (BNPT), kelautan dan perikanan, Kejaksaan Agung, dan pengelolaan perbatasan (BNPP). Menurut koalisi masyarakat sipil, pasal-pasal ini merupakan cerminan dari praktek dwifungsi TNI.
Tidak hanya itu, RUU TNI juga hendak merevisi klausul pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) tanpa perlu persetujuan DPR. Lewat perubahan ini, TNI ingin meniadakan peran parlemen sebagai perwakilan masyarakat. Secara tersirat, perubahan tersebut tentu dapat menghilangkan kontrol sipil sampai menimbulkan konflik kewenangan.
Baca juga: Ada ‘Negara Bayangan’ di Balik Terpuruknya Demokrasi
Yang Seharusnya Dilakukan TNI
Alih-alih melebarkan kewenangan dan mengecilkan supremasi rakyat, perwakilan koalisi masyarakat sipil bilang, RUU TNI seharusnya dibuat untuk meningkatkan profesionalisme TNI.
Ketika melakukan revisi, RUU TNI semestinya disusun untuk meningkatkan fungsi pertahanan, termasuk mendukung agar TNI lebih adaptif terhadap ancaman eksternal.
Modernisasi alutsista sampai penjaminan kesejahteraan prajurit TNI seharusnya juga jadi prioritas ketimbang berambisi mengisi jabatan sipil. TNI justru wajib berbenah untuk meningkatkan representasi perempuan dalam berbagai posisi strategis, menghapus hambatan struktural dalam karier militer, sampai menjamin lingkungan kerja yang aman dan bebas diskriminasi.
“TNI harus tetap berposisi sebagai alat pertahanan negara,” pungkas Isnur.
