Screen Raves

Bisakah Film dengan Tema Islam Lebih dari Sekadar Dakwah?

Ada estetika Islam yang jarang dieksplor film-film Islam di nusantara. Apa masalahnya?

  • March 18, 2025
  • 6 min read
  • 419 Views
Bisakah Film dengan Tema Islam Lebih dari Sekadar Dakwah?

Beberapa waktu lalu, Instagram menyodorkan saya sebuah reels Chappell Roan yang tengah menghadiri pagelaran busana Rabanne di Paris Fashion Week. Dalam video itu, Chappell ditanyai tentang lirik lagu favoritnya sepanjang masa.

Ia menjawab dengan Itty Bitty Piggy milik Nicki Minaj: “I don’t fuck with pigs, like ‘as-salamu alaykum,’ I put ’em in a field, I let Oscar Mayer bake ’em.” 

 

Momen ini menarik perhatian saya—betapa unsur keislaman bisa muncul dalam konteks yang sama sekali tidak berkaitan dengan agama, digunakan sebagai bagian dari seni dan estetika tanpa embel-embel nilai moral.

Baca juga: ‘The Potato Lab’: Kentang, Cinta, dan Kekacauan yang Bikin Ngakak

Dari situ, ingatan saya melompat ke Conclave (Edward Berger, 2024). Film yang baru saja menyabet piala Oscar untuk kategori Best Adapted Screenplay ini, menampilkan estetika Katolik dalam desain kostum, set, dan keseluruhan atmosfernya. Selain kentara dalam Conclave, tema Met Gala 2018, Heavenly Bodies banyak menampilkan pengaruh Katolisisme dalam fashion. Menunjukkan bagaimana simbol-simbol keagamaan dapat dimanfaatkan secara visual tanpa harus bersifat dogmatis. 

Dari semua percabangan memori itu, lalu saya tiba di satu muara pertanyaan: Mengapa unsur Islam dalam film Indonesia jarang dieksplorasi dalam ranah estetika murni, tanpa harus selalu dikaitkan dengan dakwah atau pesan moral?

Problema Representasi Islam dalam Film Indonesia

Islam adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Namun, dalam sinema nasional, representasi Islam cenderung homogen: Film-film yang menampilkan unsur keislaman hampir selalu memposisikan diri sebagai film dakwah, dengan pesan moral yang eksplisit. Film-film ini sering kali didominasi narasi biner antara yang religius dan yang “tersesat”, yang baik dan yang buruk.

Contoh paling mencolok adalah deretan film box office dan/atau yang dibuat oleh rumah produksi besar seperti 172 Days (Hadrah Daeng Ratu, 2023), Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam, 2009) atau 99 Cahaya di Langit Eropa (Guntur Soeharjanto, 2013).

Baca juga: Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif: Menilik ‘Trope’ Pria Religius di Film Indonesia

Di sana, karakter Muslim tampil sebagai sosok saleh yang harus mempertahankan iman mereka dalam berbagai ujian hidup. Alih-alih mengeksplorasi Islam sebagai bagian dari bahasa visual (visual language) yang lebih luas, film-film ini cenderung mengulang pola yang sama: Islam selalu ditampilkan dalam konteks ajaran dan moralitas.

Menurut Izharuddin (2017) dalam Dakwah at the Cinema: Identifying the Generic Parameters of Islamic Films, film Islam di Indonesia sering kali menggunakan simbol agama sebagai alat untuk menegaskan otoritas moral, bukan sekadar sebagai elemen sinematik (aesthetic device). Simbol-simbol ini tidak dibiarkan berbicara dalam ranah visual semata, tetapi harus selalu diiringi pesan moral eksplisit yang menegaskan posisi Islam sebagai pedoman hidup.

Akibatnya, banyak film yang terasa repetitif dan menggurui. Selain itu, pendekatan ini membuat eksplorasi estetika Islam sebagai elemen visual menjadi terbatas. 

Padahal, Islam di Indonesia hadir dalam berbagai bentuk budaya—dari arsitektur masjid, pakaian, hingga pola sosial masyarakat yang khas. Semua ini seharusnya bisa menjadi kekayaan estetika bagi film Indonesia tanpa harus selalu menyelipkan dakwah di dalamnya.

Estetika Islam 

Dalam kajian seni dan media, estetika Islam sering kali dikaitkan dengan prinsip harmoni, geometri, simetri, serta permainan cahaya dan bayangan. Dalam konteks film, estetika ini bisa muncul dalam berbagai bentuk—dari tata komposisi ruang, penggunaan cahaya, hingga cara tokoh berinteraksi dengan lingkungan mereka. Schmidt (2021) dalam studinya tentang sinema Islam menyebut bahwa keindahan visual dalam film Islami bukan hanya soal representasi agama, tetapi juga bagaimana nilai-nilai spiritualitas diterjemahkan ke dalam bahasa sinematik.

Mustahil untuk tidak menyebut Iran jika berbicara tentang sinema Islam, dan mari ambil salah satu film mereka yang paling populer di abad ke-21 ini sebagai contoh; A Separation (Asghar Farhadi, 2011). 

Meskipun bukan film religius, atmosfer keislaman terasa kuat dalam pengaturan ruang dan simbol-simbol keseharian dalam film ini. Perhatikan adegan saat Simin (Leila Hatami) dan Nader (Payman Maadi) berdebat di ruang sidang: Pemisahan fisik antara laki-laki dan perempuan, tata ruang yang simetris, serta cara kamera menangkap gestur dan tatapan mereka dari balik kaca adalah cara halus untuk menggambarkan struktur sosial Islam tanpa harus menjelaskannya secara verbal. Simbol ini bukan hanya ornamen, tetapi menjadi bagian dari cara film ini membangun ketegangan dan dinamika karakter.

Baca juga: Review ‘Qodrat’: Kembalikan Kejayaan Tokoh Pemuka Agama dalam Film Horor

Contoh lain ada dalam The Color of Paradise (Majid Majidi, 1999). Dalam salah satu adegan paling berkesan, Mohammad, seorang anak tunanetra, menyentuh alam sekitarnya dengan tangannya—mendengarkan suara burung, merasakan dedaunan, dan mencium tanah basah setelah hujan. Cahaya alami dan warna-warna hangat dalam adegan ini menciptakan kesan transendental, seolah-olah alam itu sendiri menjadi manifestasi dari spiritualitas Islam. Alih-alih menggunakan dialog atau khotbah untuk menyampaikan nilai religius, film ini membiarkan pengalaman sensorik karakternya berbicara.

Ada beberapa film Indonesia yang sebenarnya sudah mencoba keluar dari pakem film Islam yang monoton dan industrialis. 

Bid’ah Cinta (Nurman Hakim, 2017), misalnya, berkisah tentang konflik antara Islam tradisionalis dan modernis, film ini ditampilkan tanpa menghakimi pihak mana yang benar atau salah. 

Yang lebih menarik, salah satu film yang menurut saya sangat underrated ini, juga menyinggung isu LGBTQ dengan pendekatan yang sensitif, tanpa menjadikannya alat untuk menyodorkan dakwah. Yang terpenting, semua itu dikemas dalam balutan estetika yang membantu mengedepankan kompleksitas keislaman yang menjadi latar kisah tersebut bergulir.

Ambil contoh desain pencahayaannya, untuk melihat bagaimana bahasa visual Bid’ah Cinta berjasa dalam menciptakan nuansa keislaman yang diperlukan oleh cerita. Dari segi pencahayaan, film ini tidak selalu menggunakan high-key lighting yang sering ditemui dalam film Islami arus utama yang bisa dibaca sebagai menonjolkan kesan kesucian dan kebersihan moral. 

Sebaliknya, beberapa adegan didominasi pencahayaan natural dengan bayangan yang lebih banyak, seolah menegaskan bahwa persoalan agama dan sosial di dalamnya bukan hitam-putih, tetapi penuh area abu-abu.

Komposisi ruang yang dinamis untuk memperlihatkan keterpisahan sosial antara dua kelompok yang bertentangan. Misalnya, dalam beberapa adegan, tokoh-tokoh dari kelompok tradisionalis dan modernis ditempatkan dalam bingkai yang secara visual terpisah—baik melalui pembatas fisik seperti jendela atau pintu, maupun melalui blocking karakter yang mencerminkan jarak emosional mereka. 

Dengan pendekatan sinematik yang lebih reflektif, film Islami tidak harus selalu mengandung dakwah eksplisit untuk tetap memiliki bobot tematik yang kuat. Bid’ah Cinta memanfaatkan bahasa visual dan suasana untuk memperlihatkan kompleksitas keberislaman di masyarakat tanpa harus mengarahkan penonton pada satu kesimpulan moral tertentu.

Potensi Estetika Islam

Jika pendekatan estetika Islam diterapkan dalam film bergenre religi di Indonesia, saya kira akan berpotensi memberikan karakter visual yang unik bagi film itu sendiri, mengingat ruang-ruang sosial keislaman yang ada di Indonesia begitu beragam dan khas. 

Saat memotret kelompok pengajian ibu-ibu di Yogyakarta, misalnya, pasti berbeda dinamikanya dengan yang ada di Makassar. Perbedaan ini bukan sekadar latar tempat, tapi juga mencerminkan bagaimana budaya lokal memengaruhi ekspresi keber-Islaman. Bayangkan saat kamera menangkap pola batik seragam mereka sebagai elemen komposisi, memperlakukan gerakan kolektif mereka sebagai ritme visual yang alami. 

Pemanfaatan komposisi ruang, permainan cahaya alami dari lingkungan sekitar, atau bahkan sekadar cara tokoh duduk dan berbicara dalam sebuah forum tertentu, bisa menjadi bahasa visual yang kuat untuk menggambarkan keberagaman Islam di Indonesia. 

Jika dilakukan dengan baik, pendekatan ini bisa menghadirkan keislaman sebagai elemen sinematik yang hidup dan otentik, bukan sekadar latar atau simbol yang dipaksakan.



#waveforequality
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *