Culture Korean Wave

K-Pop dan Ekonomi Global: Idola Baru, Harapan Baru

Mungkinkah ‘idol’ non-Korea menjadi jawaban dari krisis demografi Korea Selatan sambil mempertahankan kekuatan ekonomi negara?

Avatar
  • January 9, 2025
  • 4 min read
  • 140 Views
K-Pop dan Ekonomi Global: Idola Baru, Harapan Baru

Momen “Ada Indonesia, cuy!” di industri hiburan Korea Selatan sekarang bukanlah suatu kemustahilan. Jika 15 tahun lalu idola K-Pop anggota boygroup/girlgroup non-Korea, terutama dari Asia Tenggara, masih dianggap aneh, kini kehadiran mereka semakin lumrah.

Tahun 2008 menjadi tonggak sejarah ketika JYP Entertainment mengumumkan debut Nickhun dalam boyband 2PM, menjadikannya salah satu representasi idol Asia Tenggara generasi kedua K-Pop. Karier Nickhun melejit, tak hanya sebagai anggota 2PM tetapi juga sebagai aktor di Thailand.

 

 

Empat tahun kemudian, JYP melanjutkan langkah serupa dengan merekrut Bambam, juga dari Thailand, untuk bergabung dengan GOT7, bersamaan dengan anggota non-Korea lain: Jackson Wang (Hong Kong) dan Mark Tuan (Taiwan-Amerika). Keberhasilan Bambam bahkan membuat Thailand menjadi rumah kedua GOT7, dengan tiket konser di stadion besar seperti Rajamangala yang berkapasitas sekitar 100.000 orang habis terjual dalam dua jam.

Hingga kini, seperti dilansir KpopMap, lebih dari 70 idol non-Korea tercatat di industri K-pop. Meskipun angka ini mungkin lebih besar jika menghitung grup seperti Black Swan (girlgroup dengan semua anggota non-Korea) atau grup multinasional seperti NCT dan TWICE.

Baca juga: Aroma Seksualisasi ‘NewJeans’, Grup ‘Idol’ K-Pop di Bawah Umur

K-Pop: Kiblat Baru Mimpi Global

Industri Kpop telah menjadi kiblat baru bagi banyak artis internasional. Berbagai agensi menggelar audisi global untuk mencari talenta dari luar Korea Selatan dan melakukan program pelatihan intensif yang dirancang untuk kandidat dari berbagai budaya. Tantangan demografis seperti krisis kependudukan tampaknya tidak mengancam industri hiburan ini. Bahkan, kehadiran idol non-Korea dan diaspora mungkin dapat menjadi solusi tak langsung atas rendahnya angka fertilitas Korea Selatan.

Dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan di Korea Selatan turun 35 persen, sementara angka fertilitas stagnan di 0,78 persen. Kondisi ini berdampak pada penutupan lebih dari 4.000 sekolah dasar sejak 1982. Pemerintah mencoba mengatasi ini dengan berbagai kebijakan, seperti tunjangan kehamilan hingga senilai US$10.500, subsidi program kehamilan (IVF), hingga penyewaan kereta dorong dan mainan anak secara gratis.

Baca juga: Kenapa Banyak Cewek Korsel Ogah Pacaran, Nikah, dan Punya Anak

Namun, kebijakan ini belum cukup menarik bagi generasi muda. Banyak perempuan muda memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak karena budaya patriarki yang masih kuat. “Budaya keluarga di Korea masih sangat patriarkal, dan itu merugikan [perempuan]. Saya tidak ingin melakukan itu,” kata Kim, seperti dikutip dalam artikel NPR tahun 2023.  

Selain masalah budaya, generasi muda juga menghadapi tantangan ekonomi, seperti harga properti yang melonjak dan biaya hidup yang tinggi. Kondisi ini membuat keputusan untuk menikah dan memiliki anak menjadi beban finansial yang sulit dijalani.

Korea Selatan sendiri diprediksi akan mengalami “kepunahan” penduduk dalam 50 tahun, dengan 58 persen penduduk berusia di atas 65 tahun, jika tren ini berlanjut.

Baca juga: Pentingnya Undang-Undang ‘Lee Seung-gi’ yang Baru Diamandemen Korea Selatan

Tantangan di Balik Globalisasi K-Pop

Meskipun tantangan demografis ini berdampak luas, industri K-pop tampaknya tetap mampu bertahan. Pada tahun 2023, sektor ini menghasilkan $893 juta dari streaming, penjualan album fisik, konser, dan pariwisata. Strategi agensi seperti HYBE dan JYP untuk menciptakan grup multinasional menunjukkan bahwa K-Pop dapat terus berkembang dengan memperluas pasar global. HYBE berhasil mengumpulkan 120,000 di seluruh dunia pada audisi terakhirnya dengan 10 kandidat potensial dari berbagai negara. Grup seperti Katseye dan VCHA adalah contoh bagaimana agensi beradaptasi dengan tren global.

Namun, globalisasi K-Pop juga menghadirkan tantangan. Diskriminasi terhadap member non-Korea masih sering terjadi, seperti yang dialami Tao dan Luhan, member EXO dari China. Baru-baru ini, isu visa Hanni Pham dari NewJeans juga menjadi sorotan. Selain itu, ada kritik mengenai eksploitasi dan kondisi kerja idol, seperti kasus KG dari VCHA yang  menuntut JYP USA atas pekerja anak dan kekerasan.

Di sisi lain, kritik juga muncul terhadap penggunaan “K” pada K-Pop jika semakin banyak grup yang terdiri dari anggota non-Korea. Beberapa pihak berpendapat bahwa K-pop mungkin kehilangan esensi ‘Korea-nya’. Contoh kasus adalah EXP Edition, grup yang semua anggotanya non-Korea, yang menghadapi kritik pedas dan tuduhan appropriating budaya Korea.

Apakah K-Pop akan kehilangan unsur “Korea-nya” jika semakin banyak idol non-Korea? Pertanyaan ini memancing diskusi tentang identitas budaya dalam era globalisasi, sebuah isu yang relevan untuk masa depan industri hiburan. Atau apakah ini justru menjadi evolusi alami dari industri yang semakin inklusif? Tidak ada yang tahu pasti. Namun, penting bagi kita sebagai penikmat untuk tetap membuka mata terhadap realitas bahwa idol adalah pekerja dan angka bagi pemilik modal atau agensi mereka.

Meskipun ada tantangan, K-Pop terus menawarkan peluang besar bagi generasi muda di seluruh dunia. Dari Indonesia sendiri, nama-nama seperti Loudi, Dita Karang, dan Zayyan menjadi inspirasi bagi banyak orang yang bermimpi menembus industri ini. Bukti bahwa K-Pop masih menjadi simbol harapan dan ambisi global.

Saraswati N masih bermimpi melihat Kim Taeri dan Yoo Ah-in dalam proyek yang sama. Menggalang dukungan untuk pendidikan perempuan muda di @beasiswapersaudarian.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Saraswati N

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *