December 6, 2025
Issues Opini Politics & Society

#MerdekainThisEconomy: Dear Sri Mulyani, Semoga di Kehidupan Selanjutnya Anda Jadi Anak Guru 

Surat terbuka untuk Sri Mulyani dari anak guru yang tak pernah sejahtera. Tentang gaji yang tak sepadan dan kebijakan yang meminggirkan guru.

  • August 15, 2025
  • 5 min read
  • 1465 Views
#MerdekainThisEconomy: Dear Sri Mulyani, Semoga di Kehidupan Selanjutnya Anda Jadi Anak Guru 

“Ayah enggak bisa kasih harta, jadi yang bisa ayah kasih ke mereka adalah ilmu yang bermanfaat.” 

Kalimat itu selalu diucapkan setiap kali saya bertanya, mengapa tetap mengajar di sekolah kecil di kaki Gunung Salak. Selama 25 tahun, ayah mengajar anak-anak yatim, piatu, dan keluarga tak mampu, sambil mencari nafkah tambahan sebagai sopir angkot. Gajinya tak sampai setengah UMR Bogor. Saat menjadi kepala sekolah, beban bertambah, penghasilan tetap. 

Baca juga: Marak Kriminalisasi Guru, Saya Ngobrol dengan Orang Tua dan Pengajar tentang Jalan Tengahnya 

Sejak kecil, saya kerap menyalahkan ayah atas kesulitan ekonomi kami. Saya mempertanyakan kenapa ia tak pindah sekolah untuk gaji lebih besar. Namun ia memilih bertahan. Baginya, menjadi guru adalah ibadah, bukan sekadar memindahkan pengetahuan. 

Ayah jadi korban gelar manis sekaligus kosong: Pahlawan tanpa tanda jasa. Ironis, di sekolah ia mampu mengantar murid-muridnya hingga bangku kuliah. Namun di rumah, ia ragu bisa membiayai kuliah anaknya sendiri. Guru seperti ayah memang dituntut mencetak “generasi emas” tapi anak-anaknya dipaksa negara tumbuh menjadi generasi cemas.  

Luka itu semakin perih ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengeluarkan pernyataan nir-empati dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025 di Institut Teknologi Bandung, (7/8) lalu. Ia komentar, “Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya (gaji guru dan dosen) harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat.”

Buat saya, pernyataan ini nir-empati karena hanya menyoroti masalah finansial tanpa menyentuh dedikasi dan perjuangan guru. Bu Sri bisa saja lupa: Setiap presiden, ilmuwan, pengusaha, atau menteri pernah duduk di bangku sekolah dan belajar dari guru. Jika negara keberatan menggaji guru, artinya negara mengabaikan pondasi masa depannya sendiri. Bayangkan besok semua guru berhenti mengajar—tidak akan ada lagi dokter, insinyur, atau bahkan menteri keuangan bernama Sri Mulyani.

Saya teringat kalimat menohok guru SMP: “Seorang murid bisa menjadi presiden, menteri, atau pengusaha. Namun seorang guru akan tetap menjadi guru.” 

Kalimat sederhana ini seharusnya membuat siapa pun, termasuk Sri Mulyani, sadar. Sehebat apa pun murid, gurunya tetaplah guru. Justru karena itu, guru layak mendapat penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya, bukan cuma pujian tanpa kesejahteraan. 

Baca Juga: Gagal Fokus Prabowo: Anak Papua Butuh Sekolah, Bukan Makan Siang Gratis 

Semakin Tercekat di Rezim Prabowo 

Pernyataan Sri Mulyani yang meremehkan peran guru bukan sekadar keliru, tapi juga mencerminkan cara pandang rezim Prabowo terhadap pendidikan. Di awal masa jabatannya, Presiden Prabowo langsung memangkas anggaran pendidikan. 

Pemangkasan ini terasa makin menyakitkan ketika anggaran yang tersisa masih harus dibagi dengan program populis seperti Makan Bergizi Gratis. Di atas kertas, program itu terdengar mulia. Namun, di baliknya, kebutuhan paling mendasar bagi pendidikan, yakni kesejahteraan guru, enggak tersentuh sama sekali. 

Kebijakan kurikulum pun tak kalah membingungkan. Wakil Presiden Gibran mendorong studi Akal Imitasi (AI) masuk kurikulum. Ide ini terdengar visioner bagi sekolah-sekolah di kota besar, tapi di banyak daerah, akses internet saja masih menjadi kemewahan. Jangankan belajar AI, banyak sekolah bahkan tak memiliki perangkat teknologi memadai. Pernyataan ini terdengar tak sensitif. Seolah para pengambil kebijakan tak pernah menginjakkan kaki di kelas reyot di desa-desa pelosok. 

Di tengah semua gebrakan ini, nasib guru, terutama honorer semakin terdesak. Mereka diminta mencetak “generasi emas” dengan gaji yang sama sekali tidak emas. Honor dibayar per jam atau per pertemuan, dan di beberapa daerah masih di bawah satu juta rupiah per bulan. Negara menempatkan pendidikan bukan sebagai prioritas yang dilindungi, tapi sebagai pos anggaran yang mudah ditekan. 

Setiap keputusan anggaran adalah keputusan politik. Saat pemerintah memilih menaikkan anggaran Kementerian Pertahanan tetapi mengabaikan gaji guru, jelas terlihat siapa yang diistimewakan dan siapa yang dibiarkan bertahan hidup seadanya. 

Baca juga: 6 Dampak Efisiensi Anggaran Prabowo: PHK Massal hingga Riset yang Mandek

Bu Sri dan Kehidupan Selanjutnya 

Maka, Bu Sri, kalau memang ada kehidupan setelah ini, semoga Ibu terlahir sebagai anak seorang guru—bukan profesor ternama. Semoga Ibu merasakan cemasnya membayangkan kuliah yang tak terjangkau. Merasakan mimpi masuk universitas ternama yang harus dikubur, atau tekanan untuk masuk perguruan tinggi negeri karena kampus swasta terlalu mahal. 

Semoga Ibu bisa merasakan campuran kasihan dan marah saat melihat ayah bekerja sampingan apa pun demi menutupi kekurangan, padahal pekerjaan utamanya adalah mengajar—pekerjaan yang dimuliakan oleh keluarga, tapi diremehkan negara lewat gaji yang tak manusiawi. 

Dan jika tidak ada kehidupan berikutnya, setidaknya sebelum masa jabatan Ibu berakhir, semoga Ibu bisa menyentuh langsung realitas yang tidak pernah Ibu alami: Ruang kelas tanpa listrik, desa tanpa internet, guru yang tetap mengajar meski honor mereka tak cukup untuk hidup layak. 

Sebab, ketika pernyataan Sri Mulyani soal tantangan keuangan negara untuk menggaji guru dan dosen muncul, yang terlihat adalah minimnya penghargaan terhadap orang-orang yang memanggul masa depan bangsa. Jika pandangan ini terus bertahan, yang menunggu bukan hanya ketimpangan penghargaan terhadap guru, tapi juga masa depan bangsa yang terancam karena mengabaikan peran mereka.

Artikel ini telah diperbarui pada 22 Agustus 2025 di bagian paragraf ke-5 dan 6 dengan menambahkan kutipan langsung dari video pidato Sri Mulyani yang dinukil dari akun resmi YouTube Institut Teknologi Bandung, 7 Agustus 2025.

Dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI 2025, Magdalene meluncurkan series artikel #MerdekainThisEconomy dari berbagai POV penulis WNI. Baca artikel lain di sini. 

Ilustrasi oleh Jelita A. Rembulan

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.