June 23, 2025
Issues Politics & Society

Nyawa Anak Kami Tak Semurah Janji Program MBG 

Keracunan massal siswa penerima paket Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah bukti abainya negara terhadap kesejahteraan anak.

  • May 16, 2025
  • 6 min read
  • 2743 Views
Nyawa Anak Kami Tak Semurah Janji Program MBG 

Prabowo Subianto baru-baru ini sesumbar soal tingkat keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dalam Sidang Kabinet Paripurna yang diselenggarakan (5/5) di Ruang Sidang Kabinet, program ini diklaim hampir mencapai tingkat keberhasilan 99,99 persen, menurut data dari Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Namun, klaim ini justru bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. 

Di Bogor, Jawa Barat, sebanyak 223 siswa menjadi korban keracunan setelah mengonsumsi menu masakan dari program MBG. Dinas Kesehatan Kota Bogor bahkan menetapkan kasus ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Hasil uji laboratorium menunjukkan adanya kontaminasi bakteri Salmonella dan E. coli dalam makanan yang diterima para siswa. Banyak di antara mereka yang diare, muntah, lemas, sekujur badan membiru, bahkan beberapa harus menjalani perawatan inap. 

Kasus keracunan ini bukan yang pertama kali terjadi. Berdasarkan catatan Kompas, setidaknya ada 17 kasus keracunan makanan dari program MBG di 10 provinsi berbeda di Indonesia. Penyebabnya pun beragam, mulai dari penyajian yang tidak sesuai standar hingga ketidaktepatan dalam proses memasak.  

Baca juga: Pak Prabowo, ini Alasan Kenapa Satgas PHK Sia-sia 

Amarah Orang Tua 

Kemarahan muncul dari para orang tua, salah satunya “Alisa”. Ia geram karena kesehatan anak-anak menjadi taruhan di program MBG ini. Meskipun sekolah anak tidak menjadi bagian dari program MBG, ia tetap khawatir dan tidak bisa membayangkan anaknya yang menjadi korban.  

“Kita jadi khawatir kan, gimana kalau yang apes ini anak kita? Soalnya tubuh dan kondisi kesehatan anak itu beda-beda. Kerentanan dan sensitivitasnya juga,” ujarnya pada Magdalene. 

Alisa juga menyoroti eksekusi program MBG yang dinilai enggak ideal. Salah satunya ditengarai dari berulangnya kasus keracunan makanan. Baginya, ini menunjukkan pengendalian mutu dalam program tersebut masih sangat lemah. 

“Program MBG ini udah semestinya perlu diawasi dengan QC (quality control) yang ketat prosesnya dari hulu sampai hilir. Perlu juga ada standarisasi untuk bahan baku yang digunakan, proses masaknya harus bagaimana,” tambahnya. 

Di sisi lain, “Nia”, ibu dengan anak usia sekolah, mengkritik pilihan menu makanan yang kadang kurang bergizi. Bahkan saat bulan puasa lalu, ia menemukan anaknya hanya diberi seplastik biskuit dan susu manis. Hal ini tentu memengaruhi asupan gizi anak. 

“Selain urusan keracunan, MBG ini juga perlu dievaluasi karena kadang makanannya itu justru banyak mengandung gula. Mending susunya itu susu murni, ini susu kemasan yang tinggi gula,” ungkap Nia. 

Baca juga: Carut Marut Pemerintahan Prabowo: Tanggung Jawab Siapa? 

Jangankan Bergizi, Layak Makan Saja Belum 

Menurut dr. Tan Shot Yen, dokter dan ahli gizi masyarakat, kualitas makanan yang disajikan dalam program MBG harus diperhatikan dengan serius. Pasalnya, keracunan hanyalah salah satu efek buruk dari makanan yang tidak disajikan dengan baik. 

“Efeknya ini bisa beragam. Bisa dia mengalami nyeri perut, bahkan tipes (demam tifoid),” ucap dr. Tan. 

Ia menambahkan, pelaksanaan sistem manajemen keamanan pangan seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) seharusnya diterapkan dalam setiap tahapan—mulai dari pemilihan bahan baku, proses memasak, hingga distribusi. “Di seluruh dunia, sebetulnya kita sudah mengenal yang disebut dengan HACCP, yaitu suatu standar di mana keamanan pangan itu dimulai di beberapa critical point,” ujarnya. 

Namun, sistem ini tampaknya tidak diterapkan dengan baik dalam program MBG, terbukti dengan munculnya korban keracunan seperti yang terjadi belakangan ini. Dalam kasus Bogor misalnya, Wali Kota Dedie A. Rachim mengungkapkan, penyebab keracunan lantaran makanan dimasak sehari sebelum disajikan. 

“Ada yang salah entah di proses memasak atau distribusi makanan,” jelas Dedie kepada Pakuan Raya, (12/5). 

Mengingat kesehatan anak menjadi taruhan, kami mencoba menghubungi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk meminta tanggapan mengenai langkah-langkah yang dapat diambil guna menanggulangi masalah ini. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, wawancara dengan pihak KPAI belum terlaksana. 

Baca juga: Gagal Fokus Prabowo: Anak Papua Butuh Sekolah, Bukan Makan Siang Gratis 

Lebih dari Sekadar Makanan Basi dan Keracunan 

Celaka dua belas, masalah keracunan makanan bukan satu-satunya noda di program MBG. Program unggulan Prabowo ini nyatanya diwarnai dengan dugaan penggelapan dana. Salah satunya terjadi di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kalibata, Jakarta Selatan. Mitra dapur MBG, Ira Mesra, melapor ke pihak kepolisian setelah tidak dibayar oleh yayasan pengelola SPPG Kalibata, dengan kerugian hampir mencapai Rp1 miliar, sebagaimana dilansir Detik.com. 

Kuasa hukum korban, Danna Harly kepada wartawan di Polres Metro Jakarta Selatan, Jumat (18/4) menuturkan, dalam perjanjian awal kliennya dengan pihak yayasan, anggaran dipatok Rp15.000 per porsi. Namun saat MBG berjalan, berubah menjadi Rp13.000. Karena itulah pihaknya curiga ada patgulipat di balik program MBG ini. 

Sebagai informasi, beberapa mitra penyedia MBG adalah orang-orang dekat Prabowo, tulis Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam postingan Instagram @akademi.antikorupsi, (8/5) lalu. Di antaranya, Yayasan Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) di mana orang-orang pentingnya meliputi Prabowo sendiri, adik yang bertindak sebagai anggota pembina Hashim Djojohadikusumo, anak kandung Prabowo yang sama-sama jadi anggota pembina Didit Prabowo, dan Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin. 

Ada juga Yayasan Prabowo Center Kosong Delapan yang digawangi oleh Lenis Kogoya, staf khusus Menteri Pertahanan; Aksa Mahmud dan putranya Erwin Aksa, politisi Golkar sekaligus Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran. 

Kendati circle Presiden mengeklaim tak cari untung, tapi keterlibatan mereka dalam proyek MBG rawan konflik kepentingan. Dan konflik kepentingan, tutur ICW, selalu jadi pintu masuk korupsi. “Dalam konteks etika publik, hal ini juga bisa menggerus kepercayaan masyarakat,” tulis ICW. 

Kasus keracunan dan dugaan penggelapan dana ini adalah tanda betapa MBG punya problem salah tata kelola yang serius. Diah Satyani Saminarsih, Founder Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengonfirmasinya. Menurut Diah, beberapa tahapan penting dalam pembuatan kebijakan terlewat, seperti analisis kebutuhan (demand analysis) dalam penyusunan naskah akademik program tersebut. 

“Sebelum sebuah regulasi dibuat, seharusnya ada naskah akademik yang disiapkan, di mana demand analysis ini menjadi salah satu elemen yang ada di dalamnya,” terang Diah. 

Perlu Evaluasi Besar-besaran 

Menanggapi masalah keracunan, Diah menekankan program MBG membutuhkan evaluasi menyeluruh. Kembali pada tujuan awal program, yang merupakan bantuan pemerintah, risiko dari program ini seharusnya sepenuhnya ditanggung oleh negara. 

“MBG adalah program bantuan pemerintah yang sudah semestinya ditanggung 100 persen risikonya oleh negara,” kata Diah. 

Lebih lanjut, Diah juga mengingatkan Badan Gizi Nasional harus melibatkan lebih banyak pihak dalam evaluasi dan pelaksanaan program MBG. 

“Jika kita bicara soal makan bergizi gratis, maka harusnya ada pelibatan stakeholders lain—Dinas Pendidikan, orang tua, ahli gizi, bahkan psikolog. Semua pihak harus ikut terlibat,” tambahnya. 

Namun alih-alih memperbaiki kualitas makanan dan tata kelola, respons pemerintah justru menunjukkan gagal paham akar masalahnya. Terbaru, Badan Gizi Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) malah merencanakan peluncuran asuransi kesehatan untuk penerima manfaat MBG. 

Menurut Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian OJK, asuransi ini bertujuan untuk mitigasi risiko kesehatan, termasuk keracunan makanan. 

“Kami sudah mengidentifikasi beberapa risiko, misalnya food poisoning, kecelakaan, dan masalah di satuan pelayanan gizi,” ungkapnya kepada Suara.com

Di saat bersamaan, komentar tak simpatik Prabowo juga menunjukkan betapa tak seriusnya negara untuk berbenah. Dilansir dari Tempo.co, Prabowo menyatakan, “Mungkin siswa (yang keracunan makanan di Bogor) tidak makan pakai sendok, jadi keracunan.” 

Pertanyaan kita selanjutnya, bisakah kita memercayakan anak-anak kita pada pemerintah yang mengecilkan beban kesehatan mereka? 



#waveforequality
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal