Kuatnya Patriarki ‘Klebun’, Figur Kepala Desa Perempuan di Madura
Perempuan yang menjadi kepala desa di Madura ternyata masih berperan secara simbolis saja, sementara kendali masih dominan dipegang laki-laki.
Budaya patriarki masih melekat erat dalam kehidupan masyarakat Madura. Hal ini terlihat salah satunya dalam hal keterwakilan perempuan di wilayah pemerintahan di sana.
Secara umum, sikap optimis terhadap negara Indonesia yang mulai ramah terhadap perempuan bisa dilihat melalui implementasi UU No. 10 Tahun 2008 yang mewajibkan partai politik (parpol) untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 55 ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap tiga bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan.
Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR RI berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019). Data ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan mulai terlihat di berbagai wilayah mulai dari tingkat nasional hingga paling kecil, yakni desa.
Baca juga: Masalah Perempuan Kepala Daerah dan Anggota DPR: Jumlah dan Kualitas
Para pejuang kesetaraan gender berupaya agar keterwakilan perempuan dalam ranah pemerintahan bisa menjadi salah satu bentuk eksistensi peranan perempuan yang selama ini hanya dikenal dalam ranah domestik
Pada tingkat pemerintahan paling kecil seperti kepala desa di Madura, yang disebut Klebun, representasi perempuan ternyata tidak menunjukkan kebangkitan mereka di ranah publik, justru sebaliknya. Keberadaan klebun perempuan di Madura justru menjadi bukti kuatnya budaya patriarki.
Dalam tulisan Aminah Dewi Rahmawati dkk. yang berjudul “The female Klebun of Madura within the power constellation of the patriarchy: A post-colonial feminism perspective” (2021), dijelaskan bahwa klebun perempuan di Madura justru tidak memegang kekuasaan sepenuhnya. Dominasi laki-laki di masyarakat Madura, seperti dalam relasi keagamaan dan pembacaan doa misalnya, menyebabkan keberadaan perempuan masih menjadi kelas kedua di sana.
Dalam kaitannya dengan tugas sosial seorang kepala desa, peran perempuan juga masih dinomorduakan. Misalnya, dalam kegiatan berkabung, tok oto (arisan), dan menghadiri pesta pernikahan. Selain itu, dalam acara keagamaan atau remoh (arisan tradisional untuk laki-laki dengan status sosial tinggi, terutama blater–semacam preman di Madura) yang biasa terjadi pada malam hari, perempuan juga tidak bisa tampil. Budaya di Madura mengharuskan suami atau kerabat laki-laki mewakili kehadiran klebun perempuan dalam acara tersebut karena perempuan dianggap sangat tidak pantas hadir di sana.
Baca juga: Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?
Peran ini biasa dilakukan oleh anak Ibu Klebun yang sudah mencapai dewasa. Peran klebun perempuan dengan demikian hanya terkait berbagai hal bersifat administratif seperti keperluan tanda tangan kebutuhan administrasi. Mereka tak banyak ikut campur dalam persoalan urgen yang seharusnya dilakukan oleh seorang kepala desa. Kasus semacam menjadi lazim mengingat anggapan umum terkait keterbatasan kemampuan perempuan.
Selain itu, perempuan yang menjadi klebun di Madura biasanya merupakan pengganti dari suaminya. Dalam beberapa kasus, sang suami merupakan PNS sehingga peran menjadi kepala desa diberikan kepada sang istri. Meskipun nama kepala desa yang tertera adalah sang istri, tetap saja seluruh hal dan otoritas dilakukan oleh suami.
Tidak hanya itu, dalam beberapa kasus lain juga ditunjukkan bahwa terpilihnya perempuan sebagai kepala desa di Madura tidak lepas dari politik dinasti yang sudah mengakar kuat. Biasanya, karena suaminya pernah menjadi kepala desa atau seluruh anggota keluarga lain seperti anak laki-laki sudah habis masa jabatannya untuk menjadi kepala desa. Dengan demikian, mau tidak mau perempuanlah yang maju untuk menjadi kepala desa demi melanggengkan kekuasaan agar tidak jatuh kepada orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat melihat bahwa eksistensi perempuan yang menjadi kepala desa di Madura hanya sebatas simbol semu keterwakilan perempuan di pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan betapa kuat dan mengakar budaya patriarki di Madura.
Kasus ini juga mengindikasikan perempuan yang berada di posisi strategis sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan kekuasaan laki-laki daripada memberdayakan dirinya sendiri. Ini menjadi pengingat bagi kita sebagai perempuan, jika di masa depan diberi kesempatan untuk menjadi wakil rakyat, kita sepatutnya mendobrak budaya patriarki terselubung semacam ini alih-alih semakin melanggengkannya.