December 5, 2025
Issues Politics & Society Safe Space

KUHP Baru dan Masa Depan Suram Layanan Aborsi Aman 

Di balik wacana pembaruan hukum pidana, KUHP baru justru berpotensi mempersempit akses perempuan terhadap aborsi aman.

  • October 24, 2025
  • 4 min read
  • 2565 Views
KUHP Baru dan Masa Depan Suram Layanan Aborsi Aman 

Sejak disahkan, Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tinggal menunggu bulan dijalankan. Per 2 Januari 2026 mendatang, aturan baru ini akan resmi berlaku dan menjadi pedoman utama hukum pidana di Indonesia. Salah satu sektor yang akan terdampak besar adalah layanan aborsi aman—isu yang hingga kini masih sensitif, meski sudah diatur secara teknis dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. 

Dalam unggahan Jakarta Feminist, disebutkan sejumlah pasal dalam KUHP baru dan UU Kesehatan justru berpotensi mempersempit akses terhadap aborsi aman. Aturan yang disebut-sebut lebih modern ini ternyata masih menempatkan keputusan perempuan di bawah kendali pihak lain, termasuk suami dan tenaga medis. 

Meski diklaim progresif, klausul mengenai aborsi masih mempersyaratkan adanya persetujuan suami. Hal ini tertuang dalam Pasal 60 ayat (2) UU Kesehatan serta Pasal 122 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Dalam pasal tersebut dijelaskan, aborsi dapat dilakukan dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan dan juga suami. 

Jakarta Feminist menilai bahwa ketentuan ini menandakan negara belum sepenuhnya mengakui hak atas otonomi tubuh perempuan. 

“Ketentuan ini menunjukkan bahwa negara masih belum mengakui aborsi sebagai bagian dari hak atas otonomi tubuh perempuan. Persetujuan suami seolah menjadikan tubuh perempuan bukan miliknya sendiri,” tulis Jakarta Feminist dalam pernyataan resminya. 

Baca juga: Hari Menghapus Stigma Aborsi: Pentingnya Sediakan Layanan Aborsi Aman 

Aborsi yang Masih Berpusat pada Tenaga Medis 

Selain soal persetujuan, orientasi aturan hukum juga masih menempatkan aborsi sebagai praktik yang semata-mata urusan medis. Dalam Pasal 60 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan aborsi hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat dari Menteri Kesehatan. Sementara dalam KUHP baru, Pasal 465 ayat (3) menyebut dokter, bidan, paramedis, atau apoteker tidak dapat dipidana ketika melakukan aborsi sesuai dengan ketentuan hukum. 

Bagi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pendekatan ini justru mempersempit ruang perempuan dalam menentukan pilihan terhadap tubuhnya sendiri. 

“Otonomi untuk melakukan aborsi akhirnya berpindah dari perempuan kepada tenaga kesehatan. Negara seolah lebih percaya dokter daripada perempuan itu sendiri,” tulis ICJR dalam kajiannya. 

ICJR juga mendorong adanya demedikalisasi aborsi atau bentuk layanan aborsi yang bisa dilakukan secara mandiri dengan pengawasan negara. 

Baca juga: ‘Korpus Uterus’: Saat Rahim Jadi Medan Kontrol Tubuh Perempuan 

“Demedikalisasi aborsi merupakan bagian dari hak mendasar atas kesehatan reproduksi setiap orang yang membutuhkan. Pemerintah seharusnya memastikan mekanisme ini berjalan komprehensif, tidak hanya mengandalkan rumah sakit atau dokter,” lanjut ICJR. 

Dari sisi pidana, KUHP baru memang menurunkan sebagian ancaman hukuman. Dalam KUHP lama Pasal 347 ayat (2), setiap orang yang menggugurkan kandungan dengan persetujuan perempuan diancam pidana maksimal lima tahun enam bulan. Kini, ancamannya turun menjadi maksimal lima tahun. 

Namun jika aborsi dilakukan tanpa persetujuan perempuan dan menyebabkan kematian, pelaku dapat dipidana hingga lima belas tahun. Jika dilakukan dengan persetujuan perempuan, ancaman pidananya menjadi delapan tahun. 

Beberapa pasal lain juga mencatat perluasan kategori penerima layanan aborsi aman. Dalam Pasal 463 ayat (1) KUHP baru, korban kekerasan seksual kini diakui berhak mengakses layanan aborsi aman. Sebelumnya, aturan hanya mencakup perempuan korban perkosaan dan yang mengalami kondisi medis tertentu. 

Selain itu, ada perubahan dalam batas waktu kehamilan. Jika sebelumnya hanya sampai delapan minggu sebagaimana tertulis dalam Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kini usia kehamilan yang diperbolehkan untuk aborsi aman diperpanjang hingga empat belas minggu. 

“Otonomi untuk melakukan aborsi akhirnya berpindah dari perempuan kepada tenaga kesehatan. Negara seolah lebih percaya dokter daripada perempuan itu sendiri,” tulis ICJR dalam kajiannya. 

Baca juga: Antara Annie Ernaux dan Perjuangan Saya Mencari Aborsi Aman 

Namun bagi kelompok advokasi perempuan, perubahan-perubahan ini belum cukup. Jakarta Feminist menegaskan, aturan baru tetap gagal melihat aborsi sebagai hak dasar perempuan. “Negara masih mengatur tubuh perempuan seolah bukan miliknya. Padahal yang dibutuhkan bukan hanya regulasi baru, tetapi pengakuan bahwa keputusan atas tubuh adalah hak perempuan itu sendiri,” tulis mereka. 

Menjelang diberlakukannya KUHP baru, kelompok perempuan menilai bahwa arah kebijakan hukum Indonesia masih jauh dari prinsip keadilan reproduksi. Aborsi aman seharusnya dipandang sebagai bagian dari layanan kesehatan publik, bukan sekadar perkara pidana yang diawasi ketat. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).