Tubuh Perempuan Dijadikan Target: Kekerasan terhadap Pembela HAM di Aksi Protes

Jorgiana Augustine, biasa dipanggil Jorji, awalnya tidak berencana menghadiri aksi Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei lalu di sekitar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, kabar bahwa posko kesehatan diganggu membuat mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu tergerak untuk datang sebagai paralegal bagi tim paramedis.
Awalnya situasi berjalan damai. Jorgiana duduk santai, makan, dan berbincang. Namun, keadaan berubah ketika aparat menyerang tim medis. Seorang paramedis perempuan dipukul hingga jatuh dan dilarikan ke rumah sakit. Kevin, paramedis lainnya, dipukuli hingga babak belur.
Jorgiana mencoba melindungi Kevin dan mempertanyakan dasar tindakan represif aparat. “Saya berusaha berdialog. Kenapa kami digeledah? Apa dasarnya? Ada temuan apa?” ujarnya dalam diskusi publik Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) (26/6).
Alih-alih mendapatkan penjelasan, Jorgiana justru mengalami kekerasan. Ia ditendang, dijambak, dilecehkan secara verbal dan fisik. Tubuhnya digerayangi, martabatnya diinjak. Ia dan tim paramedis dibawa ke Polda Metro Jaya dan ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Alami Intimidasi dan Kekerasan, Perempuan Pembela HAM Harus Dilindungi
Penyiksaan sebagai alat represi terhadap perempuan
Tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Internasional untuk Mendukung Korban Penyiksaan. Meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT) sejak 1998, praktik penyiksaan masih kerap terjadi, terutama terhadap pembela hak asasi manusia.
Christine Constanta, pengacara Jorgiana dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), menyatakan bahwa hingga kini Jorgiana masih menjalani pemulihan psikologis.
“Dia khawatir aktif di media sosial karena takut diserang. Rasa aman dan harga dirinya terguncang,” ujar Christine.
Saat melaporkan kasusnya ke Markas Besar Kepolisian RI, Jorgiana menangis sesenggukan. “Saya melapor ke institusi yang juga melindungi pelakunya. Saya merasa harga diri saya terluka,” ujarnya.
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Ikhaputri Widiantini, menyatakan bahwa penyiksaan terhadap perempuan tak lepas dari relasi kuasa.
“Ketika tubuh perempuan dipegang, ada teror: ‘Aku mau diapain?’ Apalagi disertai kalimat menyakitkan sampai ancaman perkosaan. Itu adalah bentuk kontrol,” ujarnya.
Ikhaputri mengutip teori horrorism dari filsuf Italia Adriana Cavarero, bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan untuk membunuh, tetapi untuk menghancurkan martabatnya.
“Perempuan dihancurkan mentalnya, dipermalukan, dipertontonkan, dijadikan objek, dan dibuat tidak berani lagi untuk kembali ke ruang publik. Jadi, begitu mengerikan sebenarnya upaya penyiksaan terhadap tubuh perempuan,” katanya.
Baca juga: 7 Kekerasan Tentara yang Disponsori Negara Sepanjang Demo #TolakUUTNI
Menuntut tanggung jawab negara
Christine menjelaskan bahwa tindakan aparat terhadap Jorgiana melanggar hukum, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Menurut KUHAP, penangkapan maksimal 24 jam. Jorgiana ditahan 36 jam di ruang Renakta (Unit Remaja, Anak, dan Wanita) Polda Metro Jaya,” ujarnya. Selain itu, penetapan tersangka dan penyitaan dilakukan tanpa prosedur yang sah.
Sebagai paralegal pendamping paramedis, Jorgiana seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Bantuan Hukum. Sebaliknya, ia justru diintimidasi dan dikriminalisasi.
Sondang Frishka Simanjuntak, Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan, menegaskan pelanggaran asas necessity (keperluan) dan proportionality (keseimbangan) dalam penggunaan kekuatan oleh aparat.
““Apakah benar-benar diperlukan sebagai upaya terakhir dan sebagai respon terhadap ancaman langsung dan khusus? Tim medis tak menimbulkan ancaman. Kekerasan itu tidak perlu dan berlebihan,” katanya.
Baca juga: Perempuan Pembela HAM Mangsa Empuk Kekerasan
Komnas Perempuan menekankan pentingnya pembaruan kerangka hukum nasional, termasuk revisi KUHAP dan adopsi konsep hakim komisaris yang memeriksa legalitas penangkapan dalam 2×24 jam.
“Jadi, kalau ada penangkapan seperti kasus Jorji itu, dalam 2 kali 24 jam, (harus) ada mekanisme namanya hakim komisaris. Jadi dia memastikan ketika terjadi penangkapan, bisa diperiksa apakah terjadi penyiksaan di sana,” ujarnya.
Ratifikasi Optional Protocol to CAT juga dinilai mendesak untuk memastikan adanya mekanisme pencegahan nasional terhadap penyiksaan.
“Negara harus menjamin pemulihan korban: kompensasi, rehabilitasi, dan menghukum pelaku. Ini bukan hanya soal keadilan individu, tapi integritas institusi. Setiap upaya paksa harus dilakukan sesuai prosedur yang diatur dalam undang-undang agar tindakan tersebut tidak melanggar hak asasi manusia,” kata Sondang.
