Nama saya Rizal Khada’i, usia 39 tahun. Saya lahir di Bumiayu, Brebes, tepatnya di Desa Winduaji, Paguyangan. Sudah lima tahun saya tinggal di Portugal dan bekerja sebagai nelayan. Ketika pertama kali datang pada 2020, saya kira tantangan terbesar hidup di luar negeri adalah bahasa, cuaca, atau pekerjaan di laut. Ternyata tidak. Kejutan terbesar datang dari makanan.
Sebagai orang Indonesia, saya selalu merasa belum makan kalau belum makan nasi. Di Vila do Conde, kota pertama tempat saya tinggal, makanan utama justru kentang rebus. Di kapal, menunya serupa, yakni kentang rebus, ikan rebus, sesekali makaroni campur daging. Kalau pun ada nasi, biasanya nasi dicampur gurita. Semua serba direbus, bumbu sedikit, minyak hampir tidak ada. Buat saya yang terbiasa makan nasi hangat dan masakan berbumbu, rasanya seperti makan tapi tidak “nyampe.”

Lama-lama, tubuh saya terpaksa menyesuaikan. Aneh rasanya, tapi saya jadi ingat masa kecil ketika Ibu sering memasak makanan rebusan. Dulu saya suka protes, merasa itu makanan orang susah. Namun di Portugal, pola makan seperti itu umum. Masyarakatnya banyak yang berumur panjang. Paman teman saya bahkan sudah 95 tahun tapi masih bisa menyetir sendiri. Dari situ saya mulai melihat makanan rebusan bukan lagi tanda kekurangan, tapi cara hidup yang membuat tubuh lebih sehat.
Kebiasaan lain yang ikut berubah adalah minum kopi. Saya dulu peminum kopi manis, kopi saset favorit. Akan tetapi, lama-lama kopi manis bikin sakit perut. Orang Portugal hampir semuanya minum kopi tanpa gula. Setelah saya coba, ternyata badan saya lebih cocok kopi pahit. Tidak bikin sakit perut, malah membuat badan enteng dan semangat. Sejak itu saya jadi peminum kopi pahit.
Rindu dengan masakan Indonesia tentu tidak hilang. Namun ada cara sederhana yang selalu berhasil: Memasak bersama teman-teman diaspora setiap akhir pekan.
Baca juga: Sepotong Terasi dalam Harmoni Rumah Tangga
Masak Bersama sebagai Obat Rindu
Setiap hari libur, saya dan teman-teman sesama perantau berkumpul untuk memasak hidangan Indonesia. Dari situ rasa “pulang” bisa terus dihadirkan meski kami ribuan kilometer dari rumah.
Kami pernah memasak Coto Makassar dengan bumbu asli yang dibawa dari Makassar oleh dua teman saya, Fatur dan Dirgahadi. Rasanya enak sekali dan mengingatkan saya pada Coto di Jogja yang saya makan bersama istri dulu. Kadang kami bikin kue putu dan klepon, buatan Ahmad Syafii, yang kami panggil “Pi’i Putu” karena dulu ia berjualan putu dan klepon di Indonesia. Ada juga Zeni Subhan, teman sekampung dari Bumiayu, yang kadang membuat martabak manis dan dadar gulung dari keahliannya bekerja di warung martabak di Jakarta.
Rasa rindu juga membawa kami pada eksperimen lainnya: Membuat tempe. Percobaan pertama saya gagal karena suhu di Portugal terlalu dingin. Beruntung, berkat tutorial YouTube dan akal-akalan pakai penghangat ruangan, akhirnya kami bisa membuat tempe sendiri. Raginya kami bawa dari Indonesia. Teman-teman seperti Mamul dan Slamet bahkan kini memproduksi tempe rumahan untuk dijual ke kami sebagai lauk.

Untuk bumbu-bumbu yang sulit ditemukan di Portugal, kami membawanya dari Indonesia. Misalnya terasi, masako, ajinomoto, cabe bubuk, serai, lengkuas, dan lainnya. Ketika musim petai dan jengkol, teman-teman yang pulang kampung sering membawanya kembali. Sambal terasi kadang kami buat sendiri, kadang pakai sambal saset yang dibawa dari Indonesia. Tempe orek dan sambal buatan orang tua teman-teman juga sering menjadi penyelamat rindu.
Baca juga: Tentang Jodoh, Rindu, dan Bagaimana Aku Jadi Koki Dadakan
Dari Terpaksa ke Terbiasa
Tinggal di Portugal mengajarkan saya banyak hal tentang kebiasaan makan. Apa yang dulu terasa memaksa, seperti kentang rebus tanpa bumbu, kopi tanpa gula, atau makanan minim minyak, pelan-pelan berubah menjadi kebiasaan yang saya nikmati. Saya merasa tubuh lebih sehat, ringan, dan bertenaga.

Rindu pada makanan Indonesia tetap ada, tetapi terobati lewat dapur kecil yang setiap akhir pekan ramai oleh suara wajan, aroma bumbu, dan tawa sesama perantau. Di situlah rumah terasa dekat kembali.
Saya datang ke Portugal dengan banyak ketakutan soal makanan. Namun sekarang saya menyadari, adaptasi sering kali berawal dari ketidaknyamanan. Dari makan rebusan, minum kopi pahit, hingga bereksperimen membuat tempe, semua membuat saya melihat makanan dengan cara yang lebih luas.
Pada akhirnya, saya belajar mencintai yang baru tanpa kehilangan yang lama. Karena bagi kami, orang Indonesia di tanah jauh, makanan adalah jembatan pulang yang tak pernah benar-benar putus.
Rizal adalah Seorang nelayan asal Bumiayu, yang sejak tahun 2020 bekerja menjadi
awak kapal di Portugal.
Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.
















