Lagu Lama dalam Kabinet Baru: Minim Perempuan karena Dendang Patriarki?
Sudah seharusnya representasi perempuan dalam kabinet bukan cuma angka yang terus dievaluasi.
Pemimpin baru telah resmi dilantik. Setelah perjalanan panjang selama dua puluh tahun berkontestasi, Prabowo Subianto akhirnya berhasil duduk di pucuk kursi eksekutif republik ini. Setidaknya ia mencoba peruntungan tersebut sebanyak lima kali berturut-turut.
Upayanya bermula dari konvensi Partai Golkar tahun 2004, kemudian menjadi pendamping Megawati pada tahun 2009, hingga tiga kali mencalonkan diri sebagai kandidat presiden Indonesia.
Angka 5 mungkin membawa keberuntungan bagi Prabowo. Tetapi sayangnya, angka ini sama sekali tidak mencerminkan keterwakilan perempuan dalam kabinet Prabowo-Gibran yang diumumkan pada 21 Oktober 2024. Apabila tidak ada opsi reshuffle kabinet, hanya ada kurang dari 5 figur perempuan yang digadang menjadi corong dalam menyuarakan perubahan strategis di Indonesia. Para Srikandi yang menemani Prabowo dan Gibran diwakilkan oleh Widiyanti Putri Wardhana (profesional), Arifatul Choiri Fauzi (profesional), Sri Mulyani (profesional), dan Meutya Hafid (politisi).
Baca juga: Minim Perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo, Apa Artinya?
Pasca-Reformasi: Kursi Menteri Perempuan yang Tak Pernah Prioritas
Kondisi ini sangat tidak mengherankan terjadi di Indonesia. Pasca reformasi, di mana banyak anggapan bahwa akan ada lulur perubahan di tubuh pemerintahan mendatang, pada praktiknya hanya sekadar melengserkan Orde Baru semata. Tak lupa pula, para politisi yang menggaungkan reformasi, hanya mengincar pemenuhan kepentingan politis segelintir pihak saja.
Reformasi yang terjadi tidak serta-merta merubah tataran sistem di pemerintahan, khususnya dalam mengedepankan prinsip kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Sejak 1998, setelah runtuhnya era diktator Soeharto, konsep-konsep “penjajahan” dan pembatasan ruang gerak politik yang inklusif dalam pemerintahan masih tetap dilakukan, khususnya kepada perempuan.
Grafik di atas menjadi salah satu bukti yang menunjukkan bagaimana komposisi perempuan dalam lingkaran kabinet pemerintah pasca reformasi. Angka tersebut tidak merangkum jajaran wakil menteri, menteri ad-interim, atau pejabat lembaga non-kementerian yang setingkat (seperti Panglima TNI, Kapolri, Jaksa, dan sebagainya). Sebab apabila dimasukkan, persentase perempuan akan mengecil, mengingat lembaga-lembaga tersebut sangat jarang bahkan tidak pernah memasukkan unsur perempuan dalam pucuk kepemimpinannya.
Data yang dirangkum dari berbagai sumber ini menunjukkan bahwa Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla, menjadi periode di mana pelibatan tertinggi kelompok perempuan di kabinet pasca-reformasi, yakni sebesar 15 persen atau setara dengan 8 figur perempuan menteri. Semantara itu, Kabinet Persatuan Nasional menjadi kabinet yang paling rendah mengakomodasi ruang gerak perempuan—hanya 2 perempuan dari 54 figur menteri. Angka-angka tersebut juga masih belum selaras dengan gembar-gembor pemerintah untuk menyediakan ruang minimal 30 persen bagi perempuan dalam klausa yang terlampir pada UU No.7 Tahun 2017.
Rangkain panjang pemerintah dalam mengupayakan kesetaraan terkesan hanya omon-omon belaka. “Saya kira upaya-upaya kesetaraan gender sangat penting juga di bidang politik kaum perempuan mengambil peran sangat menonjol. Saya mendorong peranan itu di pemerintahan yang saya pimpin kalau terpilih,” kata Prabowo dalam debat kelima Pilpres 2024. Lisannya seolah mengisyaratkan dukungan pada prinsip kesetaraan yang akan ia wujud nyatakan dalam kabinet yang ia susun kelak. Namun sayang, lisan tak sesuai dengan apa yang tertulis di atas kertas. Tampaknya peran perempuan masih terhalang kepentingan bagi-bagi kekuasaan antar-partai dan relawan.
Baca juga: 6 Catatan Pelantikan Prabowo: Janji Manis, Kementerian HAM, hingga Bobby Kucing
Kepemimpinan Perempuan Terbukti Lebih Efektif dalam Pemerintahan, Kecuali di Indonesia?
Posisi perempuan Indonesia seharusnya tidak boleh dipandang sebelah mata. Hitungan Badan Pusat Statistik mencatat bahwa secara demografis, persentase populasi perempuan di Indonesia mencapai 49,5 persen dari total penduduk. Namun pada praktiknya sangat lah tidak representatif dengan bagaimana pimpinan eksekutif menyediakan kursi bagi kelompok perempuan. Penelitian bertajuk Voting against Women: Political Patriarchy, Islam, and Representation in Indonesia pada 2023, menunjukkan pengaruh nilai-nilai keagamaan dan budaya masih melekat pada cara pandang kaum pria di Indonesia. Pandangan bahwa kodrat perempuan hanyalah sebatas mengurus kepentingan domestik dan superioritas laki-laki sebagai pemimpin, seolah mengakar pada seluruh elemen masyarakat.
Terpisah, laporan dari Leadership Circle terhadap lebih dari 84.000 pemimpin dan 1,5 juta responden (terdiri dari atasan hingga para pekerja), menunjukkan bahwa perempuan pemimpin tampil lebih efektif dibandingkan pria di semua level manajemen dan tingkat usia. Apabila dielaborasikan, perempuan memiliki potensi yang sangat besar dalam kepemimpinan di Indonesia.
Temuan tersebut tidak hanya sekadar laporan yang tak berdasar. Kita bisa lihat bagaimana sejumlah menteri perempuan Indonesia banyak mengukir prestasi di kancah global. Sebut saja Retno Marsudi, Mantan Menteri Luar Negeri dua periode di masa kepemimpinan Joko Widodo, terpilih sebagai Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk isu air. Penunjukkan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB tersebut menjadi suatu pencapaian luar biasa sekaligus yang pertama bagi Indonesia.
Tidak ketinggalan juga, bagaimana Susi Pudjiastuti, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan perempuan pertama di Indonesia, berhasil menyabet penghargaan Peter Benchley Ocean Awards dalam kategori Excellence in National Stewardship pada 2017. Penghargaan internasional tertinggi yang belum pernah diperoleh menteri sebelumnya, pernah diberikan juga kepada sejumlah pemimpin dunia yang berperan aktif dalam mendukung konservasi laut dari tahun ke tahun, misalnya Albert Alexander Louis (Pangeran Monako) dan Macky Sall (Mantan Presiden Senegal).
Ini seolah menegaskan bahwa budaya patriarki yang masih dianut oleh pemerintahan Indonesia hanya menghambat lahirnya perempuan-perempuan berprestasi di kancah perpolitikan nasional bahkan internasional.
Baca juga: Partisipasi Politik Perempuan Tak Boleh Hanya Angka
Bersih-bersih Budi Patriarki
Segelintir kisah sukses dari sedikitnya ruang bagi perempuan yang memberikan dampak besar, harusnya menjadi pertimbangan bagi para pemimpin dalam menyediakan ruang inklusif dan ramah perempuan dalam pemerintahan. Artikel penelitian bertajuk Patriarchy: Meaning, Origin, Theories, and Relationship with SDG10 juga memperingatkan, apabila nilai-nilai patriarki semakin meningkat, akan berkorelasi dengan terjadinya peningkatan ketimpangan dalam pemenuhan hak serta terciptanya sekat untuk berkarya bagi kaum perempuan.
Sudah saatnya pandangan sempit yang menempatkan perempuan hanya dalam ranah domestik ditinggalkan. Pengakuan global terhadap perempuan Indonesia yang memimpin dengan cemerlang seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah dan masyarakat, bahwa kesempatan yang setara adalah kunci bagi kemajuan bangsa.
Jika kita terus membiarkan budaya patriarki membatasi peran perempuan, maka kita tak hanya menahan potensi setengah dari populasi bangsa ini, tetapi juga menghalangi langkah Indonesia untuk menjadi lebih maju dan inklusif di panggung dunia.
Mickhael Rajagukguk, pada saat menulis artikel ini bekerja sebagai Research and Advocacy Communication Specialist di salah satu think tank yang berfokus pada isu lingkungan dan transisi energi. Dirinya sangat menggemari isu-isu yang berkaitan dengan politik, media, pendidikan, dan kebijakan.